Keputusan MK, ICMI Muda Pusat: DPR Wajib Evaluasi 5 Hakim

Breaking News

- Advertisement -
- Advertisement -
- Advertisement -
- Advertisement -

MUDANEWS.COM, Bandung – Ketua Presidium ICMI Muda Pusat Ahmad Zakiyuddin didampingi Sekretaris Jenderal Tumpal Panggabean menyesalkan keputusan MK yang menolak permohonan uji materi pasal 284, 285 dan 292 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) tentang beleid pidana terkait kesusilaan.

“Pasal pasal yang dimohonkan uji materil adalah pasal 284 KUHP (perzinahan) yang hanya berlaku jika salah satu pelakunya terikat dalam perkawinan. Pasal 285 KUHP (perkosaan) yang membatasi korban hanya pada wanita saja. Sedangkan pasal 292 KUHP tidak melindungi kelompok korban orang dewasa sehingga tidak memberikan rasa keadilan dan kepastian hukum. Sebab Pasal 292 KUHP tentang perbuatan cabul hubungan sesama jenis hanya memberikan perlindungan hukum terhadap korban yang diduga belum dewasa, sedangkan pada korban yang telah dewasa tidak diberikan perlindungan hukum. Orang dewasa yang melakukan hubungan sesama jenis akhirnya dibiarkan dan tidak ada ketentuan hukum yang pasti,” tegas Zakiyuddin, Bandung (30/12/2017).

Zakiyuddin mengungkapkan kecewa dengan Pendapat MK yang menganggap bahwa pasal yang dimohonkan uji materil oleh para pemohon dianggap sama sekali tidak inkonstitusional. Pendapat Mahkamah tersebut jelas sangat melukai umat beragama di Indonesia dan tidak sesuai dengan pancasila dan UUD 1945.

Berikut Lima pernyataan sikap Majelis Pimpinan Pusat (MPP) ICMI Muda sebagai berikut:

1. ICMI Muda memandang bahwa penolakan permohonan uji materi pasal 284, 285 dan 292 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) tentang beleid pidana terkait kesusilaan yang dilakukan oleh 5 Hakim MK adalah bukti pengabaian penerapan nilai-nilai agama dan ketertiban umum. Nilai-nilai agama dan ketertiban umum seharusnya dijadikan pedoman yang harus dipatuhi dalam membentuk Norma UU. MK sejatinya menjadikan Pasal 28J ayat (2) UUD 1945 sebagai rujukan, karena sangat Jelas menegaskan bahwa jati diri dan identitasnya sebagai konstitusi yang berketuhanan (Godly Constitution).

2. Kami sangat setuju dengan pemohon bahwa pengaturan perzinaan, perkosaan dan perbuatan cabul yang diatur dalam KUHP memang sangat tidak lengkap dan tidak sesuai dengan kondisi sosiokultural masyarakat Indonesia yang religius sehingga membutuhkan perluasan tafsir oleh MK. Penolakan permohonan para pemohon yang dilakukan oleh MK menunjukan bahwa lembaga tersebut sudah mengabaikan nilai nilai agama dan ketuhanan. Alasan bahwa MK sebagai Lembaga yudikatif, tak berwenang untuk membuat norma hukum baru (negative legislature) sebagai alasan yang tidak masuk akal.

3. Dalih MK tak berwenang untuk membuat norma hukum baru (negative legislature) sebagai dalih yang mengada ada sebagai pengelakan publik, sebab dalam kenyataannya dalam beberapa putusan, MK, MK pernah berperan sebagai positif legislature. Misalnya saja dalam putusan MK No. 46/PUU-VIII/2010 Tentang Hak dan Kedudukan Anak Luar Perkawinan, Putusan MK No. 102/PUU-VII/2009 Tentang Pemilu Presiden dan Wakil Presiden atau Putusan MK No. 110-111-112-113/PUU-VII/2009 Tentang Pemilihan Umum Anggota Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah dan putusan MK lainnya dengan amar putusan conditionally constitutional dan unconditionally constitutional. Dalam putusan MK No. 102/PUU-VII/2009 Tentang Pemilu Presiden dan Wakil Presiden Mahkamah menyatakan bahwa putusannya bersifat self executing yang langsung dapat diterapkan oleh KPU tanpa memerlukan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perppu) terlebih dahulu. Lain halnya dalam putusan MK No. 110-111-1112-113/PUU-VII/2009. MK bahkan melabrak prinsip non-retro aktif yang telah berlaku universal.

4. Fungsi MK seharusnya mempunyai kewajiban konstitusional untuk senantiasa menjaga norma dalam suatu undang-undang agar tidak bertentangan dengan nilai ketuhanan bahkan dalam hukum pidana sekalipun, sehingga MK mampu menjadi lokomotif Penjaga Konstitusi utama Negara yang melindungi ummat beragama di Indonesia dari serangan ideologi Asing seperti LGBT ini. sebagaimana TNI yang menjaga kedaulatan negara dari ancaman negara lain. Penolakan penerapan nilai-nilai agama oleh 5 Hakim MK adalah sebagai bukti menegasikan nilai nilai Pancasila dan UUD 1945 yang justru akan mengancam pertumbuhan generasi. Siapapun yang mengabaikan nilai nilai pancasila dan UUD 1945 dalam bingkai ketuhanan dan ketertiban umum maka tugas negaralah dalam hal ini DPR dan Presiden sudah seharusnya melakukan evaluasi terhadap Lima hakim MK yang jelas-jelas melakukan pengabaian terhadap nilai-nilai pancasila dan UUD 1945, sebab seandainya negara melalui DPR dan presiden abai terhadap tegaknya nilai-nilai agama dan ketertiban umum, maka keutuhan Negara dan keselamatan generasi akan terancam. Jika lokomotif utama Konstitusi Negara melakukan pembiaran maka sudah dipastikan, kehancuran generasi akan berada pada titik darurat krusial.

5. ICMI Muda mendesak DPR RI dan Bapak Presiden Joko Widodo untuk bersama sama mengantisipasi menyebarnya Ideologi LGBT melalui berbagai perangkat hukum yang jelas sehingga tidak menyebar dan mengancam generasi. Pemerintah dan DPR seharusnya menjadi lokomotif pertama dan utama dalam penegakan kepastian hukum dan dalam menjaga agar tidak kehilangan generasi.

Zakiyuddin memandang bahwa MK Seharusnya bisa membatasi diri untuk tidak berlaku sebagai “positive legislator” dengan memperluas lingkup suatu tindak pidana.

Menurutnya, manakala terdapat norma UU bertentangan dengan nilai agama dan nilai nilai pancasila, maka sudah sepatutnya norma UU itulah yang harus disesuaikan agar tidak bertentangan dengan nilai agama dan nilai-nilai ketuhanan. Berita Bandung, Ahmad

 

- Advertisement -

Berita Terkini