Reporter Burung Gagak dan Jurnalis Ikan Hiu

Breaking News

- Advertisement -
- Advertisement -
- Advertisement -
- Advertisement -

MUDANEWS.COM – Adegan yang berulang ulang itu muncul secara berkala – setiap kali bencana datang. Sungguh memuakkan. Muncul para reporter burung gagak dan jurnalis ikan hiu.

Burung gagak terbang menandakan adanya maut. Ikan hiu bergerak gesit lantaran mencium tetesan darah, dan terus mengendus arah genangan darah.

Reporter burung gagak dan jurnalis ikan hiu adalah spesies media yang melihat lokasi bencana sebagai tempat “pesta”. Melihat korban yang berdarah darah, terpotong potong, dan kantong mayat sebagai mangsa. Sasaran liputan. Obyek siaran.

Bencana adalah tantangan dan peluang untuk menaikan popularitas diri, popularitas media, menggenjot karir di depan kamera.

“Ini siaran langsung! Prime time. Keluarga dan temanku menonton. Sebentar lagi karirku naik. Aku akan populer!! ” begitulah yang terpancar dari wajah reporter di lokasi.

“Ayo terus gali, terus tanya terus… Ngomong apa saja. Ini siaran langsung. Kamera sudah ‘on’. Satelit sudah dibayar, bicara saja, bicara apa saja… ” begitu pikiran yang terbaca dari produser acara, redaktur dan pengelola stasiun pada reporter yang di lapangan.

Dan yang dikirim ke lapangan selalunya para plonco, anak anak pemula, junior, yang masih gagap harus berbuat apa. Asal bicara, asal nanya. Sering mengesalkan.

Yang ditanya hal – hal yang tak perlu ditanya. Segala kabel, sobekan dan pecahan apa, asal dari mana?

Keluarga Anda ada yang jadi korban dan meninggal? Bagaimana rasanya? Apa firasatnya? Apa pesannya? Adakah hal yang aneh dan gaib? – Adakah tanda tanda sebelum korban meninggal dan hilang? Sang reporter bertanya penuh gairah pada keluarga korban.

Itulah wajah jurnalisme tanpa empati.

Korban bencana dijadikan mangsa, obyek berita, para korban dan keluarganya di lokasi bencana maupun di rumahnya yang didatangi adalah suguhan hangat untuk pemirsa. Drama yang ditunggu untuk ditontonbui. Dan terus dieksploitasi.

Anda menderita Anda kena bencana! Kami bahagia, karena rating kami naik. Pamor redaksi kami melesat. Iklan berdatangan. Ini “prime time” sepanjang hari. Produser senang!

Itulah yang disebut praktik jurnalisme tanpa empati.

DEWAN PERS, sebagai lembaga penjaga marwah pers kita berkali kali telah mengajak para jurnalis dan reporter di lapangan agar menerapkan jurnalisme empati.

Jurnalisme empati adalah jurnalisme yang memberikan bela rasa kepada manusia.

Dinamakan dengan jurnalisme empati, karena metode jurnalisme ini mengajarkan kita untuk melihat, mendengar, merasakan dari sisi narasumber.

Dalam jurnalisme empati, seorang wartawan bukan hanya mengerti kemauan khalayak pemirsa, pembaca dan pendengar siarannya, melainkan juga mempertimbangkan perasaan korban dan keluarganya.

Empati didefinisikan sebagai sikap dan kemampuan untuk melihat dunia dari sisi orang lain.

Empati memungkinkan kita untuk memahami, secara emosional dan intelektual, apa yang sedang dialami orang lain.

Dengan berempati kita membayangkan diri kita pada kejadian yang menimpa orang lain.

Tujuan dari jurnalisme empati ini agar para pembaca dapat melihat, mengerti dan merasakan apa yang nara sumber rasakan. Jurnalisme yang mengedukasi dan memanusiakan manusia. Jurnalisme yang membuat masyarakat kuat, damai, dan tidak takut.

Bukan mencari dan memberikan berita sesuai dengan keinginan dari para pembaca maupun jurnalis sendiri. Tapi bagaimana, apa yang narasumber ingin sampaikan dan nara sumber lihatkan tentang hal yang dia rasakan.

