Catatan Akhir Tahun 2020: Pandemi Covid-19 dan Kebijakan yang Mengesampingkan Sains

Breaking News

- Advertisement -
- Advertisement -
- Advertisement -
- Advertisement -

Oleh : Raihan Ariatama
Pengamat Kebijakan Publik di Institute for Democracy and Welfarism (IDW)

Di penghujung 2019, kita semua merencanakan banyak hal dan hendak menatap 2020 dengan penuh harapan dan optimisme. Rencana sudah dirancang secara detail, strategi telah dibuat untuk merealisasikan rencana tersebut. Tapi kemudian, secara tiba-tiba dan sialnya kita belum mempersiapkan banyak hal untuk menghadapinya, pandemi Covid-19 menghantam seluruh dunia, termasuk Indonesia dan kita harus mengubah haluan dan merancang rencana baru supaya bisa bertahan di tengah pandemi ini.

Bagi siapapun, tahun 2020 adalah tahun yang berat. Ada banyak orang terinfeksi Covid-19, sebagian darinya meninggal dunia. Semua sektor kehidupan terdampak: ekonomi lesu, banyak orang kehilangan pekerjaannya, profit UMKM menurun drastis bahkan tidak sedikit yang usahanya bangkrut, anggaran pemerintah dialihkan untuk menangani Covid-19, banyak acara-acara besar ditunda atau dibatalkan dan lain sebagainya. Termasuk Kongres HMI Ke-31 yang rencananya akan dilaksanakan di tahun ini terpaksa harus diundur.

Pandemi Covid-19 memaksa kita untuk mengubah kebiasaan dan cara kita hidup. Pada tataran individu, kita mulai terbiasa untuk memperhatikan kesehatan diri kita sendiri; dengan mengkonsumsi makanan sehat, minum vitamin secara rutin, mencuci tangan dan memakai hand sanitizer, mengenakan masker, menghindari kerumunan dan lain sebagainya.

Pada konteks yang lebih luas, semua negara berlomba-lomba untuk menangani wabah ini. Ada yang berhasil menekan laju kasus positif hingga nol, dan ada pula –yang sampai hari ini—masih berupaya menangani Covid-19 di tengah kasusnya yang semakin tinggi dari hari ke hari. Dan Indonesia tergolong sebagai yang kedua.

Sejak ditemukan kasus positif pertama pada awal Maret 2020 sampai saat ini, masih belum ada tanda-tanda penurunan kasus positif Covid-19 di Indonesia dan cenderung mengalami kenaikan dari waktu ke waktu. Di Indonesia, sampai tulisan ini dibuat, terdapat 700 ribu-an kasus positif dengan 20 ribu lebih orang meninggal dunia dan 500 ribu lebih orang dinyatakan sembuh. Belum lagi dampak sosial, ekonomi dan politik. Setelah 10 bulan Covid-19 menerpa Indonesia, kenapa masih terjadi kenaikan kasus positif?

Covid-19 dan Kebijakan yang Mengesampingkan Sains

Sejak awal, bahkan sebelum ditemukannya kasus positif Covid-19 di Indonesia, pemerintah Indonesia telah menyepelekan virus ini. Padahal masa-masa awal ini adalah periode yang menentukan (golden period) untuk menangani pandemi.

Hal ini bisa kita lihat dari beberapa komentar dan respons pejabat publik kita, antara lain: pernyataan Menteri Kesehatan (yang saat ini telah menjadi mantan) Terawan Agus Putranto yang menyebut belum ada satu pun warga Indonesia dan warga negara asing yang terinfeksi virus corona di Indonesia berkat doa masyarakat Indonesia dan meminta masyarakat untuk santai saja menghadapi Covid-19; pernyataan Menteri Perhubungan Budi Karya yang berkelakar bahwa masyarakat Indonesia memiliki kekebakaln tubuh karena setiap hari makan ‘nasi kucing’; dan kelakar Menteri Koordinator Perekonomian Airlangga Hartanto –sebagaimana dinyatakan oleh Menteri Hukum dan HAM Mahfud MD dalam akun Twitter resminya—bahwa virus corona tidak masuk ke Indonesia karena perizinan di Indonesia berbelit-belit.

