Kebijakan Pemerintahan Jokowi Yang Pas Dalam Izin Investasi Miras

Breaking News

- Advertisement -
- Advertisement -
- Advertisement -
- Advertisement -

MUDANEWS.COM – “Pemerintah membuka kran investasi izin industri miras dan menetapkan industri minuman keras sebagai daftar positif investasi (DPI) terhitung sejak tahun ini.

hal ini bukan sesuatu hal yang asing dan aneh tapi hal ini sudah lazim dilakukan di banyak negara di seluruh dunia dan termasuk Indonesia itu sendiri.

Adapun investasi atau penanaman modal baru ini hanya dapat dilakukan di Provinsi Bali, Provinsi Nusa Ternggara Timur (NTT), Provinsi Sulawesi Utara, dan Provinsi Papua dengan memperhatikan budaya serta kearifan lokal. Penanaman modal tersebut ditetapkan oleh Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM) berdasarkan usulan gubernur.

Sesuai amanat UU dan Pancasila Sila Kelima Keadilan Sosial Bagi Seluruh Rakyat Indonesia bahwa Indonesia bukan negara agama tapi negara orang-orang yang beragama. Antar satu pemeluk yang satu dengan yang lain saling menghargai aturan masing-masing.

Ditambah lagi Indonesia memiliki adat budaya, istiadat, tradisi serta kearifan lokal yang kaya dan berbeda-beda. Artinya tidak boleh pada satu agama atau suku tapi di suku atau agama lain diperbolehkan bahkan sudah menjadi habitnya. Hal inilah yang diejawantahkan oleh pemerintah dan berusaha menetapkan kebijakan yang bijaksana karena begitu majemuknya Indonesia ini.

Sebagai contoh industrialisasi yang berkenaan dengan babi, di agama Islam tidak lazim sedangkan pada Kristiani, Hindu, Buddha Serta aliran kepercayaan sangat permisif dan dibudidayakan. Seperti yang dilakukan Rasulullah Saw sebagai kepala negara di Madinah membatasi satu hal secara khusus bagi muslim tapi pada skala yang lain beliau sangat terbuka pada pemeluk agama lain seperti Yahudi dan Nasrani di Madinah dahulu untuk menjalankan keyakinan dan kepercayaan mereka.

Sekedar informasi, terkait minuman keras dengan segala perdebatannya yang terjadi pada Islam itu memang terjadi namun tidak kita bisa pungkiri bahwa miras atau khamar atau yang kita sebut minuman beralkohol memiliki manfaat sebagaimana disebutkan dalam Alquran surat An-Nahl ayat 67, “Dan dari buah kurma dan anggur, kamu membuat minuman yang memabukkan dan rezeki yang baik. Sungguh, pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda (kebesaran Allah) bagi orang yang mengerti.”

Ayat ini sangat korelatif dengan surat Al-Baqarah ayat 219 bahwa miras walaupun ada bahaya penyalahgunaannya tapi manfaatnya sangatlah banyak.

Hingga akhirnya jumhur ulama mengharamkan miras berdasarkan point yang ada pada surat Al-Ma’idah ayat 90 yang juga terjadi perdebatan juga antar mazhab tentang miras yang bagaimana.

Seperti yang saya kutip dalam kitab Al-Wasith karya Sayyid Thanthawi,

وقال الأحناف ووافقهم بعض العلماء كإبراهيم النخعي وسفيان الثوري وابن أبى ليلى: إن كلمة خمر لا تطلق إلا على الشراب المسكر من عصير العنب فقط، أما المسكر من غيره كالشراب من التمر أو الشعير فلا يسمى خمرا بل يسمى نبيذا. وقد بنوا على هذا أن المحرم قليله وكثيره إنما هو الخمر من العنب. أما الأنبذة فكثيرها حرام وقليلها حلال

Maknanya : “Para ulama mazhab Hanafi dan sebahagian ulama seperti Ibrahim An-Nakh’i, Sufyan Ats-Tsauri dan Ibnu Abi Laila menyepakati sesungguhnya kata khamar (minuman keras) tidaklah mutlak kecuali hanya pada minuman yang memabukkan dari hasil fermentasi anggur. Adapun yang memabukkan dari selain anggur tersebut seperti minuman fermentasi dari tamar atau gandum maka tidaklah ia dikatakan khamr tetapi nabidz. Mereka membangun ijtihad ini bahwa yang diharamkan itu adalah hanya yang dari anggur. Adapun yang dari nabidz atau dari selain anggur jika terlalu banyak maka haram, sedangkan jika sedikit tidaklah haram.”

Argumentasi para ulama ini saya kira sangat mencerdaskan, alkohol yang berasal dari fermentasi zat tertentu tidaklah dari anggur saja. Bahkan setiap daerah atau negara memiliki minuman fermentasi yang berbeda-beda, ada dari beras yang diolah oleh masyarakat Jepang menjadi sake, dari getah kaktus atau yang disebut pulque minuman beralkohol khas Mexico, ada yang dari biji-bijian yang disebut chicha minuman khas dari Amerika Selatan, ada yang dari fermentasi air nira yang berubah menjadi tuak yang merupakan minuman khas dari Indonesia, dan juga yang dari madu dan tanaman, dll.

Jika mengikuti pendapat Hanafiyah dan para ulama yang pro dengannya maka boleh meminum minuman olahan hasil fermentasi yang bukan dari Anggur.

Pada masa kini, seorang ulama yang merupakan mufti Australia Syeikh Mushtafa Rasyid dalam situs Ahewar menjelaskan,

الخمر غير محرم فى الاسلام…فنص الحديث لا يحرم الخمر فى حد ذاته بل يحرم السكر أى الوقوع فيه

Maknanya : “Khamar atau minuman keras itu tidaklah diharamkan dalam Islam…adapun nash hadits (yang menyatakan haramnya miras) tidak haram pada batas zatnya tapi yang haram itu jika sampai memabukkan atau membahayakan.”

Inilah yang perlu direnungkan. Terkadang saya mengambil suatu hipotesa apakah pengharaman itu pada zatnya secara esensial atau efek dari zat tersebut yang jadi pemicu haram tersebut jika sampai memabukkan dan membahayakan. Ini menarik dan tidak perlu ribut untuk membahas perdebatan ini.

Kembali pada pembahasan di atas, secara inklusif pemerintah telah menetapkan hal ini secara profesional dan proporsional. Jangan karena perbedaan pandangan politik hal ini diperbesar padahal selang waktu yang tak begitu lama, Pemprov DKI Jakarta yang dipimpin Gubernur Anies Baswedan justru menambahkan kepemilikan sahamnya pada perusahaan produsen bir sebagaimana yang saya kutip dari situs detik finance.

Menerima yang satu tapi membenci yang lain karena perbedaan idealisme itu menunjukkan ketidakdewasaan dan kecurangan yang halus.

Yang perlu diperhatikan bahwa tujuan investasi miras ini bukan untuk menjadi fasilitas melanggengkan mabuk-mabukan atau hal-hal yang merugikan negara. Kita tetap saling mengingatkan dan menjaga persatuan dan kesatuan. Karena ada keragaman yang menjadi sunnatullah yang tak bisa kita hindari.”

Oleh : Ustadz Miftah Cool

- Advertisement -

Berita Terkini