Cerita Hidup di Rumah Kito: Merawat Ruang, Menenun Jiwa dalam Simpul-simpul Kehidupan

Suasana nyaman di Kedai Kopi Rumah Kito. (Foto: din/Mudanews.com)

Mudanews.com – MEDAN | Di sudut Gang Rambung, Jalan Halat, Kota Medan, sebuah kedai berdiri tanpa banyak bicara. Tak ada ornamen mewah. Hanya satu tulisan kecil di papan nama: Rumah Kito.

Namun dari dalam, aroma kopi yang menguar hanyalah awal. Di balik cangkir-cangkir sederhana, tempat ini menyimpan semangat yang tak bisa dibeli yakini, semangat kolektif, keberanian untuk terus berkarya meski dengan alat seadanya, dan ruang yang dibangun dari kepercayaan.

“Gak ada alasan kalau gak ada ruang. Kalau ruang belum ada, ya kita ciptakan sendiri. Kalau cuma punya tali, ya kita simpulkan,” ujar Ardiansyah Tanjung, saat ditemui, Senin (9/6/2025).

Tanjung bukan sekadar pemilik Rumah Kito. Ia lebih mirip penjaga bara. Di tengah kota yang kian menelan ruang publik, ia membiarkan kedainya tumbuh seperti akar—menyusup diam-diam, mencengkeram tanah, dan memberi hidup.

Dinding-dinding Rumah Kito menjadi saksi bisu berbagai peristiwa kecil tapi bermakna: diskusi-diskusi larut malam, gitaran akustik di bawah cahaya temaram, hingga tawa anak muda yang sedang mencoba memaknai dunia.

Di salah satu sudut, seorang lelaki duduk membungkuk. Tangannya terus bekerja, seolah dunia bisa runtuh tapi ia tak akan melepaskan fokusnya. Muhammad Iqbal Nasution, atau Ibel, usianya 42 tahun. Tapi matanya menyimpan waktu yang lebih panjang.

“Sudah dua puluh empat tahun saya main simpul. “Dulu hidup di jalan. Naik gunung. Tidur di mana bisa,” ucapnya sembari merajut tali Paracord.

Ia hidup dari simpul ke simpul. Dari tali-tali yang biasanya tergantung di pinggang para pendaki, ia merangkainya menjadi gelang, gantungan, pengikat, kenangan. Tak ada studio. Tak ada promosi. Hanya tangan, waktu, dan doa.

“Kalau hati sedang kacau,” katanya, “simpul pun ikut kacau. Tali bisa merasakan.”

Di Rumah Kito, karya bukanlah soal industri, tapi soal ruh. Tak ada yang dibuat massal. Semua lahir pelan-pelan, dengan penuh kesadaran.

Di luar, kota tetap berjalan. Jalan Halat dipenuhi kendaraan yang saling berebut ruang. Tapi di dalam Rumah Kito, waktu seolah melambat. Orang-orang datang dan duduk. Mahasiswa, pelajar, seniman jalanan, sampai bapak-bapak yang penasaran. Mereka datang tak sekadar untuk ngopi, tapi untuk merasa hadir.

“Inilah cara kami menjaga hidup,” kata seorang pengunjung. “Dengan membagikan apa yang kami punya: ide, lagu, simpul, atau sekadar telinga yang mendengar.”

Rumah Kito membuktikan bahwa ruang hidup tak harus dibangun dengan anggaran besar atau strategi branding. Ia cukup dibangun dari rasa percaya, dan kemauan untuk saling menopang.

Dalam dunia yang semakin gemar menyingkirkan yang kecil dan lambat, Rumah Kito berdiri pelan. Tapi ia tumbuh. Dari simpul ke simpul. Dari secangkir kopi, menjadi seutas harapan. (din).