Gegabah Menilai ASN Terpapar Radikalisme, Itu Tidak Adil

Breaking News

- Advertisement -
- Advertisement -
- Advertisement -
- Advertisement -

MUDANEWS.COM – Upaya “pembersihan” paparan radikalisme yang sejak awal saya ragukan jenis kelaminnya, tampaknya terus digencarkan oleh Pemerintah, baik di periode pertama atau kedua Kabinet Indonesia Maju.

Detik.com Jakarta – Rabu, (2/09/2020) mewartakan bahwa Kementerian Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi (PANRB) bersama Kementerian Agama, Kepala BNPT, Kepala BKN serta Kepala Daerah lainnya telah meluncurkan aplikasi ASN No Radikal. Aplikasi ini ditujukan untuk membasmi paham radikalisme di lingkup Pegawai Negeri Sipil (PNS).

Menguatkan upaya tersebut, pernah juga Menteri Agama (Menag) sebelum Yaqult, yakni Fachrul Razi memberi usulan khusus terkait penerimaan CPNS.

Ia meminta agar seleksi CPNS dibuat lebih ketat dan tidak menerima peserta-peserta yang terindikasi memiliki paham keagamaan tertentu seperti pro khilafah.

Jauh sebelumnya upaya pemerintah untuk mewujudkan birokrasi yang bebas dari paham radikalisme dilakukan lewat penandatanganan Surat Keputusan Bersama (SKB) Penanganan Radikalisme ASN oleh 11 kementerian dan lembaga. Kementerian dan lembaga tersebut adalah Kementerian PANRB, Kementerian Dalam Negeri, Kementerian Hukum dan HAM, Kementerian Agama, Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, Kementerian Komunikasi dan Informatika, Badan Intelijen Negara, Badan Nasional Penanggulangan Terorisme, BKN, Badan Pembinaan Ideologi Pancasila, dan Komisi Aparatur Sipil Negara, pada 12 November 2019 yang lalu.

Kini ada Surat Edaran (SE) Bersama tertanggal 25 Januari 2021, yang terkait dengan upaya pembersihan ASN terpapar radikalisme. Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi (PANRB) Tjahjo Kumolo dan Kepala Badan Kepegawaian Negara (BKN) Bima Haria Wibisana berkomitmen untuk melakukan langkah tegas guna mencegah aparatur sipil negara (ASN) dari paham radikalisme. Langkah tegas tersebut tertuang dalam Surat Edaran Bersama Menteri PANRB dan Kepala BKN tentang Larangan bagi ASN untuk Berafiliasi dengan dan/atau Mendukung Organisasi Terlarang dan/atau Organisasi Kemasyarakatan yang Dicabut Status Badan Hukumnya.

SE Bersama ini merupakan tindak lanjut dari Surat Keputusan Bersama (SKB) tentang Larangan Kegiatan, Penggunaan Simbol dan Atribut, serta Penghentian Kegiatan Front Pembela Islam yang diterbitkan pada 30 Desember 2020 lalu. SE Bersama Menteri PANRB dan Kepala BKN ini diterbitkan dengan tujuan agar ASN tidak terlibat dalam paham dan praktik radikalisme.

Langkah pelarangan oleh PPK tersebut mencakup tujuh hal, yakni menjadi anggota atau memiliki pertalian, memberikan dukungan langsung dan tidak langsung, menjadi simpatisan, terlibat dalam kegiatan, menggunakan simbol serta atribut organisasi, menggunakan berbagai media untuk menyatakan keterlibatan dan penggunaan simbol dan atribut, serta melakukan tindakan lain yang terkait dengan organisasi terlarang dan ormas yang dicabut badan hukumnya.

Dalam SE Bersama ini juga disebutkan organisasi terlarang dan ormas yang telah dicabut status badan hukumnya, yaitu: Partai Komunis Indonesia, Jamaah Islamiyah, Gerakan Fajar Nusantara (Gafatar), Hizbut Tahrir Indonesia (HTI), Jamaah Ansharut Daulah (JAD), dan Front Pembela Islam (FPI).

Menanggapi upaya berbagai kementerian untuk memerangi yang mereka sebut dengan Radikalisme saya sebagai Guru Besar di bidang hukum merasa prihatin karena pengelolaan negara ini tidak lagi didasarkan prinsip negara hukum.

Hal ini tentu bertentangan dengan Pasal 1 ayat 3 UUD NRI 1945. Indonesia ialah negara hukum. Pelarangan terhadap tindakan, pemikiran yang dilakukan oleh warga negara harus diatur dengan UU tidak cukup dengan Surat Keputusan Bersama (SKB) apalagi hanya dengan aplikasi ASN no radikal sedangkan radikalisme itu lebih condong pada nomenklatur politik dibandingkan hukum sehingga bersifat obscure (kabur) dan lentur sesuai kepentingan rezim penguasa.

