Darurat Sipil, Pemerintah Lepas Tanggung Jawab?

Breaking News

- Advertisement -
- Advertisement -
- Advertisement -
- Advertisement -

MUDANEWS.COM – Akhir-akhir ini masyarakat dihebohkan dengan pemerintah yang ingin mewacanakan Darurat Sipil untuk memutus mata rantai penyebaran Covid-19. Ini tentu membuat banyak masyarakat yang mempertanyakan kebijakan pemerintah yang sangat jauh diharapkan untuk menangani virus ini.

Semua negara melakukan lockdown ataupun karantina wilayah untuk memutus rantai penyebaran Covid-19 ini. Italia, Korea Selatan, Tiongkok, Amerika dan negara-negara lainnya. Semua negara menjadikan rakyat sebagai pusat untuk dilindungi atau people oriented untuk menangani permasalahan virus ini. Negara-negara ada yang tegas dan keras menerapkan lockdown, ada juga yang hanya melakukan karantina wilayah dan melakukan test massal bagi penduduknya. Tentu semua negara menganggap bahwa Covid-19 ini sebagai musuh bersama, untuk membatasi penyebarannya harus dilakukan secara bersama baik pemerintah dan rakyat.

Pemerintah di belahan dunia manapun berusaha memberikan pangan untuk rakyatnya asal rakyatnya tidak keluar rumah dan bisa melakukan kegiatan dirumah. Ini lah yang menjadi sorotan utama bagi rakyat indonesia ketika menilik pemerintah Indonesia, berharap akan diberlakukan lockdown atau karantina wilayah dengan jaminan ekonomi dan pangan, tapi malah dengan santainya pemerintah mewacanakan Darurat sipil sebagai solusi akhir.

Darurat sipil adalah status penanganan masalah yang diatur dalam Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang (Perppu) Nomor 23 Tahun 1959 tentang Keadaan Bahaya. Perppu ini ditandatangani oleh Presiden Sukarno pada 16 Desember 1959 ini.

Kasus Baru Positif Corona di Indonesia Menurun di 3 Hari Terakhir
Net/ilustrasi.

Ada point lebih jelasnya Perppu Darurat sipil ini bisa diberlakukan jika :
1. Pemberontakan, kerusuhan, atau bencana alam.
2. Timbul Perang atau bahaya perang.
3. Negara dalam keadaan bahaya. (Lihat selengkapnya pada Perppu No. 23 Tahun 1959)

Tentu melihat fenomena pandemi ini sangat tidak cocok jika pemerintah mengambil langkah darurat sipil. Yang lebih tepat adalah Undang-Undang No. 6 Tahun 2018 tentang Karantina Kesehatan. Karena yang menjadi musuh adalah virus yang mengancam kesehatan masyarakat maka yang diutamakan adalah pemberantasan virus. Bukan malah sipil yang dijadikan obyek untuk hanya ditertibkan tanpa solusi.

Memang pemerintah mengacu pada tiga Undang-Undang dalam mewacanakan Darurat sipil ini yaitu UU Nomor 24/2007 tentang Bencana, UU Nomor 6/2018 tentang Kesehatan, dan Perppu Nomor 23/1959 tentang Penetapan Keadaan Bahaya yang terbit di era Presiden Soekarno.

Seharusnya tanpa menerapkan tiga Undang-Undang diatas pemerintah hanya membuat ambiguitas ditengah-tengah masyarakat. Jika fokus pemerintah mewaspadai virus ini maka ambil kebijakan karantina wilayah yang lebih tepat, bukan darurat sipil. Penulis merasa, pemerintah hanya akan lepas tangan terkait penanganan ekonomi dan pangan rakyat jika Darurat Sipil dijalankan. Dengan alasan :

1. Jika rakyat dikarantina Wilayah, maka pemerintah bisa jadi menanggung ekonomi dan pangan rakyat tetapi juga berpotensi tidak akan ada bantuan. Karena kedua-duanya ini telah ada di ketiga Undang-Undang tersebut. Dan rakyat tidak bisa menuntut kepada pemerintah.

2. Tindakan aparat akan semakin represif, dikarenakan pada Perppu Darurat Sipil Polri dan TNI akan ikut menjaga disetiap daerah dan tentunya kewenangan dalam bertindak represif didukung Perppu Darurat Sipil. Dan rakyat wajib patuh dan taat jika tak mau dianggap kriminal.

3. Rakyat akan selalu dianggap “ngeyel” jika terus-terusan keluar rumah, walau bekerja sekalipun. Bagaikan kriminal, rakyat akan mudah untuk disalahkan.

Mengacu sikap pemerintah yang memprioritaskan darurat sipil daripada Lockdown atau karantina wilayah, patut dicurigai bahwa pemerintah tak siap membantu rakyat dan tak mau mengeluarkan dana yang besar untuk rakyat terkhusus paramedis. Terlebih lagi pemerintah dicurigai takut kehilangan legitimasi para investor dan pekerja asing yang terus masuk kenegeri ini walaupun ditengah-tengah wabah seperti ini.

Seharusnya pemerintah belajar dari negara-negara di dunia untuk bersama-sama menganggap virus ini musuh bersama bukan malah menganggap rakyat sebagai musuh pemerintah. Bagaimana rakyat akan percaya lagi dengan pemerintah yang dalam keadaan genting nyawa dihadapan rakyat pun, pemerintah masih bermain-main dengan kebijakannya. Semoga dibuka mata, hati, dan pikiran rakyat untuk mengutamakan rakyat daripada politik yang tak ada habisnya. Ditengah-tengah wabah ini rakyat butuh negarawan, bukan politikus yang mementingkan Ibukota baru daripada nyawa rakyatnya. Salam.

Penulis : Januari Riki Efendi, S.Sos (Mahasiswa Pascasarjana jurusan Pemikiran Politik Islam UIN-SU dan Pegiat Literasi).

- Advertisement -

Berita Terkini