Kisah Hidup George Floyd, Korban Kebrutalan Polisi Pemicu Demo Besar-Besaran di AS

Breaking News

- Advertisement -
- Advertisement -
- Advertisement -
- Advertisement -

MUDANEWS.COM – Sebelum foto George Floyd tergeletak di bawah lutut seorang polisi memicu kekagetan, kemarahan, dan unjuk rasa di seluruh Amerika Serikat, jalan hidupnya berliku-liku. Pernah menjadi atlet dan terkenal, dia juga sempat menjadi kriminal.

Floyd pernah berada di puncak, ketika itu dia seorang remaja di Houston, bermain sepak bola dan pernah menjadi juara runner-up di negara bagian Texas pada 1992 dalam kejuaraan Yates High School Lions.

Dia berada di titik terendah dalam hidupnya, saat dia ditangkap karena perampokan pada 2007 dan menjalani hukuman lima tahun penjara.

Tetapi sebagian besar, tampaknya Floyd, yang berusia 46 ketika ia meninggal di Minneapolis pada tanggal 25 Mei, 2020, hanya berusaha menjalani kehidupan seperti orang Amerika lainnya, mencari perbaikan dalam menghadapi tantangan pribadi dan sosial.

Kematiannya di tengah krisis kesehatan masyarakat dan malapetaka ekonomi yang telah menewaskan lebih dari 100.000 orang Amerika dan menyebabkan lebih dari 40 juta orang menganggur karena Covid-19 telah menjadi jenis penyakit terbaru yang menjangkiti negara itu pada 2020 ini.

Floyd adalah penduduk Houston, Texas. Dia besar di lingkungan di jantung kota komunitas kulit hitam, Third Ward, bagian selatan pusat kota.

Penyanyi Beyonce juga tumbuh di sana, seperti halnya adegan musik blues Bayou City. Drake, seorang rapper Kanada, memberi penghormatan kepada semangat musiknya, dan Floyd sendiri dianggap memiliki bakat rap ala bar sebagai bagian dari grup hip-hop pada 1990-an di Houston.

Tetapi kemiskinan, perpecahan rasial dan ketimpangan ekonomi menandai sejarahnya juga, seperti kota-kota Amerika lainnya. Dirusak oleh pemisahan di Abad ke-20, Third Ward yang ditinggalkan Floyd dalam beberapa tahun terakhir telah melihat kekerasan geng dan ketegangan karena perumahan.

“Setiap kali saya bertemu seseorang yang bukan dari sana, orang-orang ini akan berkata seperti ‘bung, ya Tuhan, saya belum pernah melihat kemiskinan seperti ini,” kata Ronnie Lillard, seorang warga dari wilayah itu kepada BBC, dilansir Senin (1/6).

“Orang-orang masih tinggal di gubuk-gubuk senapan yang didirikan pada tahun 1920-an. Kemiskinannya menyeluruh … dan karena dari daerah itu, sulit untuk melarikan diri,” kata Lillard, seorang rapper yang melakukan pertunjukan dengan nama Reconcile.

Sumber: merdeka.com

- Advertisement -

Berita Terkini