Jelang Sidang Isbat Online Ramadhan 2020, Berikut Metode Penentuan Hilal

Breaking News

- Advertisement -
- Advertisement -
- Advertisement -
- Advertisement -

MUDANEWS.COM, Jakarta – Pemerintah akan melakukan sidang isbat Ramdhan 2020 pada Kamis (23/4/2020) secara online. Dalam sidang tersebut, pemerintah akan meminta masukan dari ormas untuk menentukan awal bulan Ramadhan salah satunya Nahdlatul Ulama atau NU.

Dikutip dari situs Lembaga Falakiyah Pengurus Besar Nahdlatul Ulama, penentuan awal Ramadhan telah ditentukan dalam Pedoman Rukyat dan Hisab Nahdlatul Ulama. Penentuan awal Ramadhan menurut NU menggunakan sistem rukyat yang didukung hisab.

Metode rukyat adalah melihat dan mengamati hilal langsung di lapangan pada hari ke 29 atau malam ke 30, dari bulan yang sedang berjalan. Jika hilal dapat terlihat, maka pada malam itu dimulai tanggal satu bulan baru atas dasar rukyatulhilal.

Namun jika hilal tidak terlihat mata telanjang, maka malam itu adalah tanggal 30 bulan yang sedang berjalan. Malam berikutnya dimulai tanggal satu bagi bulan baru atas dasar istikmal. Arti istikmal adalah menggenapkan satu bulan menjadi 30 hari sebelum masuk bulan baru.

Hilal adalah bulan sabit muda sangat tipis yang menandakan awal fase bulan baru. Melihat hilal dengan mata telanjang sesungguhnya sangat sulit karena kerap bias dengan cahaya matanari. Apalagi jika cuaca sedang mendung sehingga langit cenderung gelap.

Untuk melihat hilal, biasanya posisi bulan harus berada dua derajat di atas matahari. Syarat lainnya adalah jarak elongasi dari matahari ke arah kanan atau kiri. Semakin lebar maka makin mudah melihat hilal dengan mata telanjang. Hal inilah yang mengharuskan pengamatan hilal dibantu teleskop, plus dukungan perhitungan hisab.

Dalam situs Lembaga Falakiyah PBNU diterangkan, ada beberapa ayat dalam Al-Qur’an dan hadist yang dipahami sebagai perintah rukyat. Salah satunya dalam surat Al-Baqarah ayat 189.

يَسْـَٔلُونَكَ عَنِ ٱلْأَهِلَّةِ ۖ قُلْ هِىَ مَوَٰقِيتُ لِلنَّاسِ وَٱلْحَجِّ ۗ وَلَيْسَ ٱلْبِرُّ بِأَن تَأْتُوا۟ ٱلْبُيُوتَ مِن ظُهُورِهَا وَلَٰكِنَّ ٱلْبِرَّ مَنِ ٱتَّقَىٰ ۗ وَأْتُوا۟ ٱلْبُيُوتَ مِنْ أَبْوَٰبِهَا ۚ وَٱتَّقُوا۟ ٱللَّهَ لَعَلَّكُمْ تُفْلِحُونَ

Arab latin: Yas`alụnaka ‘anil-ahillah, qul hiya mawāqītu lin-nāsi wal-ḥajj, wa laisal-birru bi`an ta`tul-buyụta min ẓuhụrihā wa lākinnal-birra manittaqā, wa`tul-buyụta min abwābihā wattaqullāha la’allakum tufliḥụn

Artinya: Mereka bertanya kepadamu tentang bulan sabit. Katakanlah: “Bulan sabit itu adalah tanda-tanda waktu bagi manusia dan (bagi ibadat) haji; Dan bukanlah kebajikan memasuki rumah-rumah dari belakangnya, akan tetapi kebajikan itu ialah kebajikan orang yang bertakwa. Dan masuklah ke rumah-rumah itu dari pintu-pintunya; dan bertakwalah kepada Allah agar kamu beruntung.

Pemahaman ayat tersebut bersifat ta’abbuddiy, yaitu harus diikuti tanpa mempertanyakan alasan sebuah perintah syariah agama. Dengan prinsip itulah, tiap tahun NU melakukan rukyatul hilal bil fi’li yaitu melihat bulan langsung di lapangan.

Ghairu imkanir rukyat yang melihat bulan dengan mata telanjang inilah yang menentukan awal Ramadhan. Awal bulan tidak akan dimulai jika hilal belum terlihat mata, meski metode hisab menyatakan sebaliknya.

Apabila satu tempat di Indonesia menyatakan telah melihat hilal (https://www.detik.com/tag/hilal), maka hasilnya berlaku bagi semua umat Islam di Indonesia. NU tentunya menginginkan rukyat yang berkualitas atas dasar:

1. Pemahaman hadits
Hadits yang dimaksud adalah diriwayatkan Imam Ahmad dan Abu Daud dari sahabat Nabi Muhammad SAW bernama Rib’i bin Hirasy. Dalam hadits tersebut ada ungkapan,

بِاللهِ لاَهَلَّ اْلهِلاَلُ اَمْسِ عَشِيَّةً

Artinya: “Demi Allah sungguh telah tampak hilal kemarin sore.”

Kata sumpah, sungguh, dan tampak dalam hadits menandakan rukyatul hilal telah terjadi serta meyakinkan sehingga Rasulullah SAW menerima laporan tersebut.

2. Pemahaman atas qaul Imam Ibnu Hajar al-Haitami
Qaul ini terdapat dalam Kitab Tuhfatul Muhtaj jilid III halaman 382 yang artinya,

“Yang dituju dari padanya ialah bahwa hisab itu apabila para ahlinya sepakat bahwa dalil-dalilnya qath’i (pasti) dan orang-orang yang memberitakan (mengumumkan) hisab tersebut mencapai jumlah mutawatir, maka persaksian rukyat itu ditolak. Jika tidak demikian, maka tidak ditolak.”

Sumber : detik.com

- Advertisement -

Berita Terkini