Amien Rais Ke Istana Soal Tewasnya 6 Teroris FPI, Jokowi Paham Konstruksi Hukum

Breaking News

- Advertisement -
- Advertisement -
- Advertisement -
- Advertisement -

MUDANEWS.COM – Bukan Jokowi kalau tidak memahami konstruksi besar peristiwa politik dan hukum. Pemahaman yang sempurna membuat Jokowi tidak gamang sama sekali ketika menerima Amien Rais yang mengaku sebagai Tim Pengawal Peristiwa Pembunuhan (TP3) enam teroris Front Pembela Islam (FPI).

Jadwal bertemu Presiden Jokowi dibuat untuk gelandangan politik Amien Rais, politikus apkiran Abdullah Hehamahua, Marwan Batubara, Muhyidin, dan dua orang lain. Tepat jam 10 mereka duduk di depan Presiden Jokowi. Mereka duduk terpaku. Kaku. Merasakan marwah kuat dan daya magis Jokowi ketika duduk resmi.

Jokowi mengenakan hem lengan panjang, baju putih. Kunjungan kerja pun dia selalu memakai baju putih. Kalau Jokowi mengenakan baju batik, artinya Jokowi menempatkan kesetaraan dan pentingnya tamu. Maka Jokowi selalu memakai baju batik atau jas lengkap ketika memimpin rapat Kabinet, atau acara kenegaraan.

Artinya pertemuan dengan Amien Rais adalah suatu peristiwa, tidak urgent, santai maknanya, pertemuan biasa. Meskipun yang dibahas adalah peristiwa KM 50 yang menewaskan 6 orang teroris FPI yang sedang dibela oleh para tamu Istana.

Amien Rais mendapat kesempatan pertama berbicara. Pembicaraan ngalor-ngidul, tanpa data. Seperti biasa dia membawa-bawa peristiwa tewasnya 6 teroris tersebut dengan ancaman neraka jahanam. Hal yang tidak ada hubungannya dengan peristiwa KM 50. Peristiwa hukum di dunia dibawa-bawah ke akhirat. Tidak nyambung sama sekali.

Jokowi paham tentang seluruh proses dan strategi menghancurkan FPI. Rancangan sistematis, terstruktur, masif, yang jauh lebih baik dibanding pembubaran Hizbut Tahrir Indonesia (HTI). Dia juga memahami dengan sangat baik konstruksi hukum terkait peristiwa KM 50. Maka bertemu dengan Amien Rais dan TP3 bukanlah hal yang harus dihindari. Jokowi ingin mendengar langsung temuan mereka.

Sejak awal Jokowi menyerahkan kasus tewasnya 6 orang teroris tersebut kepada Polisi, secara hukum. Komnas HAM pun dibebaskan tanpa intervensi mana pun. Hasil investigasi Komnas HAM tidak terjadi pelanggaran HAM berat, peristiwa KM 50 adalah unlawful killing, yang terjadi karena adanya hak bela diri petugas kepolisian ketika diserang.

Namun, Amien Rais, kaum radikal, Munarman, dan kelompok teroris menggunakan isu tewasnya 6 teroris FPI untuk menyerang Jokowi. Peristiwa kriminal ecek-ecek hendak dibawa ke Mahkamah Internasional, dengan tuduhan terjadi pelanggaran HAM berat.

Kembali ke pertemuan di Istana, Jokowi pun tidak banyak berkomentar. Menatap tajam. Sedikit senyum menungging. Urusan neraka jahanam itu juga berlaku kepada Amien Rais yang tidak membayar nazar jalan kaki Jogja-Jakarta, begitu yang terpikir di kepala Jokowi.

Sehabis Marwan Batubara berbicara tentang HAM berat, Jokowi meminta kepada TP3 untuk memaparkan data. Marwan hanya menyebutkan bahwa peristiwa itu adalah kejahatan HAM berat. Jokowi meminta data dan fakta temuan TP3. Tidak ada yang dibawa. Tidak memiliki bukti. Semua yang disampaikan hanyalah halusinasi dan asumsi berdasarkan kebencian terhadap Jokowi.

Mendengan omongan Marwan Batubara, Jokowi meminta pertemuan diakhiri pada menit ke-15, yang sedianya dijadwalkan dari 10.00-12.00. Jokowi tidak mau berdiskusi dengan Amien Rais Cs yang tanpa memiliki data, seperti kongkow-kongkow obrolan di Lapo, Warung Kopi, atau obrolan tukang cukur di bawah pohon.

Dari peristiwa di Istana, Jokowi membungkam Amien Rais dan kelompok radikal. Pertemuan di Istana itu menguak fakta bahwa Jokowi sangat memahami konstruksi hukum, mendukung tindakan kepolisian dalam peristiwa KM50, serta menghargai temuan Komnas HAM. Bahkan TP3 pun dia terima jika memiliki data – sayangnya halusinasi dibawa ke Istana.

Karena yang dihadapi para tamu Istana yang tidak paham hukum sama sekali, maka Jokowi tidak mau berpanjang kata dan diskusi tidak produktif. Sekali lagi pertemuan dengan TP3 hanya membuang waktu Presiden.

Padahal Jokowi paham benar tentang konstruksi hukum. Jokowi tahu tentang mekanisme penetapan tersangka. Dia juga paham 6 laskar dijadikan tersangka, lalu dibatalkan demi hukum. Karena dalam konstruksi hukum ada pihak lain yang harus menjalani prosedur hukum terkait tewasnya 6 teroris FPI tersebut, yakni aparat kepolisian. Ini yang tidak dipahami TP3.

Jokowi tahu, Indonesia memiliki prosedur hukum yang mumpuni. Aparat kepolisian, kejaksaan, dan pengadilan paham akan alur konstruksi hukum, mekanisme hukum, dalam menangani kasus hukum. Jokowi menyerahkan seluruh proses hukum kepada aparat hukum, bukan ke TP3 Amien Rais yang halusinasi dan mabok agama.

Oleh: Ninoy Karundeng

- Advertisement -

Berita Terkini