Saya Jadi Ragu Gara-Gara Akbar Tanjung

Breaking News

- Advertisement -
- Advertisement -
- Advertisement -
- Advertisement -

MUDANEWS.COM – Ini tulisan kedua saya yang berhubungan dengan Akbar Tanjung setelah tulisan pertama saya yang menyoroti historis kebijakan PB HMI saat beliau menjadi Ketua Umum PB HMI periode 1971-1974, setelah Nurcholish Madjid (Cak Nur) yang menjabat selama dua periode; 1966-1969 dan 1969-1971. Dan ini juga tulisan saya yang kesekian ratus kali mengkritisi “penyeretan” HMI ke panggung politik praktis.

Tulisan saya yang pertama itu sebuah tanggapan-kritik atas tulisan Akbar sendiri yang telah dikodifasi dengan tajuk “HMI Menjawab Tantangan Zaman.” Dalam tulisannya itu, dengan bangganya Akbar mengutarakan, etah sadar atau tidak, menjelaskan bagaimana ia telah menciderai independensi HMI, dan dengan miris saya merasakan setelah membaca tulisan itu.

Para pembaca sekalian, jika berminat dapat membaca tulisan pertama saya itu di websait Mudanews.com, agar lebih puas, silahkan membaca tulisan Akbar di dalam buku yang saya sebutkan tadi. Buku itu berwarna hijau, saya masih ingat selalu warna buku itu, dan sampai sekarang saya belum menemukan adanya terbitan baru dengan warna sampul yang berbeda.

Oh iya, tulisan saya itu juga sudah saya abadikan di dalam sebuah buku yang berjudul “Mari Berceloteh Tentang HMI Hari Ini.” Buku saya itu adalah sebuah buku yang berisi kumpulan tulisan saya yang terbit di masa pandemiCovid-19, tepatnya bulan Agustus kemarin.

Tulisan yang mengandung tanggapan-kritisisme itu saya tulis saat Akbar datang ke HMI Cabang Kisaran-Asahan yang seharusnya mengisi materi pelatihan LK II, tapi nyatanya beliau hanya banyak bernostalgia dengan materi “Sejarah Abang dulu,” dan menceritakan kebanggaannya atas sejarah pembentukan sebuah komite kaum pemuda Indonesia. Saat Akbar sedang asyik bin khusyuk dalam forum itu–tanpa ada yang berani mendebat betapa “hancurnya” independensi HMI di masa pimpinannya, di ruang Instruktur saya sedang mengetik kritik terhadap tulisannya yang sudah lama saya niatkan.

Saat menulis, saya mendengar beberapa kader berteriak-teriak dan sambil berlari ke arena forum LK II untuk melihat penyambutan feodalistik dengan tari-tarian menyambut Akbar Tanjung. Bahkan forum sempat didekorasi agar tampak mewah karena Akbar datang. Ah, tradisi feodalistik itu jangan sampai terulang lagi, di HMI Cabang mana pun itu. Untuk bukan saya yang menjadi Koordinator MoT LK II itu, jika saya, jangankan tari-tarian dan perubahan dekorasi forum, Akbar Tanjung tidak akan pernah masuk dalam daftar penceramah.

Karena, forum training HMI bukanlah ajang “besar-membesarkan”, bukanlah ajang menarik uang, bukanlah ajang nostalgia, dan bukanlah tempat menceritakan kebesaranmu. Tapi forum LK II adalah untuk penguatan intelektual kader-kader HMI. Saya pernah bangga bertemu dengan Akbar, bahkan pernah beberapa kali berfoto dengannya, tapi setelah mengetahui perbuatannya pada HMI masa lalu hingga berpengaruh besar pada keterpurukan HMI hingga saat ini, rasa kekaguman itu pun sirna.

Baik kita harus kembali ke pembicaraan. Hari itu, entah mengapa tangan saya begitu “gatal”, tidak bisa ditertibkan jikalau saya tidak memulai tulisan untuk mengkritik perkataannya di dalam buku itu. Waktu saat menulis, buku itu ada di pangkuan saya, hampir saja saya merobek beberapa lembar yang memuat tulisan Akbar Tanjung.

Tapi, ah percuma saja, jika pun saya merobeknya, tidak mungkin tulisannya yang sudah menyebar lewat buku itu ke banyak kader secara otomatis terobek juga. Jadi, saya mengambil sikap melanjutkan tulisan kritik terhadap tulisannya dengan harapan akan dibaca oleh kader-kader jika sudah terbit di media online. Tentunya alasan saya waktu itu memilih menerbitkannya di media online supaya lebih mudah dan lebih cepat diedarkan ke setiap gawai kader-kader.

