Memahami Radikalisme

Breaking News

Budaya Mundur

Memperbaiki Literasi

- Advertisement -
- Advertisement -
- Advertisement -
- Advertisement -

MUDANEWS.COM, Nusantara – Mulanya istilah radikal merujuk pada karakter berpikir filsafat yang mendalam hingga menyentuh akar (radix) suatu masalah. Jika dilihat dalam perspektif filsafat bisa diartikan sebagai berpikir secara radikal itu memiliki makna positif.

Belakangan definisi radikal mengalami perubahan yang sangat ekstrim, yaitu suatu perbuatan yang kasar bertentangan dengan pengertian radikal dalam filsafat.

Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) mendefinisikan radikal adalah 1) secara mendasar (sampai kepada hal yang prinsip), 2) amat keras menuntut perubahan (undang-undang, pemerintahan), 3) maju dalam berpikir atau bertindak.

Kemudian radikal didefinisikan sebagai afeksi atau perasaan yang positif terhadap segala sesuatu yang bersifat ekstrim sampai ke akar-akarnya. Sikap yang radikal akan mendorong perilaku individu untuk membela secara mati-matian mengenai suatu kepercayaan, keyakinan, agama atau ideologi yang dianutnya. (Sarlito Wirawan: 2012).

Kemudian radikal didefinisikan juga sebagai suatu perbuatan kasar yang bertentangan dengan norma dan nilai sosial. (Kika Nawang Wulan, dkk: 2015).

Setelah berkembangnya paham radikal yang diduga menyebabkan terpaparnya banyak kalangan pesantren, kampus, masyarakat secara umum dan kalangan umat Islam, maka tampaknya Islam radikal mengacu pada definisi Said Aqil Siradj (2006), yaitu, orang Islam yang mumpunyai pikiran yang kaku dan sempit dalam memahami Islam, serta bersifat eksklusif dalam memandang agama-agama lainnya. Kelompok radikal ini akan ada di dalam setiap agama apapun, termasuk di dalam agama Islam sekalipun.

Definisi radikal semacam ini yang dikemukakan oleh Said Aqil Siradj sepertinya menjadi referensi dan preferensi bagi negara untuk mendefinisikan lebih sempit bahwa radikal bila itu dilakukan oleh umat Islam.

Memahami paham radikal tentu saja memerlukan pemikiran yang radikal, tidak sekadar hanya melihat dampak yang ditimbulkan dari paham radikal itu berupa kekerasan, teror yang mencemaskan sampai pada perbuatan yang mengancam eksistensi Indonesia sebagai suatu negara – bangsa (nation state), tetapi harus dicari akar dari radikalisme itu dan mencarikan solusinya.

Akar Radikalisme

Darimana akar dan pusat radikalisme itu ada? Pada akal, hati atau nafsu? Pernahkah anda melihat wujud dari cinta yang radikal? Cinta semacam ini membuat orang yang terpapar akan terlihat seperti terkesan orang yang bodoh dan sedikit gila.

Hanya cinta radikal yang membuat orang berkorban harta benda, jiwa dan raganya. Semua yang dimilikinya dikorbankan demi yang dicintainya.

Tetapi cinta berbalas jenis ini masih tergolong tidak terlalu radikal, masih wajar. Pengorbanan yang diberikan cendrung berbalas dan diistilahkan dengan cinta yang bersambut.

Cinta yang lebih radikal lagi adalah mencintai dengan diam-diam. Tak boleh banyak orang mengetahui bahkan yang ia cintai justru tidak perlu atau bahkan tidak boleh sampai tahu.

Pernahkah anda melihat atau mendengar cerita cinta yang seradikal ini? Cinta seperti ini sungguh cinta yang gila. Melihat atau memandang yang dicintai dari kejauhan sudah cukup membahagiakan.

Hanya sekadar lewat di depan rumah orang yang dicintai untuk melihat atap atau pagar rumahnya. Tanpa tahu orang yang dicintai ada di dalam rumah atau tidak, dilihat atau tidak dilihat oleh yang dicintai itu tidak penting, yang penting sudah lewat di depan rumahnya sudah cukup membahagiakannya.

Cinta yang radikal seperti ini pernah diceritakan oleh Emha Ainun Nadjib (Cak Nun) tentang cinta gurunya Umbu Landu Paranggi.

Dikisahkan bahwa Umbu Landu Paranggi mencintai seorang mahasiswi salah satu Universitas di Yogyakarta. Untuk mengekspresikan cintanya itu, hampir setiap malam Umbu mengajak Cak Nun nongkrong di warung kopi di depan jalan yang dilintasi oleh Bus yang dilewati Bus Malam dari Malang – Yogyakarta.

Bila menjelang pagi suara Bus dari arah Malang – Yogyakarta melintas, tanpa Umbu menoleh dan tidak tahu persis di atas Bus itu salah satu penumpangnya ada atau tidak mahasiswi yang dicintainya umbu sudah merasa puas dan bahagia dan mengajak Cak Nun untuk pulang.

Suatu ketika saat liburan kampus tiba, Umbu minta kepada Cak Nun untuk membelikan Tiket Yogyakarta – Malang. Cak Nun menyiapkan tiket tersebut untuk gurunya yang akan mendatangi atau bahkan akan melamar mahasiswi yang dicintainya itu di Kota Malang.