Fakta memang penting dan harus diinformasikan kepada masyarakat, namun pers juga harus mengedukasi masyarakat.

KATA “empati” (empathy) berasal dari kata “einfuhlung” yang pertama kali digunakan oleh seorang psikolog Jerman. Secara harafiah kata tersebut berarti “merasa terlibat”.

Pentingnya sikap empati dalam komunikasi dinyatakan oleh psikolog terkemuka, Carl Rogers, “kendala utama bagi komunikasi antar personal satu sama lain adalah kecenderungan alamiah kita untuk menghakimi, menilai, menyetujui atau membantah pernyataan orang lain atau pun pernyataan kelompok”.

Kegagalan komunikasi sering disebabkan karena kurangnya kemampuan mendengarkan dengan empati. Kunci untuk mendengarkan secara efektif yang merupakan kunci dari komunikasi yang efektif tak lain adalah empati.

Tapi rasa empati tak akan terlalu bermakna jika kita tidak mampu mengkomunikasikan pemahaman empati ini kepada orang lain.

Hasil pemberitaan yang empati, edukatif dan bukan menakut-nakuti, akan membuat masyarakat peduli satu sama lain.

Jurnalisme empati mendorong orang untuk membantu korban bencana.

Masyarakat akan merasa bahwa bencana ini adalah tanggung-jawab bersama dan harus dilawan secara bersama-sama pula.

Ashadi Siregar, pengajar ilmu Jurnalistik di Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta, menyebutkan bahwa jurnalisme empati adalah upaya untuk memberikan dorongan, membangun optimisme hidup dan dukungan bahwa hidup seberapa pun panjangnya adalah karunia.

Dengan demikian, menurut Bang Adi, jurnalisme empati diharapkan dapat melukiskan empati sebagai “to see with eyes of another, to hear with the ears of another and to feel with heart of another”.

Dengan kerangka kerja ini, diharapkan tidak ada pemberitaan eksploitatif yang membuat masyarakat resah.

Dengan pemberitaan yang mengedepankan empati, bela rasa, dan penuh dengan edukasi, akan muncul solidaritas dan identitas sosial sebagai akibat langsung dari kerja media.

Dengan begitu pembaca dapat merasakan apa yang narasumber rasakan.

“Karena apabila dia tidak dapat merasakan apa yang narasumber rasakan, bagaimana mungkin dia dapat menyampaikan parasaan narasumber kepada pembaca. Karena jurnalisme ini adalah memberikan pendidikan, bukan memberikan rasa kasihan semata,” terang Maria Hartinisih, jurnalis senior Kompas yang banyak menulis korban AIDS.

Kemampuan jurnalis untuk membuat karya jurnalistik di tengah krisis, baik itu konflik sosial maupun bencana alam perlu terus ditingkatkan. Agar karya yang dihasilkan dapat membangun empati, bukan malah efek sebaliknya.

Akan tetapi praktik yang sebaliknya masih dilakukan sebagian media di tanah air.

Demi rating, like dan sharing, media kadang keluar dari kode etik jurnalistik, selain berfungsi sebagai pewarta informasi juga seharusnya sebagai sarana edukasi.

Bencana adalah prime time yang mendulang iklan dan rating. Sehari suntuk bahkan lebih. Saat mencekam bagi keluarga korban dan mencekam bagi media untuk mendapatkan angel terbaik dalam liputan dan siarannya.

Pemberitaan yang mengerikan, bombastis, dan clickbait seharusnya dihentikan. Cukuplah media sosial sebagai tempat subur lahirnya hoax dimana masyarakat makin sulit membedakan mana fakta dan opini. Semuanya bercampur. Berkelindan.

Itulah yang harus ditangkal oleh jurnalisme empati. Bukan ikut menghantui dan sibuk memancing di air keruh. Ikut “pesta” di lokasi bencana

“Itu ada kantong mayat datang, ayo kejar! ” teriak reporter pada juru kamera. Di tempat lain juru kamera media saingan berteriak kepada reporter.

“Ayo kasi gambar terbaik. Eksploitasi. Cari angel yang unik. Kompetitor kita makin menggila. Jangan mau kalah! Atau kalian akan dimutasi ke bagian dokumentasi! ” teriak produser di studio.

Oleh : Supriyanto Martosuwito

- Advertisement -

Berita Terkini