Tulisan yang pertama itu mengudara di awal tahun ini–waktu itu Corona masih di Wuhan, dan tulisan kedua ini pun mengudara di akhir tahun ini juga–sekarang Corona terimpor ke negara kita. Saya merasa ada semacam konspirasi alam dan waktu yang menggerakkan tangan dan pikiran saya untuk kembali berhubungan dengan Akbar Tanjung yang saya anggap “menyeret-nyeret” HMI ke panggung politik praktis.

Jika dulu pada saat ia menjabat sebagai Ketua Umum PB HMI, ia menyatakan kepada MPR supaya kembali memilih Soeharto menjadi Presiden, kini ia mengajak HMI dan keluarga besar HMI di Medan untuk memilih salah satu Pasangan calon (Paslon) Walikota-Wakil Walikota Medan pada Pemilukada Kota Medan 2020 ini.

Saya tidak dapat membayangkan jika ia menjadi pimpinan HMI lagi, apakah dia akan mengulangi sejarah buruknya itu. Saya juga tidak dapat membayangkan jika yang memimpin HMI Cabang Medan sekarang mengikuti sejarah buruknya Akbar, soalnya yang memimpin HMI Cabang Medan sekarang juga ada Akbar-akbarnya. Mudah-mudahan tidaklah.

Secara teritori, waktu saya menuliskan kritik yang pertama, saya tidak jauh dari posisi Akbar duduk, hanya beberapa meter dari forum LK II, tidak sampai 1 Km. Nah, sekarang juga begitu, walaupun memang agak lumayan jauh jikalau jalan kaki, tapi kami berada di kota yang sama saat Akbar menyeret HMI–yang mengatasnamakan keluarga besar HMI, terkhusus HMI di kota Medan–ke panggung politik praktis. Sayabagian dari yang disebutkannya itu tentu tidak sepakat, dan tidak akan sepakat sampai kapan pun. Ini bukan persoalan politis, tapi ini secara etis.

Kritikan saya yang pertama itu berlandaskan pada tulisannya sendiri, kali ini dasar pijak kritik saya terhadap Akbar yang saya anggap mengandung “penyeretan” terhadap HMI yang ada di Medan khusunya, adalah dari sebuah pemberitaan di media online, Tribun-Medan.com, yang mewartakan bahwa saat mengisi sebuah acara yang mengatasnamakan Aliansi Alumni HMI di Medan, Selasa (1/12/2020).

Saya petik sedikit perkataan Akbar secara verbatim sebagaimana yang diwartakan Tribun-Medan.com, tanpa perlu saya komentari secara langsung. Silahkan kepada pembaca memaknainya sendiri, dan biar lebih lengkap silahkan membacanya di websait tersebut bagi yang belum membacanya.

Akbar Tanjung mengatakan: “Dan semua demi kemajuan masyarakat. Bobby ini calon pemimpin yang terbuka kepada semua pihak. Dari pandangan saya calon bernama Bobby Nasution adalah yang terbaik dari calon lain di Kota Medan. Saya harapkan keluarga besar HMI, KAHMI jangan ada keraguan lagi untuk mendukung Bobby Nasution,” kata Akbar Tanjung yang pernah juga jadi Ketua MPR RI dan Ketua DPR RI.”

Memang, saya bukan bagian dari masyarakat yang ikut memilih pada Pemilukada Kota Medan tahun ini karena saya bukanlah warga asli Kota Medan. Di Medan ini hanyalah tempat saya menimba ilmu di salah satu perguruan tinggi dan telah memilih keluar dari kampus sekitar dua tahun lalu. Jadi tidak ada alasan politis saya terlibat secara subjektivitas siapa Paslon yang menjadi pilihan saya. Akan tetapi, secara etisnya, saya tidak setuju jika HMI dibawa-bawa dalam kepentingan politik praktis itu. Pernyataan langsung seperti yang dikatakannya itu dapat merusak independensi HMI.

Jika ada yang menghakimi saya dengan perkataan atau pertanyaan yang mengandung dukungan pada pernyataan Akbar tersebut, dan bertanya untuk apa saya merasa keberatan dengan ajakan Akbar Tanjung yang membawa-bawa HMI ke dalam panggung politik praktis padahal saya bukanlah pemilih Pemilukada Kota Medan tahun ini?
Jikalau saya menjadi Anda, apalagi sebagai kader atau alumni, saya akan meningkatkan kualitas pertanyaan saya menjadi; untuk apa dan mengapa Akbar Tanjung “menyeret-nyeret” HMI ke panggung politik praktis? Saya jadi ragu dengan pemahamannya terkait independensi HMI.

Dan saya juga jadi ragu dengan HMI Cabang Medan mengapa tidak ada mengeluarkan klarifikasi resmi terkait “penyeretan” HMI yang dilakukan Akbar beserta yang terlibat di dalam forum yang diisinya itu? Saya benar-banar jadi ragu lagi dengan independensi HMI Cabang Medan saat ini jika klarifikasi itu tidak ada. Jika ada, itu sangat baik dan harus disebarkan kepada seluruh Komisariat se-Cabang Medan.

