JIB dan SIS: Proses Lahirnya Intelektual Muslim Indonesia

Breaking News

- Advertisement -
- Advertisement -
- Advertisement -
- Advertisement -

Oleh : Ibnu Arsib Ritonga

MUDANews.com – Sebagai seorang yang menggeluti tentang sejarah di Indonesia, terkhususnya dalam bidang kajian sejarah keintelektualan di Indonesia, Jong Islamieten Bond (JIB) dan Studenten Islam Studieclub (SIS), sudah tidak asing lagi bagi kita. Pendirian organasasi-organisasi yang bergerak dalam epistemik (ilmu pengetahuan) dan keagamaan, adalah suatu usaha-usaha intelektual di Indonesia pada abad ke-20. JIB dan SIS pun adalah bentuk real dari proses lahirnya intelektual Muslim di Indonesia.

Lahirnya Jong Islamieten Bond (JIB)

Dalam bukunya Hariqo Wibawa Satria (2011) menuliskan bahwa, JIB didirikan di Jakarta 1 Januari 1925 (tiga tahun sebelum lahirnya Sumpah Pemuda-pen) oleh Syamsurizal alias Sam (yang menjadi Walikota Jakarta Raya 1951-1953). Ia dilahirkan di Karang Anyar, Jawa Tengah, tahun 1901. Putra penghulu ini mendapat pendidikan (akhir) di Rechtschool, Sekolah Hukum. Darah perjuangan yang mengalir dalam dirinya agaknya ikut dipompa oleh pamanya yang bernama Surjopranoto. Tokoh Sarekat Islam yang populer disebut “Raja Mogok”. Ia berperan besar dalam mengorganisasikan gerakan pemogokan buruh di Jawa sebagai protes kepada Pemerintah Belanda.

Pengalaman pertama berorganisasi yang ditempuh oleh Syamsurizal berada di Jong Java. Inilah menariknya, meski ayahnya tokoh Sarekat Islam, tapi ia masuk Jong Java. Pada Kongres Jong Java ke-6 tahun 1923, Sam terpilih sebagai ketua. Sam ada melihat ketimpangan dalam organisasi yang dipimpinnya itu. Sejak beberapa tahun, Sam merasakan adanya terjadi diskriminasi terhadap anggota Jong Java yang beragama Islam dalam kegiatan keagamaan yang dilakukan Jong Java. Anggota-anggota dari kalangan yang beragama Kristen mendapat layanan kursus agama (pelajaran agama Kristen) dari Jong Java. Tapi, kursus agama Islam untuk anggota-anggota yang beragama Islam tidak diberikan oleh Jong Java. Pada Kongres ke-7 yang diselenggarakan di Yogyakarta, Desember 1924, Sam mencoba mengubah atau menambah program kegiatan organisasi dengan penyelenggaraan kursus agama Islam bagi anggota-anggota yang Muslim.

Sam merasakan perlunya menambahkan program tersebut, karena anggota-anggota yang Muslim itu umumnya bersekolah di lembaga pendidikan Barat. Jam sekolah lama dan ketat. Mustahil kemungkinan mereka belajar agama di rumah. Karena itu, Jong Java merupakan forum yang tepat untuk pelayanan kurus-kursus agama bagi anggotanya yang memeluk berbagai agama (tidak hanya berpatok pada satu kursus agama saja-pen).

Usul Sam tersebut ditolak lewat pengutun suara. Dari peristiwa itu, Sam dengan teman-temannya yang sepaham terdorong untuk membentuk sebuah wadah kaum terpelajar Islam guna mendalami agamanya. Sebagai orang muda yang masih kurang pengalaman dalam mengatur organisasi yang berbasiskan keagamaan, para pemuda-pemuda itu mengangkat seorang tokoh senior Islam di Indonesia, yaitu H. Agus Salim, selaku penasihat di Jong Islamieten Bond (organisasi yang baru mereka bentuk-pen).

