Agama dan Politik: Islam adalah Politik?

Breaking News

- Advertisement -
- Advertisement -
- Advertisement -
- Advertisement -

Oleh: Muhammad Roni

MUDANews.com – Akhir- akhir ini sering kita mendengar opini yang menginginkan adanya ‘dikotomi’ (pemisahan) antara Agama dan Politik, dengan alasan bahwa negara bukan dominan agama, sehingga seorang ulama tidak boleh ikut campur dalam urusan politik, terlebih lagi tidak boleh mendirikan negara islam. Dalam sejarah, islam tidak mengenal agama tanpa negara. Islam sebagai agama berhak mendirikan negara, karena islam adalah agama yang bersifat komperhensif, mencakup aqidah dan syariat, ibadah dan interaksi soaial, agama dan politik, serta dakwah dan negara.

Para ulama menyatakan bahwa Rasulullah memiliki tiga jabatan sekaligus. Pertama, sebagai Rasul yang menyampaikan wahyu dari Allah. Kedua, sebagai hakim yang membuat keputusan hukum. Ketiga, sebagai kepala negara yang menangani persoalan bangsa.

Oleh karenanya, kalangan sekularis dan liberalis selalu melesakkan tuduhan jumud, tradisional dan fundamentalis kepada para ulama yang berupaya berpegang teguh pada prinsip Islam, sebagaimana yang diajarkan oleh Alquran dan Sunnah. Semangat berfatwa dan berijtihat mereka teriakkan. Ayat dan hadis ingin dipreteli seenaknya. Situasi ini semestinya menyadarkan para ulama dan umara umat ini untuk melahirkan generasi kader yang mampu menyajikan berbagai solusi lewat ijtihat, tanpa membongkar sendi- sendi prinsip Islam.

Sejak jatuhnya Khalifah Utsmaniyah di Turki pada tahun 1924, salah satu tren perbincangan serius para ulama dan cendikiawan Islam adalah tentang relasi agama dan negara. Diskusi ini semakin hangat setelah sejumlah negara- negara islam berhasil membebaskan diri dari belenggu penjajah, seperti Indonesia dan Pakistan setelah berpisah dari india. Soekarno, misalnya, menulis khusus sebuah buku yang menjelaskan mengapa turki memilih negara sekular  dan meninggalkan sistem khalifah. Boleh jadi karena terilhami seperti itu, soekarno dalam perjalanan  memimpin bangsa ini, lebih menekankan aspek kebangsaan dan persatuan nasional yang sekular. Salah satunya dengan merancang konsep NASAKOM (Nasional, Agama dan Komunis).

Oleh karena itu, dalam tulisan sederhana ini penulis ingan menyatakan bahwa: Islam yang benar sebagaimana yang di syariatkan oleh Allah pasti berpolitik. Jika islam dipisahkan dari politik, berarti bukan islam tetapi agama lain seperti Bhudha, Nasrani atau lainya karena yang namanya agama islam, berarti politik. Setidaknya ada dua alasan kenapa islam harus berpolitik. Pertama ajaran islam mencakup seluruh aspek kehidupan. Islam memiiki sikap yang jelas dan hukum yang gamblang dalam menghadapi berbagai persoalan yang masuk dalam wilayah politik. Islam bukan hanya berisi aqidah ketuhanan dan syiar ibadah saja, syariat bukan hanya mengatur hubungan antara manusia dengan tuhanya dan tidak memiliki perhatian kepada persoalan hidup dan ketentuan bagi masyarakat dan negara.

Tapi islam mencakup aqidah ibadah dan akhlak serta merupakan syariat yang komperhensif. Dengan kata lain, islam adalah ajaran hidup sempurna yang berisikan tentang dasar- dasar yang sengaja ditetapkan, kaidah yang diciptakan, syariat yang ditentukan, ajaran yang diciptakan, baik berhubungan dengan kehidupan pribadi, urusan rumah tangga, sosial, dasar- dasar negara, ataupun hubungan internasional.

Alasan kedua adalah, seorang muslim itu berkepribadian politis. Sebagaimana dibentuk oleh islam dan sesuai dengan aqidah, syariat, ibadah dan pendidikannya pasti memiliki unsur politis. Kecuali jika pemahaman dan pengamalan terhadap agama salah. Islam meletakkan suatu kewajiban diatas pundak kaum muslimin berupa kewajiban amar ma’ruf nahi mungkar, atau dengan kata lain, memberi nasehat kepada para pemimpin maupun masyarakat luas. Rasulullah memerintahkan kaum muslimin untuk melawan kerusakan internal dan menganggap sebagai suatu perlawanan yang paling berat dibanding dengan perlawanan eksternal. Saat ditanya tentang jihat yang paling utama beliau menjawab; “Jihat yang paling utama adalah mengatakan kebenaran di depan penguasa yang zhalim”.

Bahasa Alquran dan Hadis yang menceritakan tentang sikap pasif terhadap kemungkaran, bersikap diam pada pelaku kejahatan atau bersikap netral terhadap penguasa maupun rakyat yang jelas- jelas bersalah, sangat mengguncang hati siapa pun, termasuk mereka yang hanya memiliki iman sebesar  biji- bijian. Allah berfirman:

Telah dilaknati orang- orang kafir dari bani israil dengan lisan dawud dan isa putra maryam. Yang demikian itu disebabkan mereka durhaka dan selalu melampaui batas. Mereka satu sama lain selalu tidak melarang tindakan mungkar yang mereka perbuat. Sesungguhnya amat buruklah apa yang selalu mereka perbuat itu”. [QS. Al-Maa’idah: 78-79]

Rasulullah Saw bersabda:

“Barang siapa melihat kemungkaran, maka cegahlah dengan tanganya, jika tidak mampu maka gunkanlah mulutnya dan jika tidak mampu gunakanlah hatinya, dan itulah tingkat iman yang paling lemah”. [HR. Muslim]

Demikianlah dengan mudah kita bisa menyaksikan tidakan kejahatan yang terus merebak dan di anggap sebagai sesuatu yang  biasa dalam politik. Karena itu wajib hukumnya bekerjasama untuk mengubah dan melawan kemungkaran, karena termasuk kerjasama dalam kebaikan dan ketakwaan. Kerjasama dapat diwujudkan melalui organisasi- organisasi sosial, partai- partai politik atau jalan yang bisa kita gunakan untuk melakukan kewajiban agama kita sekaligus tanggungjawab sosial kita sebagai anggota masyarakat.

Dengan demikian, kita sudah masuk kedalam kancah politik walaupun kita sedang dalam keadaan khusyu’. Inilah karakteristik agama islam sebagai sebuah agama yang tidak melepaskan persoalan dunia dan tidak memisahkan dunia dari agama. Baik Alquran , hadis maupun sejarah islam tidak pernah mengenal agama tanpa negara maupun negara tanpa Agama.

Wa Ma Tawfiqi Illa Billah,,,

Penulis adalah Dosen Fakultas Saintek UIN-SU

- Advertisement -

Berita Terkini