Sebagai bagian dari Keluarga Besar HMI Cabang Medan yang sekarang telah menjadi alumni karena telah memilih keluar dari kampus, sekaligus juga yang pernah aktif di HMI Cabang Medan dibawah pimpinan Mustafa Habib, dan juga pernah aktif selama dua tahun lebih menjadi pengelola training-traning HMI Cabang Medan, tentu jadi ragu dengan HMI saat ini jika tidak adanya penangkalan terhadap orang-orang yang membawa HMI ke ranah politik praktis.

Perlu saya tegaskan kembali, bahwa tulisan ini tidak ada sentimen politik pada Paslon yang didukung Akbar dan kroni-kroninya di Medan, sama sekali tidak ada. Saya tidak mencampuri urusan itu karena paham politik saya tidak sesuai dengan sistem pemilihan kepala daerah di Indonesia saat ini. Jadi artinya, saya tidak peduli siapa yang menang antara kedua Paslon tersebut, hal itu urusan masyarakat Kota Medan yang terdaftar sebagai pemilih. Saya hanya keberatan secara etis karena HMI “diseret-seret.”

Di mana pun itu, jika seperti ini terjadi, saya tetap keberatan, karena di HMI, saya diajarkan tentang independensi HMI, dan HMI bukan organisasi massa, bukan juga miliknya alumni HMI, walaupun alumni itu pejabat papan atas, tak perduli ia mantan Ketua MPR RI, Ketua MPR RI dan sekalipun ia pernah menjadi Wakil Presiden.

Mohon maaf pada Anda sekalian pembaca tulisan ini, baik yang pro dan kontra pada Akbar Tanjung dan juga yang pro dan kontra pada Ibnu Arsib, saya tidak “mempreteli” kata per kata, kalimat per kalimat–kecuali satu kutipan verbatim di atas tadi, dan yang tersurat secara keseluruhan dalam tulisan ini. Silahkan Anda semua membacanya di media yang mewartakannya.

Alasannya mengapa? Jujur, saya tidak tega menuliskan betapa hancurnya pemahaman independensi HMI melihat perkataan Akbar dan orang-orang yang “menyeret” nama HMI pada kegiatan yang berujung politik praktis itu.

Ditambah lagi, di sana saya dapatkan adanya kerancauan berpikir tentang “Politik Identitas” baik itu dalam arti sempit dan luas. Seseorangmengatakan, dalam berita tertulis itu, menolak politik identitas, tapi ia tidak menyadari telah menjadi bagian dari pelaku politik identitas itu sendiri dengan membawa-bawa identitas HMI di dalamnya, adanya slogan-slogan di dalamnya, adanya kode-kode berupa kata dan kalimat di dalamnya yang menjadi sugesti, dan kata kampanye yang “dijual” pada masyarakat pemilih.

Saya pikir seseorang itu kurang memahami bagaimana itu politik identitas secara luas dan sempit. Atau seseorang itu kurang memahami bagaimana dinamika politik dalam sistem demokrasi liberal yang dianut Indonesia saat ini melalui Pemilu langsung, apalagi hanya terjadi dua paslon.

Pada bagian ini; politik identitas, saya berani berdebat dengan seseorang itu atau siapa pun mereka itu secara filosofis dan historis, hitung-hitung memperdalam hasil pengamatan dan pembacaan selama beberapa tahun belakangan ini. Tapi ah, di HMI ada budaya buruk yang susah untuk dimusnahkan, yaitu adanya strata atau klas-klas senior dan junior.

Senior tidak pernah mau kalah padahal otaknya begitu dangkal, dan junior sering merasa otaknya dangkal dan tidak berani mendebat senior atau alumninya yang berotak dangkal.
Terhadap Akbar dan sekelompok orang tersebut yang “menyeret-nyeret” HMI ke lapangan politik praktis, saya menjadi ragu. Ragu akan pemahaman dan pengaplikasian independensi HMI. Jika begini terus, saya juga ragu dengan HMI kita ke depan.[]

NB: HMI tidak mengharamkan politik, dalam arti sebenarnya, politik etis. Bagaimana pula itu politik etis? Kapan-kapan kita diskusikan. Kalau tidak sabar, silahkan baca buku yang membahas tentang politik etis.

NB. NB: HMI tidak boleh diseret-seret ke politik praktis, hal-hal buruk, apalagi untuk kepentingan pribadi dan kelompok.

NB.NB lagi: HMI tidak sama dengan KAHMI. HMI tidak boleh tunduk dan patuh pada KAHMI. Tetapi KAHMI lah yang harus tunduk dan patuh pada HMI, ibarat seorang anak pada ibunya. HMI adalah ibu dari KAHMI, dan dengan pasti KAHMI adalah anak dari HMI.

Penulis: Ibnu Arsib (Penggiat Literasi)

- Advertisement -

Berita Terkini