Jika Tidak Mampu Berbuat, Setidaknya Tidak Menyakiti Negeri Ini

Breaking News

- Advertisement -
- Advertisement -
- Advertisement -
- Advertisement -

MUDANEWS.COM – Negeri ini dibangun dengan cucuran keringat bahkan darah hingga jiwa yang direlakan berkorban. Jika kini ketika sudah terbangun dan kita hidup menjadi bagian di dalamnya, melakukan protes terhadap negeri, sudahkah melihat diri kita siapa dan sudah melakukan apa? Kita yang tinggal menikmati anugerah besar berupa bumi Pertiwi merasa tidak suka akan sebuah kondisi. Adakah segala sesuatu yang sempurna di muka bumi ini?

Bahkan negeri kaya raya, subur dan makmur seperti Indonesia pun belum memberi kepuasan bagi penghuninya. Negeri ini memang belum sempurna. Sejak awal sudah menjadi perdebatan, apakah kita akan menunggu segala hal menjadi sempurna dulu di negeri ini, atau kita merdeka dulu baru membangun dan mengisi negeri ini menuju kesempurnaan (setidaknya mendekati). Pilihan kedua lah yang akhirnya dipilih oleh bapak bangsa dari seluruh penjuru negeri.

Kita sepakat untuk merdeka lalu berkomitmen menyempurnakan, membangun dan mengisi negeri ini. Bukan dengan cara marah, menyindir-nyindir dan mengeluh tanpa berbuat sesuatu apapun. Bahkan anak balita pun berhak dan sanggup menangis hanya semata untuk menarik perhatian orangtuanya agar ia mendapatkan apa yang diinginkan. Tapi bukan itu yang diharapkan negeri ini dari kita semua warga penduduknya.

Berbuatlah sesuatu sesuai dengan kemampuan untuk menuju kesempurnaan yang kita kehendaki. Tidak sanggup berbuat dalam skala nasional, maka lakukan ditinggal lokal bahkan mungkin dilingkungan keluarga terdekat. Jika tidak mampu juga, maka lakukan untuk dirimu sendiri (ubah pribadi menjadi lebih baik). Setidaknya, kamu sudah berbuat dan tidak menyakiti negeri ini dengan semua keluhan mu.

Tidak perlu menunjuk orang yang kamu anggap bersalah (apakah aparat kepolisian atau bahkan presiden), tapi lakukan saja yang memang harus kamu lakukan di lingkunganmu. Apakah kita sudah berbuat? Jika sudah, maka lakukan lagi terus dan terus jangan merasa lelah dan menyerah. Tidak ada gunanya mengeluh karena tidak akan mengubah apapun menjadi lebih baik. Negeri ini sudah ditakdirkan ada karena keberagamannya.

Berbeda-beda namun saling mengikat dalam persatuan (bhinneka tunggal Ika). Namun pada faktanya memang belum tercipta rasa saling menghormati dan menghargai (toleransi) bahkan mencerminkan ya pun belum. Inilah tantangan kita bersama, menjadi tugas kita semua tidak hanya polri ataupun presiden. Negeri ini tengah dijangkiti oleh virus intoleransi. Untuk hal penindakan memang benar menjadi kewenangan dan pekerjaan aparat.

Presiden menjadi penanggungjawab dari seluruh arah kehidupan negeri ini. Namun jangan dilupakan bahwa negeri ini pun berdiri di atas seperangkat aturan hukum yang tidak mungkin ditabrak begitu saja. Se-kuasa apapun seorang presiden, kini ia dibatasi kekuasaannya oleh hukum (tidak seperti di era orba). Ada batas kewenangan berdasarkan kewilayahan dan fungsinya. Seorang presiden harus dilihat posisinya sebagai kepala negara dan kepala pemerintahan.

Sebagai kepala negara ia mewakili negeri ini di saat berhubungan dengan pihak luar negeri misalnya. Sebagai kepala pemerintahan ia menjadi eksekutif dalam sistem pemerintahan Indonesia yang diatur melalui undang-undang (tidak otoriter). Jadi tidak perlu kaget jika presiden akan berbicara untuk satu kasus nasional dan mungkin tidak untuk kasus yang lain yang bersifat lokal. Hukum kita pun perlu dilihat dan dipahami dengan benar.

Sesuai dengan riwayat sejarahnya di mana Indonesia dijajah oleh Belanda selama 3,5 abad, maka sistem hukum Indonesia lebih merujuk kepada model civil law (Eropa Kontinental), berbeda dengan negara-negara jajahan Inggris yang lebih mengenal model common low (Anglo Saxon). Civil law berbasis kepada undang-undang yang ada, sedang common law lebih kepada yurisprudensi (kebiasaan).

Civil law menekankan pada kepastian hukum sementara common law kepada rasa keadilan masyarakat. Dalam hukum di Indonesia, sebuah peristiwa hukum terjadi jika ia melanggar undang-undang (atau peraturan yang ada). Jika tidak ada undang-undang yang mengatur maka tidak dapat dikatakan pelanggaran (tidak ada proses hukum). Pelanggaran yang dimaksud pun akan dikategorikan ke dalam beberapa golongan yakni: khusus, berat dan ringan.

Yang khusus contohnya: teroris, narkoba dan korupsi, sedang yang kategori berat seperti pembunuhan. Dan yang tergolong ringan atau sering disebut tipiring (tindak pidana ringan) contohnya, penghinaan, ledekan, sindiran dsb. Terakhir, sistem peradilan (bagian dari sistem hukum) Indonesia menerapkan prinsip sederhana, cepat dan murah. Jika memang mungkin tidak perlu ada proses hukum bila kedua belah pihak telah saling memaafkan atau berdamai.

Sistem ini disebut restorasi justice dan biasanya terjadi pada kasus-kasus tipiring. Ya, polisi tidak harus membuat proses hukum peradilan dan atau, tidak semua pelanggaran hukum harus ditahan. Ini jika kita bicara sistem dan diskresi yang dimiliki kepolisian. Jika mau bicara selera atau pendapat pribadi sesuai keinginan sudah pasti akan berbeda. Jadi kita tidak bisa memaksakan kehendak hati kita yang itu justru melanggar dari prinsip-prinsip hukum itu sendiri.

Hal ini pula lah yang dijadikan pegangan utama dari presiden Jokowi. Dua hal yang ditakuti oleh Jokowi yakni larangan Tuhan dan satu lagi, larangan hukum yang diatur dalam undang-undang. Pada kasus KPK, presiden tidak boleh mengintervensi KPK, bahkan ke semua lembaga peradilan. Presiden saat polemik 75 Pegawai KPK yang tidak lulus TWK hanya memberi pendapat pribadinya.

Pendapat tersebut bukan instruksi ataupun keputusan yang kemudian dijadikan sebagai sumber hukum yang harus dijalankan KPK. Marilah kita bijak sebagai anak negeri untuk melihat dan mengupas masalah secara lebih jernih. Jangan sekadar menyindir di media sosial namun tidak memahami substansi masalahnya. Jujur saya masih percaya kepada negeri ini hingga suatu waktu nanti akan menjadi sebuah negeri yang hebat dan maju.

#harkitnas

Oleh : Agung Wibawanto

- Advertisement -

Berita Terkini