Densus 99 GP Ansor, Jelaskan Langkah Antisipasi dan Penanggulangan Terorisme

Breaking News

- Advertisement -
- Advertisement -
- Advertisement -
- Advertisement -

MUDANEWS.COM, Jakarta – Berbagai langkah antisipasi dan penanggulangan tindak terorisme, terlebih yang dilatari atas dasar pemahaman keagamaan, sangat diperlukan.

Salah satunya dengan membangun narasi alternatif mengenai pemahaman keagamaan yang baik di media sosial.

Sebab, Komandan Detasemen Khusus (Densus) 99 Gerakan Pemuda (GP) Ansor Nuruzzaman menyakini, dua pelaku teror melancarkan aksinya di Gereja Katedral Makassar dan Mabes Polri Jakarta, merupakan generasi milenial yang tentu menggandrungi media sosial.

“Karena pemahaman keagamaan atau ajaran-ajaran tentang terorisme itu didapat dari media sosial. Di samping itu, tentu saja pengajian-pengajian ata pertemuan-pertemuan, serta penggalangan yang dilakukan oleh kelompok teror terhadap pelaku teror,” ungkapnya saat dihubungi NU Online melalui sambungan telepon, Kamis (01/04/2021) sore.

Menurutnya, memutus mata rantai terorisme di Indonesia sangat sulit karena para pelaku selalu bekerja dengan menggunakan metode clandestine yakni tersembunyi, tertutup, dan terbatas. Mereka tidak pernah terbuka sebagaimana pengajian-pengajian yang dilakukan NU dan Muhammadiyah.

“Kelompok teror ini sangat tertutup. Belum lagi misalnya grup-grup media sosial yang tertutup dan orang tidak sembarang bisa masuk. Nah fenomenanya memang, pelaku teror, bom bunuh diri Makassar dan pelaku teror di Mabes Polri itu adalah generasi milenial,” tutur Kang Zaman, demikian ia akrab disapa.

“Artinya, kita tahu bahwa generasi milenial itu adalah generasi yang waktunya banyak dihabiskan di media sosial. Saya meyakini, mereka terpapar (terorisme) di media sosial,” imbuhnya.

Hal tersebut merupakan tanggung jawab yang cukup besar. Sementara langkah yang harus dilakukan adalah dengan membangun narasi alternatif agar pemahaman keagamaan di media sosial tidak dimonopoli kelompok yang mengajarkan kekerasan dalam mengekspresikan pemahaman keagamaannya.

“Narasi alternatif berupa narasi keagamaan yang memberikan kebaikan kepada orang lain. Faktanya, ajaran keagamaan kita (NU) misalnya, mengajarkan dakwah dengan cara rahmatan lil ‘alamin. Bukan mendakwahkan dengan cara membenci kepada orang lain. Narasi-narasi itu yang harus terus dilakukan. Narasi-narasi positif kemanusiaan, kebangsaan, dan keagamaan,” terangnya.

Narasi masa kenabian Ia menuturkan, di media sosial sering kali disebarkan narasi-narasi tentang peperangan yang dilakukan Nabi Muhammad. Padahal, katanya, dalam 23 tahun masa kenabian, peperangan hanya dilakukan selama 80 hari. Itu pun perang yang bersifat bertahan, bukan menyerang.

“Tetapi kita bisa lihat, produksi pengajian atau sejarah yang dimunculkan (di media sosial) adalah peperangan terus. Padahal ada 23 tahun masa kenabian. Artinya ada yang tidak diungkap secara baik soal apa yang dilakukan oleh Nabi karena yang dimunculkan hanya peperangannya saja,” tegas Kang Zaman.

“Nah narasi-narasi seperti itu harus dimunculkan ke publik. Narasi yang menyatakan bahwa Nabi tidak hanya perang. Tetapi ada banyak kebaikan-kebaikan kemanusiaan Nabi yang lain. Sekalipun berperang, Nabi hanya berperang jika dalam keadaan mendesak. Itu cuma 80 hari dari 23 tahun masa kenabian,” jelasnya.

Terorisme dilatari pemahaman keagamaan Kang Zaman menjelaskan bahwa ideologi dan pemahaman keagamaan saat ini menjadi pemicu tindak terorisme. Sebagian pihak ada pula yang menyatakan bahwa terorisme dilatari dan disebabkan dari faktor kemiskinan.