Proses berdirinya JIB tersebut menimbulkan anggapan bahwa JIB pemecah persatuan, melakukan kegiatan politik praktis, dan antek Sarekat Islam. Namun, anggapan tersebut semata-mata didasarkan atas penafsiran yang sempit terhadap proses berdirinya JIB. Dengan diangkatnya Haji Agus Salim selaku penasihat semata-mata karena kapasitas intelektualnya dalam menerangkan Islam kepada kalangan muda terpelajar. Tuduhan bahwa JIB antek Sarekat Islam tidak mempunyai dasar yang kuat, karena Sarekat Islam sendiri sudah membentuk sayapnya khusus kaum muda yang bernama Pemuda Muslimin.

Sejak awal berdirinya, JIB menunjukkan cita-cita yang sangat maju yang dirumuskan dalam tujuan JIB, dimana kelompok ini melakukan pengkajian-pengkajian Islam, memajukan amal Islam; mengembangkan dan memajukan sikap simpati terhadap Islam dan penganutnya, serta memberi toleransi positif terhadap mereka yang mempunyai pikiran yang berbeda. Mengembangkan dan memajukan kontak-kontak di antara kaum intelektual dan rakya biasa lewat Islam; dan memajukan perkembanga jasmaniyah dan ruhaniyah para anggotanya lewat pelatihan diri dan aktivitas diri.

Supaya asas dan tujuan itu dapat berjalan, maka disusunlah suatu usaha-usaha dengan cara: a). Menerbitkan majalah secara berkala, brosur-brosur dan lain-lain penerbitan, b). Mengadakan kursus, pertemuan-pertemuan, dan lain-lain sebagainya, c). Mengadakan kunjungan ketempat yang berarti. Dalam statuta yang lain juga dinyatakan tentang gagasan solidaritas Islam: “ Tak ada orang yang bisa sepenuh hati bekerja demi memajukan kesejahteraan sosial secara umum tanpa menghormati dan bersimpati terhadap agamanya mayoritas masyarakat”.

Namun perlu diingat, gagasan JIB tentang solidaritas Islam bagi para anggotanya tidak bertentangan dengan inde mengenai ide solidaritas nasional dan tidak mengurangi keterikatan mereka pada tujuan pembentukan sebuah blok historis nasional. Muhammad Roem salah satu pimpinan JIB mengatakan, “Seseorang harus mencintai tanah airnya, karena ini merupakan bagian hakiki dari keyakinan Islam”.

Pandangan ini ini tercermin dari nama yang dipilih bagi organisasi kepanduan JIB yang didirikan pada 1926, yaitu National Indonesische Padvinderij (Gerakan Pandu Nasional Indonesia), yang merupakan organisasi pertama yang menggunakan kata-kata “Nasional Indonesia”. Bahkan, JIB juga memperlihatkan keterlibatan aktifnya dalam Kongres Pemuda Indonesia II pada Oktober 1928. Jadi solidaritas Islam dalam konteks ini disuarakan sebagai cara untuk mendukung identitas kolektif di tengah-tengah maraknya persaingan ideo-politik di antara beragam aliran intelektual.

Pada tahap selanjutnya, agar kaum terpelajar bisa lebih megenal JIB dan Islam, maka dibutuhkan modernisasi dalam mengekspresikan Islam dalam konteks historis saat itu. Tolak ukur utama dalam ukuran modernitas bagi kalangan pelajar pada masa itu adalah bahasa Belanda. Inilah kenapa majalah yang diterbitkan JIB dalam bahasa Belanda, yaitu Heth Licht. Dalam pengajaran, pelatihan-pelatihan, JIB sering menggunakan metode pendekatan-pendekatan modern serta rasionalisme.

