New Normal, LBM PBNU Rilis Tata Cara Pelaksanaan Salat Jumat

Breaking News

- Advertisement -
- Advertisement -
- Advertisement -
- Advertisement -

MUDANEWS.COM, Jakarta – Lembaga Bahtsul Masail Pengurus Besar Nahdlatu Ulama (LBM PBNU) merespons kebijakan pemerintah perihal tatanan normal baru (new normal). Lembaga fatwa di lingkungan Nahdlatul Ulama ini mengeluarkan hasil musyawarah mereka terkait tata cara pelaksanaan Shalat Jumat pada masa tatanan normal baru.

LBM PBNU mengangkat pembahasan cara pelaksanaan Shalat Jumat dengan tetap memperhatikan protokol kesehatan, kemungkinan membuat (memperbanyak) tempat baru pelaksanaan ibadah Jumat, dan kemungkinan pelaksanaan Shalat Jumat secara bergelombang di tempat yang sama.

LBM PBNU menyatakan bahwa Shalat Jumat harus dilaksanakan satu kali pada satu tempat di setiap kawasan, desa atau kota. Dengan demikian, menurut jumhur ulama, tidak boleh ada Shalat Jumat lebih dari satu kali (ta’addudul Jumat) baik di tempat yang sama maupun tempat yang berbeda. Sebab, kalau ta’addudul Jumat itu terjadi, maka pelaksanaan yang sah hanya shalat Jumat yang pertama sebagaimana dikutip Kitab Minhajut Thalibin karya Imam An-Nawawi.

LBM PBNU menjelaskan bahwa ta’addudul Jumat dimungkinkan karena ada uzur. Mereka merujuk pada Kitab Bughyatul Mustarsyidin karya Abdurrahman Ba’alawi.

Ketidakbolehan ta’addudul Jumat tidak bersifat mutlak sehingga ta’addud dapat ditempuh dengan mempertimbangkan tiga kebutuhan, yaitu keterbatasan daya tampung tempat shalat Jumat, adanya pertikaian yang tidak memungkinkan pelaksanan Shalat Jumat pada satu lokasi, dan jarak tempuh penduduk yang tinggal di ujung sebuah kawasan (balad) dan masjid yang menjadi tempat pelaksanaan shalat Jumat.

“Tidak ada tempat lain adakalanya bersifat de facto (hissiyyun māddiyyun) dan ada kalanya de jure (hukmiyyun maknawiyyun). Intinya tidak ada tempat lain,” kata Rais Syuriyah PBNU KH Afifuddin Muhajir.

Pihak LBM PBNU mengatakan bahwa pandangan fiqih ulama terdahulu itu dapat dijadikan acuan hukum perihal pelaksanaan shalat Jumat pada di era tatanan normal baru. Secara teknis, umat Islam misalnya dapat memanfaatkan mushala-mushala sebagai tempat shalat Jumat.

Adapun ketika pelaksanaan shalat Jumat di beberapa tempat tidak mungkin untuk ditempuh karena kebijakan pemerintah (seperti pada sebagian negara di luar negeri), kebijakan di perkantoran, atau uzur lainnya, LBM PBNU mengemukakan perbedaan dua pendapat ulama.

Pertama, sebagian ulama membolehkan pelaksanaan Shalat Jumat dua atau lebih gelombang pada lokasi yang sama dengan tetap mempertimbangkan jumlah jamaah (40 orang) dan kebutuhan untuk mengadakan gelombang shalat Jumat di samping verifikasi lapangan untuk memastikan kebolehan ta‘addudul Jumat di satu kawasan.

Kedua, sebagian ulama lainnya menyatakan bahwa pelaksanaan shalat Jumat secara bergelombang pada satu tempat bukan solusi ketika ta’addudul Jumat tidak mungkin dilakukan di tempat lain. Mereka mempersilakan jamaah yang tidak mendapat kesempatan melaksanakan ibadah Jumat untuk mengerjakan Shalat Zuhur di rumah masing-masing.

“Fatwa-fatwa kontroversial memang harus dihindari. Tetapi, anggapan bahwa PBNU picik juga harus dihindari. Oleh karena itu, saya menyetujui kedua pendapat itu sama-sama disajikan dengan argumentasi masing-masing,” kata Kiai Afif.

KH Azizi Chasbullah dari LBM PBNU menambahkan bahwa yang perlu diperhatikan adalah kebolehan ta‘addud karena hajat bagi orang yang wajib Shalat Jumat dan orang yang bisa mengesahkan Jumat.

“Jika ikut pendapat yang memperbolehkan, ya silakan, tetapi tidak harus karena kebolehan bukan berarti kewajiban,” kata Kiai Azizi.

Sumber : NU Online

- Advertisement -

Berita Terkini