Ketika Nalar Tumpul yang Kebetulan Berkuasa

Breaking News

- Advertisement -
- Advertisement -
- Advertisement -
- Advertisement -

MUDANEWS.COM – Karl R. Popper, filsuf abad 20 berkata: “Sungguh mudah untuk berbuat kekeliruan, tetapi sebaliknya kita tidak bisa benar-benar merasa pasti, bahwa kita telah melakukan hal yang benar”.

Ketika China tampil secara ekonomi berhasil melakukan lompatan pertumbuhan, dengan sistem politik yang tersentralisasi dalam satu kekuatan Partai Komunis Tiongkok, mereka yang tidak memiliki kemampuan berpikir kritis, serta terpana, takjub dengan apa yang dicapai oleh Tiongkok. Mereka menjadikan China sebagai justifikasi untuk mengatakan bahwa demokrasi yang karena tidak efisien dan lamban, tidak sepatutnya lagi di terapkan. Lalu mereka memberikan pembenaran bahwa suatu pemerintahan yang otoriter, tapi efisien itulah yang mesti ditegakkan, seperti apa yang mereka saksikan di China. Banyak elit politik di negeri kita yang berpandangan demikian. Maka partai-partai pun tertuju perhatiannya kepada Partai Komunis Tiongkok. Mereka belajar ke Tiongkok bagaimana Partai Komunis Tiongkok itu menyelenggarakan pemerintahan diktator mereka untuk mengejar pertumbuhan ekonomi.

Pandangan seperti itu sesungguhnya amat sangat keliru. Cobalah amati sejumlah negara makmur lainnya, seperti Negara-negara Scandinavia, Eropah, Jepang, Korea Selatan, dan tentu saja Amerika. Negara-negara ini sukses mencapai kemakmuran tidak melalui cara-cara kediktatoran seperti yang dilakukan Partai Komunis Tiongkok.

Bahkan, jika mau sedikit berpikir terbuka, lebih kritis dan tidak menggunakan nalar tumpul, apa yang diraih oleh China, tiada lain adalah buah dari tumbuh suburnya pandangan demokrasi di negara-negara yang terlebih dahulu maju dari Tiongkok.

Liberasi ekonomi di sejumlah negara itulah, yang memungkinkan Tiongkok menjual produk-produk mereka, melakukan invasi ekonomi ke sejumlah belahan dunia. Sesuatu yang mustahil di lakukan oleh Tiongkok, sekiranya negara-negara tujuan ekspor mereka menerapkan kebijakan proteksionis.

Demokrasilah yang memungkinkan aktivitas perdagangan berlangsung dalam neraca yang seimbang. Tanpa perlu melakukan politik dumping sebagaimana yang seringkali di lakukan oleh pemerintah Tiongkok. Demokrasilah yang mendorong industri disejumlah negara-negara yang lebih dulu makmur bersedia bekerjasama dengan perusahaan-perusahaan Tiongkok.

Kediktatoran di Tiongkok adalah kelemahan paling besar dari negeri tirai bambu itu. Penindasan terhadap etnis Uighur, dengan pelanggaran HAM Berat yang massif menyertainya, telah membuat sejumlah negara-negara demokrasi, “menata ulang” pola hubungan mereka dengan Tiongkok akhir-akhir ini.

Penghianatan terhadap perjanjian Internasional, atas sistem “Dua Pemerintahan” yang disepakati atas Hongkong sebagai syarat pengembalian wilayah itu dari Inggris ke China, serta tindakan tidak bersahabat terhadap kedaulatan Taiwan sangat mungkin akan mengembalikan China ke era tahun 80-an –yang mengemis bantuan internasional untuk mengatasi masalah kemiskinan di negara mereka. “Kediktatoran yang bijakasana”, demikian yang sering disampaikan atas sikap semena-mena pemerintahan Tiongkok itu, tidak akan membawa China makin berjaya. Sebaliknya justru akan membawa China dalam masalah besar.

Kritik adalah prasyarat bagi kemajuan suatu masyarakat. Dan untuk itu diperlukan ruang publik yang bebas dan inklusive.

Rasionalisme Kritis, demikian istilah yang digunakan oleh Popper, merupakan keniscayaan bagi “open society” (masyarakat terbuka). Kenapa mesti demikian, karena di alam nyata, diperlukan kombinasi antara pandangan yang secara fundamental bersifat empiris dengan sebuah pandangan yang secara fundamental bersifat rasional terhadap pengetahuan, jadi merupakan kombinasi antara ontologi empiris, dan epistemologi rasionalis. Karena itu Popper berpendapat bahwa pengetahuan merupakan produk dari pikiran-pikiran kita yang berhasil bertahan, dan melewati semua tes berupa konfrontasi dengan sebuah realitae empiris yang eksis secara independen dari manusia. Dan inilah penjelasan dia atas apa yang dia sendiri sebut sebagai “rasionalisme kritis”.

Rasionalisme kritis sangat penting bagi kemajuan suatu masyarakat. Apalagi di negara yang orang mimpi sekalipun dipidanakan; orang menulai status dipidanakan; menyampaikan keluh kesah, berkerumun dipidanakan dan seternya. Jika “nalar tumpul” seperti ini yang kebetulan berkuasa, lalu ditopang oleh kediktaoran yang katanya bijaksana, tapi selalu salah, ini sangat berbahaya bagi masa depan suatu bangsa.

Dampak negatif paling fundamental dari suatu Pemerintahan yang otoriter itu adalah menyebarkan “nalar tumpul” ke seluruh sendi-sendi pemerintahan. Dan wabah dari “nalar tumpul” ini jauh lebih berbahaya dari Covid19. Terutama karena pemerintahan yang otoriter itu, bukan hanya tidak bisa menerima kritik, tapi juga terjadi simboisis mutualisme dengan aparat negara yang memiliki “nalar tumpul”.

Wabah “Nalar tumpul” ini juga disebarluaskan oleh para tukang yang digaji oleh kekuasaan, dari tukang survey, tukang bully, hingga tukang intai urusan private dari warga negara.

Tentu saja pemandangan seperti itu, jika telah terjadi dalam praktek bernegara kita mesti dihentikan.

Oleh : Hasanuddin, MSi
Pengamat Sosial Politik

Penulis : Ketua Umum PB HMI 2003-2005
Magister Ilmu Politik Universitas Indonesia.

- Advertisement -

Berita Terkini