Agar kajian Islam lebih menarik buat para pelajar Muslim dari sekolah-sekolah sekuler, maka diundanglah mentor Muslim atau tokoh-tokoh yang menguasai kajian-kajian yang berasal dari ulama-intelektual reformis dan intelektual-ulama modernis. Pola ini sangat kontras dengan metode pengajaran atau pengkajian tradisional yang cenderung bersifat dogmatis dengan sedikit memberi ruang bertanya pada pelajar-pelajar. Metode yang baru itu, pengajaran intelektual-ulama dan ulama-intelektual lebih terbuka terhadap diskusi dan lebih bisa mengaitkan tema-tema kajianIslam dengan kenyataan-kenyataan kontemporer.

JIB banyak dibentuk di kota-kota besar, menjadikan organisasi ini lebih dekat dengan tradisi intelektual-ulama yang reformis-modernis ketimbang tradisi intelektual-ulama yang tradisional. Selain Agus Salim sebagai penasihat sekaligus mentoring, JIB juga mengundang HOS. Tjokroaminoto (dari SI), Ahmad Hasan (Persis), Ahmad Dahlan dan H. Fakhruddin (masing-masing dari Muhammadiyah) dan mentor-mentor lainnya. Nama-nama yang disebutkan tadi adalah mentor-mentor terkemuka di dalam JIB.

Di antara para anggota senior JIB pada tahun 1920-an yang akan menjadi pimpinan gerakan politik Muslim di masa depan ialah Syamsurizal yang menjadi Ketua Umum pertama tahun 1925-1926, seorang lulusan Rechtscholl. Ketua Umum kedua adalah Wiwoho Purbohadidjojo yang memimpin dari tahun 1926-1930, dia seorang lulusan dari Hoogere Burgerschool (Pendidikan Menengah Umum). Kasman Singodimedjo adalah Ketua Umum yang ketiga, menjabat selama lima tahun dari 1930-1935, seorang pelajar bagian persiapan School tot Opleiding van Indische Artsen (Sekolah Pendidikan Dokter Hindia) atau lebih dikenal dengan singkatan STOVIA. Kemudian dilanjutkan oleh Muhammad Roem dari STOVIA juga, kemudian Mohammad Natsir, Jusuf Wibisono, Prawoto Mangkusasmito, ketiga-tiganya dari pelajar Algemene Middelbare School disingkat AMS (Pendidikan Menengah Umum).

Lahirnya Studenten Islam Studieclub (SIS)

Berdirinya kelompok ini tidak bisa lepas dari sejarahnya JIB. Pada awal-awal tahun 1930-an, beberapa aktivis JIB yang telah menjadi mahasiswa menyadari bahwa JIB tidak lagi cocok untuk perkembangan intelektual mahasiswa. Jusuf Wibisono dan Mohammad Roem sebagai aktivis JIB yang telah menjadi mahasiswa di Rechtshoogeschool atau lebih dikenal dengan singkatan RHS (Perguruan Tinggi Hukum). Mereka mengusulkan pendirian sebuah organisasi Islam bagi mahasiswa sebagai kelanjutan dari JIB di lingkungan perguruan tinggi. Usulan itupun terwujud pada Desember 1934 di Jakarta.

Penyebab yang lain berdirinya SIS ini karena kegiatan-kegiatan di JIB yang dipimpin oleh Kasman Singodimedjo menurut sehingga banyak kritik yang masuk ke tubuh JIB. Kritik keras juga datang dari pimpinan pertama JIB, Syamsurizal mempetanyakan JIB dengan menulis suatu artikel dengan judul “Qou Vadis JIB”.

Seperti yang pernah dijelaskan oleh A. Karim (Ketua SIS 1937-1938) bahwa SIS bertujuan untuk mengislamkan kaum intelektual, terutama kaum intelektual Muslim yang merasa asing dengan agamanya sendiri. Kegiatan-kegiatan SIS tidak jauh berbeda dari JIB. Titik berat kegiatan SIS adalah mempersiapkan secara tertib penerbitan majalah-majalah bulanan yang berisi berita-berita organisasi, juga tulisan-tulisan pemikiran tentang Islam kemudian disebarkan kepada khalayak ramai, terkhususnya kaum intelektual dari kalangan Muslim.