Adakah per definisi hukum tentang apa itu artinya “Terpapar Radikalisme”? Ini masalah pelik karena bicara tentang ideologi seseorang. Tidak gampang membuktikan seseorang terpapar radikalisme sesuai dengan koridor hukum. Yang sering dipakai adalah koridor politik. Asal tidak setuju dengan kebijakan pemerintah, asal mengamalkan agama secara taat apakah langsung dikatakan terpapar radikalisme?

Untuk urusan ideologi kita sudah dibingkai dengan UU ORMAS Pasal 59, Tap MPRS No. XXV MPR 1966 yang dilarang adalah Ateisme, Komunisme, Marxisme dan Leninisme. Sedang nomenklatur dan paham lain itu merupakan pasal karet yang sulit dipastikan dan cenderung mengikuti kehendak penguasa.

Ini yang seharusnya dihindari. Sebaiknya, perincian dan paham lain itu ditegaskan melalui Peraturan Pemerintah sebagai pelaksanaan UU Ormas, dan atau KUHP. Jadi rakyat itu mendapatkan kepastian hukum ketika UU Ormas dan lain-lain itu ditegakkan.

Ketidakpastian itu akhirnya berdampak pada kecurigaan yang justru berakibat memecahbelah bangsa. Itukah yang kita kehendaki? Taruhlah ada yang terpapar komunisme misalnya, apakah langsung ditindak? Bukankah kita justru bekerja sama dengan negara yang menganut paham “komunisme”, yakni China? Apakah tidak takut pula terpapar paham komunisme? Mengapa justru paham radikalisme yang bentuknya tidak jelas itu lalu justru lebih dijadikan alasan mempersekusi orang? Adilkah?

Kita ingin ASN benar-benar perjuangkan nasib negara. Itu betul, tetapi tindakan semena-mena menyematkan bahwa seorang ASN terpapar radikalisme dan intoleransi itu suatu tindakan yang gegabah dan tidak sesuai dengan prinsip negara hukum. Pembuktiannya mesti dilakukan secara cover bothside bukan penilaian sepihak tanpa memberikan ruang untuk membela diri secara patut. Not due process of law! Jangan asal menuduh dan memberikan sanksi lantaran berhak dan berwenang menjatuhkan sanksi. Hendaknya para pejabat berlaku adil dan bijaksana.

Radikal Itu Cara “Berfikir”.

Isu radikalisme menghangat kembali sejak dilantiknya Kabinet Maju Jokowi-MA. Radikalisme terkesan cenderung dialamatkan kepada umat Islam dengan kategori tertentu. Cadar, celana cingkrang menjadi trending topic terkait dengan pelabelan radikalisme. Benarkah umat Islam itu radikal? Tidak ada Islam radikal, Islam itu sangat toleran. Anda bisakah membayangkan seandainya umat Islam mayoritas di Indonesia (87% dari total jumlah penduduk) tidak toleran, saya yakin kaum minoritas akan musnah dari Indonesia. Namun lihatlah, bagaimana umat Islam itu hidup rukun dan melindungi kaum beragama lain. Itu sebagai bukti bahwa umat Islam itu sangat toleran dan tidak anti kebhinekaan, apalagi kok anti Pancasila. Mengapa? Ya karena umat Islam memahami bahwa Pancasila itu juga hasil karyanya dlm menata kehidupan bermsyarakat, berbangsa dan bernegara.

Saya pun tidak marah disebut dosen radikal, karena radikal ala Suteki adalah: ramah terdidik dan berakal. Bukan radikal pangkal terorisme. Catat itu!

Apa sih radikal itu?

Radikal itu sebenarnya bicara tentang cara berpikir. Ada 3 tingkat level cara berpikir seseorang yang disebut dengan abstraksi.

1. Abstraksi 1 berpikir naive, langsung kongkret (ilmu-ilmu biologi, fisika). Jadi tidak ada penyisihan materi.  Berpikir secara Fisis.

2. Abstraksi 2, berpikirnya sudah matematis, kuantitas kualitas benda dan tidak selalu kongkret. Benda tidak selalu perlu diadakan. Misal hitung berapa hasilnya 1000 kelereng yang dimiliki 1000 anak? Tidak perlu menjumlahkan 1000 kelereng kali seribu ditumpuk jadi satu. Cukup satu hasil 1000×1000 ya 1000.000 (satu juta). Itu yang kita sebut berfikir secara matematis.

