Vonis Ringan untuk Prajurit TNI Pembunuh MHS: Air Mata Ibu, Luka Hukum yang Menganga

Breaking News
- Advertisement -

Mudanews.com, MEDAN – Tangis Lenny Damanik pecah di ruang sidang Pengadilan Militer I-02 Medan, Senin siang (20/10/2025). Ia memeluk foto anaknya, MHS (15), yang tewas setelah diduga dianiaya seorang prajurit TNI. Sementara di hadapannya, majelis hakim membacakan putusan yang membuat ruang sidang mendadak hening: Sertu Riza Fahlivi hanya dijatuhi hukuman 10 bulan penjara dan restitusi Rp12 juta.

“Anak saya sudah dibunuh, tapi hukuman hanya segitu,” ujar Lenny dengan suara bergetar, pada Senin (20/10/2025).

Putusan itu dibacakan oleh Ketua Majelis Hakim Letkol Ziky Suryadi. Hakim menyatakan, Riza terbukti alai hingga menyebabkan orang lain meninggal dunia, sebagaimana Pasal 359 KUHP. Dakwaan utama dari Oditurat Militer Medan, yakni kekerasan terhadap anak berdasarkan Pasal 76C Undang-Undang Perlindungan Anak, dinyatakan tidak terbukti.

Padahal, dalam dakwaan awal, Riza dituntut satu tahun penjara, denda Rp500 juta, dan restitusi Rp12,7 juta. Tuntutan itu saja sebelumnya sudah dianggap terlalu ringan oleh LBH Medan. Kini, vonis hakim yang lebih ringan lagi, menambah luka keluarga korban.

Kesaksian yang Terabaikan.

LBH Medan menilai, putusan ini sarat kejanggalan. Dalam persidangan, saksi-saksi mengaku melihat korban diserang hingga jatuh di sela rel kereta api.

“Saksi Ismail Syahputra melihat langsung pemukulan itu. Tapi hakim justru menyebut tidak ada bukti kekerasan,” kata pengacara LBH Medan, Richard Hutapea.

LBH juga menyoroti pernyataan hakim yang menyebut tidak ada luka pada tubuh korban.

“Padahal korban sempat mengeluh sakit parah di perut, muntah-muntah, bahkan tidak bisa duduk. Ini dikesampingkan begitu saja,” tambahnya.

Bagi LBH Medan, kejanggalan ini bukan sekadar perkara interpretasi hukum. Ini adalah cermin buruknya **akuntabilitas peradilan militer**, yang seringkali lebih melindungi institusi daripada korban sipil.

Lebih Ringan dari Maling Ayam.

Dalam rilis resminya, LBH Medan menyebut putusan terhadap Sertu Riza sebagai “sejarah buruk penegakan hukum dan matinya keadilan di peradilan militer.” Mereka menilai, vonis 10 bulan penjara untuk kasus kematian anak adalah tamparan bagi rasa keadilan publik.

“Lebih ringan dari hukuman maling ayam,” Direktur LBH Medan, Irvan Saputra.

LBH juga menyoroti lemahnya sikap Oditur Militer yang hanya menuntut satu tahun penjara. Padahal, Pasal 80 ayat (3) UU Perlindungan Anak mengancam pelaku kekerasan terhadap anak hingga meninggal dunia dengan hukuman maksimal 15 tahun penjara.

“Mengapa prajurit yang menyebabkan anak mati hanya dituntut setahun, lalu divonis sepuluh bulan? Di mana letak keadilan bagi keluarga korban?” kata Irvan.

Tuntutan Reformasi Peradilan Militer.

Kasus MHS menjadi alarm keras bagi sistem hukum militer Indonesia. LBH Medan mendesak reformasi total peradilan militer, terutama dalam perkara yang melibatkan korban sipil.

“Kasus ini menunjukkan betapa sulitnya mencari keadilan jika pelaku berasal dari institusi berseragam,” ucap Irvan.

Mereka juga menyatakan akan melaporkan majelis hakim ke Mahkamah Agung atas dugaan kejanggalan hukum, sekaligus mendorong Oditurat Militer mengajukan banding.

 

Berita Terkini