Tangis Yuni, Debu dari Warung yang Terbakar dan Layanan BPJS yang Terputus

Breaking News

- Advertisement -

Mudanews.com – MEDAN | Sri Wahyuni terdiam sejenak sebelum suaranya pecah dalam isak. “Maaf, saya tak kuat,” katanya, menyeka air mata yang tak kuasa ia bendung. Sudah tiga bulan berlalu sejak kobaran api menjilat habis warung makan miliknya di tepi jalan kabupaten Dairi, tapi luka yang ditinggalkan masih membara, baik di kulit maupun di hatinya.

Di tangan kanannya, bekas luka bakar itu masih nyata. Namun yang jauh lebih menyakitkan adalah kehilangan Azwar, suaminya, yang mengembuskan napas terakhir setelah dua pekan berjuang di ruang perawatan Rumah Sakit Bina Kasih, Medan. Usianya 44 tahun. Satu korban lain, Suci Aulia Putri, 18 tahun, juga menyusul wafat. Ia bekerja membantu di warung makan milik Yuni.

Kebakaran yang terjadi pada pertengahan Februari itu menelan tujuh korban. Dua meninggal dunia. Selebihnya, termasuk Yuni, menjalani perawatan dengan luka bakar yang cukup serius. Namun musibah itu ternyata belum menjadi akhir dari penderitaan. Di atas abu sisa kebakaran, tumpukan utang biaya rumah sakit sebesar Rp260 juta menghantui langkah mereka.

Tak hanya itu. Layanan BPJS Kesehatan yang seharusnya menjadi penopang di masa-masa sulit, tiba-tiba menghilang. “Kami seperti dibiarkan tergelincir dalam jurang tanpa ada yang peduli,” ujar Yuni kepada Mudanews.com, Jumat, 16 Mei 2025, di kota Medan.

Ketika Status Pasien Berubah di Tengah Luka Terbuka.

Hari-hari setelah kebakaran, Yuni dan para korban dirawat di Rumah Sakit Umum Sidikalang. Saat itu, layanan BPJS Kesehatan masih aktif. Namun, begitu dua pasien dirujuk ke Rumah Sakit Umum Pusat (RSUP) Haji Adam Malik dan kemudian ke Rumah Sakit Bina Kasih, segalanya berubah.

Menurut Yuni, perawat di RSUP HAM menanyai Suci mengenai status kerjanya. Jawaban dari keluarga bahwa Suci bekerja di warung makan itu seperti menjadi pemicu. Tak lama kemudian, status layanan yang semula ditanggung BPJS Kesehatan berubah menjadi BPJS Ketenagakerjaan. Padahal, Yuni tercatat sebagai peserta BPJS Kesehatan dalam kategori Penerima Bantuan Iuran (PBI) dari pemerintah.

“Waktu itu saya sedang dirawat. Perawat bilang, kami tak lagi ditanggung BPJS Kesehatan. Tiba-tiba, kami dianggap sebagai pasien umum,” kata Yuni.

Deposit Rumah Sakit, Jenazah Tertahan.

Perubahan status itu berdampak nyata. Perban Azwar tak diganti. Obat-obatan dikurangi. Ia yang semula dirawat di ICU dipindahkan. Yuni mengaku mereka diperlakukan seperti pasien tak berhak. Dalam keadaan luka, ia harus mencari uang untuk deposit rumah sakit.

Namun semuanya terlambat. Azwar meninggal dunia pada 26 Februari 2025. Dan malangnya, jenazahnya tak langsung bisa dipulangkan. Pihak rumah sakit meminta pembayaran tunggakan sebesar Rp160 juta. Saat keluarga tak sanggup membayar, rumah sakit meminta agunan.

“Sertifikat tanah keluarga sempat akan dijaminkan, tapi ternyata masih bersengketa,” kata Yuni lirih.

Akhirnya, seorang teman lama Yuni, Suka Edah Angkat, datang sebagai penyelamat. Ia menjaminkan sertifikat tanah miliknya agar jenazah Azwar bisa dibawa pulang setelah tertahan selama 15 jam. Hingga kini, sertifikat itu masih tertahan di rumah sakit.

Beberapa hari setelah Azwar, giliran Suci mengembuskan napas terakhir. Luka bakarnya terlalu parah.

Ombudsman Sumut: Ada Malaadministrasi.

Sri Wahyuni kemudian melapor ke Ombudsman RI Perwakilan Sumatera Utara. Ia merasa ada yang janggal, status layanan BPJS Kesehatan diputus tanpa penjelasan memadai. Warung miliknya hanyalah usaha kecil-kecilan. Omzetnya pun tak lebih dari Rp300 ribu per hari.

Hasil investigasi Ombudsman menguatkan kecurigaan Yuni. “Kami menemukan adanya malaadministrasi,” kata Kepala Perwakilan Ombudsman RI Sumut, Herdensi Adnin, atau akrab disapa Densi.

Menurut Densi, BPJS Kesehatan tidak memiliki standar operasional yang jelas dalam menentukan pengalihan layanan ke BPJS Ketenagakerjaan.

“Mereka hanya berpegang pada informasi awal tanpa konfirmasi lebih lanjut ke keluarga. Padahal Undang-Undang menyebut, selama belum ada keputusan, BPJS Kesehatan harus tetap memberikan layanan.”

Densi juga menilai warung milik Yuni masuk kategori ultra mikro.

“Usaha seperti itu tidak wajib mendaftar BPJS Ketenagakerjaan. Apalagi sifatnya sukarela. Kalau pun harus membayar iuran, bisa-bisa habis seluruh keuntungan hanya untuk itu,” ujarnya.

Ombudsman telah menyerahkan Laporan Hasil Pemeriksaan (LHP) kepada BPJS Kesehatan. Mereka merekomendasikan agar biaya perawatan para korban dibayarkan penuh.

“Kami ingin ada perbaikan tata kelola agar tidak ada lagi masyarakat kecil yang terabaikan seperti ini,” ucap Densi.

Sementara itu, BPJS Kesehatan belum memberikan keterangan resmi. Mudanews.com telah berupaya menghubungi Deputi Direksi BPJS Kesehatan Wilayah I, Mohammad Iqbal Anas Ma’ruf, namun belum mendapatkan respons.

Di tengah jeritan luka, Yuni kini menggantungkan harapannya pada penggalangan dana. Ia dan beberapa rekan korban kebakaran berkeliling mengetuk hati warga.

“Saya hanya ingin semuanya diselesaikan. Jangan ada lagi yang harus kehilangan orang tercinta karena bingung membayar rumah sakit,” katanya. Suaranya pelan, hampir tak terdengar. Seperti bara yang tak padam. (din).

Berita Terkini