3. Abstraksi 3. Nah, dilevel ini orang tidak penting lagi bicara soal fisik dan kualitas yang dicari adalah hakikat. Jadi materinya disisihkan dan dicari radiks-nya atau akarnya atau inti dari segala inti, core of the core. Ini yang disebut berpikir secara radikal, mengakar bukan hanya pada simptoma atau kulitnya saja. Inilah yang kita sebut berfikir secara radikal (amelioratif).

Jadi bila kita berpikir radikal maka kita tidak akan puas  dengan menerima pemahaman yang dangkal dan pragmentatif melainkan harus mendalam dan holistik. Maka kalau mau bicara tentang perubahan, berarti perubahan itu juga harus mendalam dan holistik alias perubahan Revolusioner Sistemik bukan perubahan Gradual Sporadis. Perubahan yang tidak sistemik itu sebuah kesia-siaan saja sebenarnya. Butuh waktu untuk berubah itu perlu, tetapi perubahan terencana dan terstruktur dalam Road Map yang jelas itu jauh lebih penting. That is radical  but not radicalism, apalagi terorisme.

Benarkah “ajaran” khilafah dilarang disebarkan karena bertentangan dengan Pancasila?

Untuk menentukan suatu ajaran itu terlarang  atau tidak perlu dilakukan pengujian oleh:
(1) Lembaga keagamaan yg menaunginya, kalau tentang khilafah, maka MUI berwenang mengujinya.
(2) Putusan Pengadilan atau ketentuan UU yang secara tegas menyebutkan untuk itu.

Selama ini belum ada fatwa MUI dan Putusan Pengadilan atau Ketentuan UU yang menyatakan bahwa Khilafah itu sbg ajaran Islam (bidang fikih) yang terlarang dan bertentangan dengan Pancasila.

Khilafah itu ajaran Islam tentang sistem pemerintahan ideal menurut tuntutan Alloh, Rasul dan para sahabat bukan ideologi yang disejajarkan dengan komunisme dan kapitalisme juga radikalisme.

Terlepas dari ormas HTI atau FPI yang oleh pemerintah dinyatakan sebagai organisasi yang dicabut badan hukumnya dan dilarang kegiatannya, oleh  karena khilafah itu sebagai bagian dari ajaran Islam maka khilafah boleh didakwahkan.

Tujuannya agar umat tahu tentang sistem pemerintahan ini sehingga tidak “plonga-plongo” ketika suatu saat sistem ini tegak dimuka bumi sebagai mana janji Rasulullah dalam hadits yang shohih. Jadi, tidak ada salahnya jika siapapun orang, lembaga, ormas Islam mendakwahkan khilafah selama tidak ada unsur kekerasan, pemaksaan dan apalagi makar.

Radikalisme yang belum pernah diformulasikan oleh lembaga yang berwenang di tingkat supra struktur negara, yakni DPR dan Presiden (lembaga legislatif), akan terus menjadi hantu politik bagi siapa pun penguasa yang menginginkan kesetiaan buta total dari ASN tanpa memberikan ruang kritik yang pantas.

ASN harus tunduk patuh tanpa berhak memberikan kritik dan perbedaan pendapat karena keduanya dianggap sebagai bentuk pembangkangan dan ketidaksetiaan kepada pemerintah. Ketika sudah diduga terpapar radikalisme, ASN bagaikan telur diujung tanduk tanpa ada pihak yang membela kepentingannya kendatipun di negeri ini ada komisi ASN. Lalu, apa sebenarnya fungsi komisi ASN?

Komisi Aparatur Sipil Negara adalah lembaga nonstruktural yang mandiri dan bebas dari intervensi politik untuk menciptakan Pegawai ASN yang profesional dan berkinerja, memberikan pelayanan secara adil dan netral, serta menjadi perekat dan pemersatu bangsa.

Benarkah KASN mandiri dan bebas intervensi dari Pemerintah? Bagaimana pembelaan KASN kepada ASN yang mendapatkan perlakuan kurang adil? Apakah KASN ini tidak lebih dari kepanjangan tangan dari Pemerintah (MenPANRB) layaknya seperti Inspektorat Jenderal? Banyak hal yang harus dibenahi jika kita bicara kemandirian dan intervensi terhadap komisi-komisi apa pun di negeri +62 ini.

Ada yang berpandangan bahwa, komisi-komisi nasional itu tidak lebih dari JURU BICARA Pemerintah saja. Benarkah? Saya ingin, KASN bicara tentang batas-batas ASN yang dinilai terpapar radikalisme atau tidak sehingga Pemerintah tidak gegabah menilai ASN terpapar radikalisme.

Tabik..!

Oleh : Prof. Dr. Suteki, SH. M.Hum

Semarang, Jumat: 29 Januari 2021

- Advertisement -

Berita Terkini