SIS terus meningkatkan perekrutannya terhadap mahasiswa-mahasiswa Islam untuk dijadikan anggota. SIS melebarkan sayap sampai ke Perguruan Tinggi yang ada pada masa itu. Selain perekrutan, SIS juga mengarahkan anggota-anggotanya kepada pengembangan intelektual dengan membangun perpustakaan Islam di Jakarta pada tahun 1946. SIS juga membuat kursus bahasa Arab supaya anggota-anggotanya dapat mempelajari Islam langsung dari sumbernya, Al-Qur’an dan Hadist Rasulullah SAW.

Untuk lebih menarik minat mahasiswa agar masuk, SIS melonggarkan syarat keanggotaannya. Dalam pasal 5 statutanya, disebutkan bahwa “semua mahasiswa, apa pun kebangsaannya dan ideologinya, bisa diterima menjadi anggota perhimpunan ini”. Dengan usaha rintisannya untuk membentuk suatu gugus intelegensia yang ramah Islam di kalangan mahasiswa, pendirian SIS merupakan titik yang menentukan bagi perkembangan intelektual Muslim di universitas-universitas pada masa yang akan datang.

Mengambil Pelajaran dari Pengalaman

Pembentukan JIB dan SIS menghadirkan sebuah tema sentral dalam perkembangan gerakan-gerakan intelektual Muslim sepanjang abad 20, yaitu Islamisasi inteligensia. Selama pendudukan Jepang di Indonesia pada tahun 1942, kedua organisasi itu pun lenyap dari ruang publik. Namun ideologi dan jaringannya masih bertahan dalam ingatan para mantan-mantan anggotanya dan dipertahankan lewat upacara peringatan dan kontak-kontak informal antarmantan aktivisnya atau pun diramaikan ke dalam bentuk aksi kolektif yang baru.

Pengalaman pergerakan dan perjuangan JIB dan SIS harus menjadi contoh bagi organisasi-organisasi yang mengatakan dirinya bergerakan dalam menciptakan kader-kader intelektual di Indonesia, terkhususnya yang klaim dirinya sebagai organisasi yang menciptakan Intelektual yang Ulama dan atau Ulama yang Intelektual. Pergerakan-pergerakan mereka patut untuk dicontoh, usaha-usaha mereka terlihat memang benar-benar untuk menciptakan intelegensia, maka dari terlihat mereka menjauhi tindakan-tindakan praktis, apalagi politik praktis. JIB dan SIS lebih mendekatkan pada pengembangan ilmu-ilmu pengetahuan modern dan ilmu-ilmu agama.

Kalau kita tarik ke berbagai budaya organisasi yang mengklaim dirinya organisasi keintelektualan saat ini di Indonesia, banyak pembicaraan-pembicaraan yang digulirkan hanya pembahasan-pembahasan yang mendistorsi pemikiran, gampang terpengaruh oleh isu-isu politik praktis, bahkan keintelektualannya tergadaikan oleh hanya pengaruh eksistensi.

Kiranya sebagai kader-kader organisasi, terkhususnya pelajar dan atau mahasiswa, harus lebih dapat menjadi independensinya baik secara independensi etis (perseorangan) maupun independensi organisatoris. Jangan sampai kedua-duanya tergadaikan karena hanya pemenuhan nafsu yang tidak baik, tidak terpengaruh godaan-godaan duniawi baik materi dan immateri. Dan teristemewanya, semoga kelompok-kelompok organisasi keintelektualan lebih mendekatkan diri pada keilmuan-keilmuan dan menjaga masyarakat dari kesewenang-wenangan dari berbagai kebijakan pemerintah. Semoga kita menjadi intelektual Muslim yang menjaga perdamaian dan keutuhan dalam berbangsa dan bernegara.
Ibnu Arsib Ritonga adalah seorang mahasiswa UISU yang bercita-cita kuat untuk menjadi penulis

- Advertisement -

Berita Terkini