Patuh dan Loyal kepada Pimpinan dan Negara, Sudah Jadi Keharusan Aparatus

Breaking News

- Advertisement -
- Advertisement -
- Advertisement -
- Advertisement -

MUDANEWS.COM – Pernah menonton film James Bond? Sebagai seorang agen rahasia Inggris, dia harus loyal kepada negara (dalam hal ini oleh “M” sebagai Pimpinan, Direktur M16). Sang agen harus tunduk dan patuh kepada Boss nya, yakni “M” sebagai representasi negara. Bahkan ia siap menanggung resiko terburuk saat ditahan pihak musuh. Ia pun diminta untuk siap meninggalkan kehidupan pribadinya demi negara. Jadi, mau bicara soal HAM dengan seorang agen rahasia negara? Mau bicara keadilan untuknya? Sesungguhnya tidak ada.

Adil baginya adalah saat ia menjalankan misi melindungi Ratu Inggris dari segala marabahaya. Itu sedikit gambaran bagaimana ‘aturan’ yang harus dipatuhi seorang agen rahasia. Bukan hanya di dalam film, tapi juga dalam dunia nyata. Contoh mudah, Paspampres itu siap menerima perintah dari pimpinannya untuk melindungi presiden. Siap pula diberi sanksi. Seorang prajurit (TNI-Polri), wajib patuh menuruti perintah komandan, apapun itu. Bagaimana dengan ASN (aparatur sipil negara)?

ASN masuk dalam struktur dan penyebutan aparatur negara. Artinya, ia adalah alat bagi negara dalam menjalankan roda pemerintahannya. Mereka digaji diberi tunjangan dan fasilitas oleh negara. Mereka mendapat semacam previlege yang tidak dimiliki masyarakat sipil lainnya. “Harga” previlege tersebut memang harus dibayar dengan sikap loyal kepada pimpinan dan negara serta segala peraturan yang mengikatnya. Itu yang disebut pengabdian dan bela negara.

Di beberapa negara (terutama yang represif), seorang aparat akan mendapat hukuman berat jika berani membangkang terhadap pimpinan/negara. Aparat di Korut berani melawan atau sekadar protes kepada presidennya? Bisa langsung tembak ditempat. Tidak perlu jauh-jauh, di masa orba, ada aparat yang berani menentang Soeharto? Untuk itu aparat birokrasi di masa orba relatif tidak ada gejolak, karena mereka tahu apa sanksi yang didapatkan jika mereka protes.

Bagaimana ASN (dulu PNS) zaman sekarang? Seperti disampaikan Menpan, Tjahjo Kumolo, bahwa tiap bulan ia bersama BKN (Badan Kepegawaian Nasional) harus meneken sekitar 70 an SK terkait Pelanggaran ASN. Di media sosial masih banyak ASN yang terang-terangan melawan pemerintah bahkan menyebar kebencian serta berita fitnah atau hoax. Hal ini tidak terlepas dari wabah atau virus faham radikalisme ataupun kaum fundamentalis agama.

Mereka sudah teracuni akan utopia negara berdasarkan agama, sehingga pemerintahan sekarang perlu dilawan dan ditumbangkan. ASN semacam itu tidak hanya satu-dua melainkan banyak dan berada hampir di semua instansi milik pemerintah (di segala sektor). Demikian pula yang terjadi dengan sebuah lembaga negara (adhoc) yang disebut KPK (Komisi Pemberantasan Korupsi). Lembaga ini termasuk lembaga negara (bukan ormas, LSM ataupun perusahaan swasta) dan dibentuk negara.

Ia dibiayai melalui APBN, dalam arti digaji dan difasilitasi oleh negara. Dulu, KPK adalah satu-satunya representasi lembaga negara yang bersifat Superbody (tegak dan berdiri sendiri), tidak ada satu orang pun yang boleh melakukan intervensi terhadapnya. Namun belakangan, KPK termasuk sebagai lembaga yang sepertinya wajib disusupi oleh faham radikalisme fundamentalisme tadi. Mengapa? Karena di sana ada sumber materi (uang dari gaji pegawai yang dianggap lebih dari cukup).