Pada hari keberangkatan Umbu dari Yogyakarta – Malang, Cak Nun Mengantarkan Umbu ke Terminal keberangkatan. Selanjutnya diceritakan Cak Nun bahwa sesampainya di Malang, Umbu turun persis di depan rumah mahasiswi yang dicintainya dan tanpa menoleh atau melihat apalagi masuk ke rumah bertemu dengan orang yang dicintainya atau dengan orangtua mahasiswi yang dicintainya, justru Umbu langsung kembali naik bus pulang ke Yogyakarta.

Cinta model Umbu pada seorang Mahasiswi seperti ini benar-benar radikal. Bukan hanya tidak berbalas bahkan orang yang dicintai tidak pernah tahu kalau ia dicintai, karena tidak pernah diungkapkan.

Ada cinta yang lebih radikal, cinta model apa itu? Cinta yang tak berbalas. Istilahnya cinta kelapa, kita cinta orang tak apa-apa. Cinta model tak berbalas seperti ini justru bisa sangat radikal sehingga pada puncaknya justru melahirkan kebencian yang ekstrim.

Orang-orang yang terpapar model cinta seperti ini bisa memutuskan untuk mengakhiri hidupnya dengan bunuh diri atau memutuskan untuk tidak pernah mencintai lawan jenisnya atau secara radikal bisa mencintai sesamanya, atau bahkan memutuskan untuk tidak pernah lagi jatuh cinta dan hidup sendiri tanpa cinta.

Beberapa kisah cinta yang radikal itu adalah akar dari radikalisme yang pertama. Bila cinta seseorang yang sampai pada puncak yang ekstrim sungguh sangat ia cintai tetapi tidak berbalas ia menimbulkan kebencian yang sangat. Begitu juga kecintaan seseorang pada negerinya tetapi tidak berbalas, justru dibalas dengan penghianatan maka akan menjadi akar kuat bagi lahirnya kebencian dan paham yang radikal untuk menentang pemerintahan atau negara.

Akar radikalisme kedua yang sangat memicu paham dan sikap radikalisme adalah kesombongan. Kesombongan itu penyebabnya macam-macam, bisa sombong karena kekuasaan yang dimiliki, karena banyaknya pengikut, karena ilmu yang dimiliki, karena kekayaan dan harta, karena keturunan, karena kecantikan dan ketampanan.

Cinta yang radikal seradikal apapun hanya membuat yang bersangkutan saja yang terjangkiti paham radikal tetapi bila cinta radikal misalnya pada ideologi, pada tokoh, pada pemerintah dan negara yang berlebihan dan menimbulkan kesombongan bahwa merasa paling mencintai dan orang yang tidak mencintai atau cara mencintainya berbeda dengan dirinya selalu diangap salah dan radikal anti terhadap pemerintah ini yang sebenarnya menyuburkan paham radikal.

Alih-alih memberi solusi dan jalan untuk menangkal radikalisme, justeru cara mencintai yang ekstrim dengan kesombongan serta pongahnya kekuasaan mendefinisikan dan memberi tafsir sendiri dengan berlaku tidak adil dan terus menangani dengan cara kekerasan baik secara verbal maupun fisik justru menjadi pemacu dan pemicu kebencian yang ekstrim dan pada titik tertentu diekspresikan melalui protes yang keras menuntut perubahan undang-undang atau pemerintahan.

Menangkal Paham Radikal

Ekspresi cinta yang benar dan tidak dipenuhi oleh sikap kesombongan dengan kepongahan adalah cara paling benar dalam menangkal paham radikal.

Para penyelenggara negara dan pemerintahan yang ingin menangkal paham radikal hendaklah mengekspresikan cintanya pada negara dengan merealisasikan tujuan Indonesia merdeka, yaitu, melindungi segenap bangsa dan seluruh tumpah darah Indonesia, memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial.

Merealisasikan tujuan Indonesia merdeka tentulah dengan sikap yang adil, semua suku, agama, ras dan antar golongan tidak ada yang merasa tidak dilindungi dan diperlakukan tidak adil.

Tidak ada warga bangsa yang merasa tidak disejahterakan, tidak merasa dibodohi dan dibohongi karena diperlakukan sebagai objek untuk memperkuat dan hanya melegitimasi kekuasaan yang pongah. Lalu dibiarkan tidak untuk disejahterakan tetapi justru menanggung beban demi beban tagihan, iuran, pajak dan kehidupan yang makin sulit.

Pendek kata, memahami radikalisme bukan melihat apa efek dari radikalisme itu saja tetapi akar utama soal ketidakbenaran, ketidakjujuran, ketidakadilan yang menimbulkan kemiskinan dan keterbelakangan tidak diselesaikan.

Bukan pula memahami radikalisme dengan tafsir yang tunggal lalu mengekspresikan cinta pada negeri, pemerintahan, ideologi dan tokoh secara ekstrim, dengan sombong dan pongah merasa paling benar yang lain salah dan harus dipersalahkan inilah yang menjadi akar pemacu dan pemicu radikalisme yang sesungguhnya.

Bila cinta yang ekstrim dan kebencian yang berlebihan itu adalah bibit dari lahirnya radikalisme maka kesombongan dan kepongahan adalah pemicu dan pemantik radikalisme dari sekadar paham menjadi perwujudan dalam perilaku dan perbuatan nyata dari orang-orang yang berpaham radikal. [WT, 02/11/2019] Like & Share!

Penulis : Wahyu Triono KS
Dosen FISIP Universitas Nasional, Founder SSDI, LEADER dan CIA Indonesia

- Advertisement -

Berita Terkini