Pernyataan-pernyataan tersebut jelas kontradiktif dengan temuan sains dan menyepelekan Covid-19 yang memiliki tingkat penyebaran yang jauh lebih tinggi ketimbang MERS dan SARS yang pernah merebak beberapa tahun silam. Dan sains telah menemukan ‘cara terbaik’ untuk menekan penyebaran virus corona ini: antara lain dengan menghindari kerumunan dan mencegah terjadinya kerumunan. Akibat tingkat penyebaran yang tinggi ini, Wuhan di Cina misalnya, yang disinyalir sebagai tempat pertama ditemukannya virus corona ini, melakukan lockdown total selama 76 hari dan sangat efektif menekan laju penyebaran Covid-19.

Tidak seperti di Wuhan Cina, Indonesia menerapkan kebijakan Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) ketimbang lockdown. PSBB ini dianggap pemerintah sebagai ‘jalan tengah’ untuk menyelamatkan manusia dari terinfeksi Covid-19 pada satu sisi dan menjaga stabilitas ekonomi pada sisi yang lain. Alih-alih mendapatkan keduanya, ‘jalan tengah’ ini justru memperoleh sebaliknya: kasus Covid-19 yang terus meningkat dan ekonomi yang tidak semakin membaik bahkan menuju jurang resesi.

Kebijakan lain yang mengesampingkan sains dalam menangani pandemi ini adalah adaptasi kebiasaan baru yang melonggarkan aktivitas di luar rumah seperti wisata dan pelaksanaan Pilkada serentak 2020 di tengah kasus Covid-19 yang terus meningkat. Pilkada adalah magnet kerumunan dan wisata menjadi aktivitas yang sangat potensial untuk terpapar Covid-19. Padahal, virus corona ini tidak membeda-bedakan kerumunan orang yang akan terjangkit olehnya; apakah kerumunan tersebut telah dilegalkan oleh peraturan KPU dalam Pilkada ataukah kerumunan orang tersebut sedang berwisata karena mendapat kelonggaran dari pemerintah.

Alhasil, sampai saat ini, tidak ada tanda-tanda Covid-19 akan mereda di Indonesia: statistik kasus harian belum menunjukkan tanda-tanda akan melandai, angka kematian terus bertambah meskipun angka sembuh juga tinggi, angka kematian Tenaga Kesehatan tinggi, bahkan banyak masyarakat yang positif Covid-19 tidak mengetahui tertular dari mana dan oleh siapa.

Di tengah kebijakan yang tidak berdasarkan pada temuan sains dan tren Covid-19 yang semakin memburuk, Juru Bicara Pemerintah untuk Penanganan Covid-19, Wiku Adisasmito, kemudian berkata (CNN Indonesia, 24-12-2020): “Jika keadaan ini terus berlangsung, ini seperti kondisi di mana masyarakat menggali kuburnya sendiri.”

Memang, masyarakat sudah tidak terlalu peduli dengan pandemi ini. Kita bisa menjumpai di berbagai daerah bagaimana kerumunan di banyak tempat terjadi. Tapi, kondisi ini tidak terjadi tiba-tiba. Ada hal yang melatarbelakangi, yakni masyarakat sudah bosan dengan penangan Covid-19 yang berlarut-larut dan cenderung tidak jelas prioritasnya.

Jika mengacu pada kebijakan-kebijakan yang tidak berlandaskan pada sains sebagaimana deskripsi di atas, pandemi Covid-19 di Indonesia masih jauh dari selesai dan saya kira satu-satunya jalan bagi Indonesia adalah vaksin, yang juga merupakan produk sains. Harapannya, di tahun 2021, vaksinasi dilaksanakan secara menyeluruh dan gratis di Indonesia sehingga kita, masyarakat, bisa kembali mewujudkan rencana dan mimpi-mimpi yang sempat tertunda akibat pandemi ini. Tentu, rencana dengan modifikasi dan strategi yang baru.

Jakarta, 28 Desember 2020

- Advertisement -

Berita Terkini