Kasus-kasus yang dapat menentukan nasib, hidup dan matinya partai politik, ada pula barang sitaan yang berpeluang menjadi aset pribadi. Dan yang terpenting, ideologi orang-orang di KPK memang harus diubah dan dicuci-otaknya untuk mulai berani melawan pimpinan bahkan melawan presiden. Mulailah satu-dua orang pegawai mempengaruhi internal wadah pegawai hingga menguasai bahkan bisa membuat sistem perekrutan sendiri, mereka semakin berkembang.

Pimpinan boleh bergonta-ganti tapi pegawai statusnya tetap dan seterusnya sampai batas usia pensiun. Dari situ juga mereka bisa membangun jaringan ke ormas-ormas dan LSM untuk lebih menyebarkan faham mereka dan memprovokasi untuk melawan pemerintah. Hal ini yang diketahui lalu ditangkap oleh Badan Intelijen Negara (BIN) dan dianggap bahaya. BIN memberi laporan kepada presiden, namun presiden tidak bisa menindak memecat begitu saja.

Presiden Jokowi adalah orang yang patuh dan hormat kepada aturan perundang-undangan. Guna terjadi pengendalian oleh internal KPK sendiri, maka presiden mengusulkan Revisi UU KPK dengan menambahkan sebuah badan bernama Dewan Pengawas, serta seluruh pegawai KPK diubah statusnya menjadi ASN. Dengan begitu, para pegawai diharap bisa lebih tertib dan disiplin mematuhi dan loyal kepada negara. Meski begitu, Presiden Jokowi tetap menjaga agar presiden tidak boleh intervensi ke dalam tubuh KPK.

Jika mau, bisa saja Jokowi bikin klausul agar KPK bertanggungjawab dan berada di bawah komando langsung presiden, misalnya. KPK selama ini memang bertanggungjawab terhadap publik dan memberikan laporan secara terbuka dan berkala kepada presiden, DPR dan BPK. Hal itu tidak berubah. Maka jika beranggapan presiden ingin melemahkan KPK, maka struktur posisi dan pertanggungjawaban tersebut harusnya yang paling pertama diubah.

Sekarang, KPK yang sudah diobati (melalui alih status menjadi ASN dengan mengikuti tes wawasan kebangsaan), para pegawai yang tidak lulus tes mulai bermunculan melakukan protes. Seperti lahan sawah yang baru diberi obat, maka kemudian memunculkan ulat-ulat hama ke permukaan. Mereka seperti gerah berada di dalamnya. Bagi mereka para ulat, sudah tidak terasa nyaman lagi di dalam KPK. Alih-alih pergi meninggalkan KPK, mereka justru melawan dan menyerang pimpinan KPK.

Mereka yang dulu protes dan melawan presiden (menolak revisi UU KPK) kini berharap presiden turun tangan membantu mereka. Tidak cukup kepada presiden, mereka juga melakukan protes, bikin laporan dan mengadu kemana-mana. Hal ini sangat tidak lazim dilakukan oleh pegawai dari sebuah lembaga negara. Mereka sudah lebih mirip ke ormas atau pun LSM, melakukan protes, melawan, menggerakkan publik untuk ikut membenci, dan ingin menguasai KPK.

Ya silahkan saja. Pastinya negara tidak boleh kalah kepada aparatus. Negara lah yang harusnya mengatur aparat, bukan aparat yang mengatur-atur negara. Jika tidak ingin tunduk dan patuh ya jangan jadi aparat. Jadilah wirausaha, berjualan obat keliling atau jual es krim. Anda boleh jungkir balik membuat aturan sendiri dan melakukan protes sendiri. Jadilah seperti prajurit negara yang sejati (contoh TNI-Polri), selalu patuh meski harus diberhentikan, dimutasi, ataupun dibebas-tugaskan.

Oleh : Agung Wibawanto

- Advertisement -

Berita Terkini