Aku dan Novel Gadis Pembangkang

Breaking News

- Advertisement -
- Advertisement -
- Advertisement -
- Advertisement -

MUDANEWS.COM – Kita terkadang hidup dalam harapan yang membuat kita jadi pesakitan karena telah menjadi budak daya khayal. Mempunyai keinginan adalah suatu yang menyenangkan, hingga fantasi yang kita rawat bertransformasi menjadi bukan apa apa, kosong, lalu lahir lah kecewa yang merobek robek suasana hati. Membikin hidup jadi sebuah ladang sedih. Sepanjang hidupku, harapan itu betebaran dimana mana. Namun saat hujan tiba, pepohonan malah berbuah kecewa.

Sebagai Lelaki dari pedesaan di Tuban, dulu aku sungguh seorang anak yang sopan. Tiap bertemu dosen, ku cium tangannya, ku tundukkan kepalaku. Bahkan saat mereka berjalan pelan di depan, aku tak berani menyalip. Itu tak sopan. Aku mulai merasa salah saat manusia yang tiap hari berkeringat, ngupil, kencing, dan bau tengik, ku anggap seperti titisan dewa, yang bijaksana dan minim error.

Aku telah salah meninggikan anak manusia menjadi di atas orang awam. Demam rasa takjub, respek berlebihan, menganggap serba baik nun budiman, adalah semacam penyakit yang hampir diidap semua manusia naif. Itu sebuah kondisi inferior. Aku salah karena menyuntikkan kualitas sempurna pada lempung yang sudah pasti memiliki sisi retak. Saat aku mulai kritis, mereka mulai membenciku.

‘’Bagaimana mungkin, anak desa, bodoh, udik, sudah dikuliahkan, malah mendemo kampus. Cabut saja beasiswanya!,’’ kata mereka saat itu. Hari hari usai kejatuhan, aku mulai belajar merawat bara dendam yang akhirnya ku padamkan sendiri dan untungnya tak melahap sekam sosial. Saat itu aku lebih tertarik memperkuat tujuan hidup ketimbang bernafsu menyerang membabi buta. Dan aku bukan babi. Aku sadar, hidup adalah tentang rasa nyaman diri ketimbang menghabisi musuh.

Bila sedari kecil ingin jadi penulis, kenapa tak ku teruskan? Orang Indonesia itu susah maju. Sebab sedari anak, pola pikirnya sudah kebulet doktrin yang terlalu lengket dan melekat. Ilusi ajaran agama, cengkeraman slogan nasionalisme, tetek bengek adat budaya, jerat patriarki, norma sosial yang sok suci, semua membikin generasi kita tak sanggup membedakan mana benar, mana khayalan. Jangankan ingin meruntuhkan mitologi sistem, berkata ‘Tidak’ pada doktrinasi saja orang tak kepikiran.

Sudah waktunya ritual tahayul yang mengagungkan sosok ghaib yang tak ada, dihentikan. Setiap yang punya jari harus mencolok matanya sendiri sendiri. Bahwa tiap warga sebaiknya melek, lihat lah, di luar pintu rumahmu terdapat gembel yang butuh makan. Apa guna ceramah kedermawanan kalau hanya jadi slogan biar jamaah mau berdonasi untuk kegiatan elit pemuka. Konsepsi diciptakan untuk jadi pelayan manusia, subjek. Manusia jangan diperas untuk kejayaan tahayul.

Dahulu aku merasa seperti messiah yang berkewajiban untuk menyadarkan orang lain. Tapi lama ku renungi, mengapa aku berjuang untuk komunitas bila ternyata komunitasnya tak membutuhkan perubahan. Saat itu aku mulai mengerti, tiap orang tak bisa merubah orang lain. cukup tiap orang hidup tak saling ganggu, maka biarkan tiap individu hidup dengan mitosnya masing-masing. Kehidupan sejuta kali lebih mudah menetap, ketimbang sekali berubah.

Sebagai pemuda yang lima tahun belajar jurus dan memukul untuk mencelakai penyerang, diperlakukan tak adil adalah suatu alasan untuk menunjukkan ketangkasan berkelahi. Saat itu aku benar benar menyiapkan sebuah pisau. Tapi rasionalitas lain dalam diriku mencegah amarah. Aku mencoba tetap keren. Bila tak direm, saat itu akan menjadi akhir perjalananku menjadi individu beradab.

Ya, dari pada melawan roda mesin yang dipenuhi bercak kemunafikan namun kuat, aku lebih memilih mendalami kiat menulis. Demi apa? Supaya jemariku makin sinkron dengan nalarku yang sedang berpikir. Sejak ‘Demonstran Payah’ ku luncurkan pada 2016, yang juga untuk membungkam dosen yang menghancurkan nilai akademikku, tahun ini, 2020, aku menerbitkan novel perdana berjudul ‘Gadis Pembangkang.’ Ku kira inilah awal aku menggapai strata yang ku idamkan sejak kecil. Menjadi penulis.

Bukan hanya ibu yang SD saja tak lulus, saudaraku yang sarjana saja terkadang tak terlalu mau mengerti soal aku yang ingin jadi penulis. ‘Cita-cita kok jadi novelis. Apaan itu,’ lingkungan berpikir begitu. Wajar, kebudayaan manusia Indonesia masih jauh dari adab literasi. Perpustakaan dibiarkan kosong, beli rokok berkali kali biasa saja, namun membeli buku di toko mikirnya sepuluh kali. Harus diakui, bangsa ini masih terlalu banyak dihuni orang bodoh yang malas menuju maju.

Semua orang pandai omong, tapi lari terbirit birit saat diajak belajar menulis. Kebudayaan kita hanya sekedar riuh gosip, belum serius berkebudayaan pikir, apalagi berkeadaban nalar kritis. Di negeri ini ilusi masih jadi raja, sedangkan subjek pencipta imajinasi masih diperbudak seperangkat ritual budaya, yang memperpendek daya pikir, melemahkan kemampuan melihat persoalan dari kacamata rasionalitas.

Akhirnya yang bisa ku lakukan adalah ikut memulai dari diri sendiri. Walau ini jalan sepi yang tak banyak teman, aku harus mengambilnya. Membaca, menulis, mengoreksi, merampungkan naskah, menerbitkannya. Itulah jalan sunyi yang bagi sejuta orang lain adalah lorong tanpa harapan, jenuh. Tapi karena aku nyaman di jalur itu, aku menempuhnya. Sedari awal ku katakan, aku tak mau menyembah apapun, sebab hidupku adalah tentang diriku. Yang lain aku tak mau ngurus.

- Advertisement -

Berita Terkini