Konferensi Internasional Al-Azhar, Soroti Masalah Khilafah

Breaking News

- Advertisement -
- Advertisement -
- Advertisement -
- Advertisement -

MUDANEWS.COM, Jakarta – Konferensi Internasional Al-Azhar tentang Pembaharuan Pemikiran Islam ini berlangsung dua hari, 27-28 Januari 2020. Konferensi dihadiri oleh para ulama, pemimpin dan cendekiawan Muslim dari 41 negara. Hadir juga dari Indonesia, Prof Dr M Quraish Shihab, Prof Dr Din Syamsuddin dan TGB Dr H Muhammad Zainul Majdi, MA.

Kepala Lajnah Pentashihan Mushaf Al-Qur’an (LPMQ) Muchlis M Hanafi yang menjadi salah satu duta dari Indonesia menerangkan konferensi ini merumuskan bahwa jihad dalam Islam tidak identik dengan perang. Peperangan yang pernah dilakukan oleh Rasulullah dan para sahabatnya adalah salah satu jenis jihad.

Kepala LPMQ menjelaskan Perang itu bertujuan untuk menolak serangan yang dilancarkan para agresor terhadap kaum Muslim, bukan untuk membunuhi orang-orang yang berbeda agama sebagaimana anggapan kaum ekstremis. Dalam Islam haram hukumnya mengganggu orang-orang yang berbeda agama dan memeranginya selama mereka tidak memerangi kaum Muslim.

“Yang berwenang menyatakan jihad perang adalah pemerintah yang sah dari suatu negeri berdasarkan undang-undang dasar dan hukum, bukan kelompok atau perorangan. Kelompok yang mengaku memiliki wewenang ini, merekrut dan melatih para pemuda untuk dijerumuskan ke dalam pembunuhan dan peperangan adalah kelompok perusak di muka bumi serta memerangi Allah dan Rasul-Nya. Instansi yang berwenang (di bidang keamanan dan hukum) harus melawan dan menumpas kelompok-kelompok semacam itu dengan tekad yang kuat,” kata Muchlis, di Jakarta, Jumat (31/01/2019).

Konferensi Internasional Al-Azhar juga menyoroti masalah khilafah. Dalam salah satu rumusan yang dihasilkan, dijelaskan bahwa khilafah adalah sistem pemerintahan yang diterima oleh para sahabat Rasulullah dan sesuai dengan kondisi zaman mereka. Namun demikian, tidak ada ketetapan dalam teks al-Qur’an dan hadis Nabi yang mewajibkan untuk menerapkan sistem pemerintahan tertentu.

“Sistem apapun yang ada di era modern ini dibenarkan oleh agama selama mewujudkan keadilan, kesetaraan, kebebasan, melindungi negara/tanah air dan menjamin hak-hak warga negara apapun keyakinan dan agamanya, serta tidak bertabrakan dengan prinsip-prinsip syariat Islam,” demikian penegasan salah satu rumusan yang dibacakan oleh Muchlis.

- Advertisement -

Berita Terkini