“Faktor (kemiskinan) memang betul, tetapi itu bukan faktor utama, hanya salah satu faktor saja. Kalau saya meyakini, faktor utama (terorisme) adalah ideologi atau pemahaman terhadap agama,” terangnya.

“Nah ketika kita mengakui bahwa ada persoalan dalam pemahaman keagamaan, apa pun agamanya, maka kita sebenarnya sedang berusaha untuk mencari akar dari permasalahan yaitu terorisme atau radikalisme atau ekstremisme itu,” imbuh Kang Zaman.

Namun jika penyebab pelaku teror melancarkan aksinya yang dilatari atas dasar pemahaman keagamaan itu disangkal, maka justru akan menyulitkan semua pihak untuk menemukan akar masalah terorisme.

“Harus diakui bahwa pelaku teror itu beragama Islam. Karena agamanya Islam kok. Dia mengakui beragama Islam, coba baca wasiatnya yang beredar di medsos itu. Dia meminta ibunya untuk tidak melakukan transaksi di bank, karena dinyatakan haram. Itu kan ajaran agama yang dia yakini. Jadi bukan karena keadilan atau kemiskinan,” terangnya.

Program deradikalisasi Langkah antisipasi sekaligus penanggulangan terorisme yang bisa dilakukan adalah dengan menggiatkan program deradikalisasi. Kang Zaman percaya, program deradikalisasi di Indonesia yang dilakukan oleh Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT) RI dan Densus 88, terus berjalan.

“Kalau deradikalisasi itu kan sebenarnya kepada para mantan pelaku teror atau disebut napiter. Itu yang dilakukan. Di beberapa tempat berjalan, banyak yang sudah berubah dan mau kembali mengakui NKRI dan mengubah pemahamannya,” imbuhnya.

Kalaupun masih ada ketidaksepakatan terhadap pemahaman keagamaan orang lain maka tidak diekspresikan dengan cara-cara kekerasan. Namun demikian, agenda deradikalisasi di Indonesia tidak bisa jika hanya dilakukan oleh dua lembaga pihak itu tetapi juga harus dilakukan bersama oleh seluruh masyarakat.

“Misalnya, kalau ada napiter yang pulang ke kampungnya maka masyarakat harus menemani dia. Harus mengajak dia untuk bersosialisasi atau melakukan kegiatan sosial tanpa harus mempengaruhi keyakinan dan pemahamannya,” ujarnya.

“Jadi ketika dia (napiter) bersosialisasi, jadi tahu bahwa ada pemahaman atau pandangan Islam lain yang berbeda, tetapi dia tidak mengekspresikannya dengan membunuh orang yang berbeda pandangan keagamaan. Ini harus dilakukan oleh semua pihak,” lanjut Kang Zaman.

Terorisme tidak akan bisa hilang Ia menegaskan bahwa terorisme di Indonesia masih ada dan harus terus diwaspadai. Dukungan harus diberikan kepada Densus 88 Mabes Polri dan BNPT untuk senantiasa melakukan berbagai tindakan yang sesuai dengan aturan serta perundang-undangan dalam penanganan terorisme.

“Jadi selama pemahaman keagamaan di Indonesia masih sangat konservatif, bahkan mungkin disalahkan pemahamannya, maka terorisme atau radikalisme tidak akan pernah bisa hilang,” jelas Kang Zaman.

Sebab, di dalam sejarah peradaban manusia selalu saja ada orang yang tidak sepakat atau tidak suka dengan pemahaman tertentu seraya mengekspresikannya secara lebih keras. Misalnya dengan cara menyerang kelompok lain, membunuh orang yang berbeda pandangan, dan melakukan teror.

“Jadi (terorisme) itu akan selalu ada,” tegas Kang Zaman.

Senada dengan itu, sebelumnya Alissa Wahid menyebut bahwa ekstremisme dan terorisme tidak akan pernah bisa hilang sepenuhnya selama masih ada manusia di muka bumi. Namun ia berharap, agar sikap ekstrem yang mengedepankan kebencian mampu diperkecil sehingga risiko yang terjadi juga mengecil.

“Negara harus mampu meminimalisasi risiko-risiko kebiadaban aksi-aksi terorisme, itu penting. Jadi harapanku tentu saja Indonesia adil makmur dan sentosa, itu bisa terwujud. Makmur sentosa itu bisa terwujud kalau tidak ada aksi ekstremisme, terorisme. Landasannya adalah keadilan,” tegasnya.

Sumber : NU Online

- Advertisement -

Berita Terkini