Demi Patuh pada Pusat, Pemkot Medan Rela Kembalikan Bantuan UEA

Breaking News
- Advertisement -

 

Oleh : Rosadi Jamani Ketua Satupena Kalbar

Mudanews.com OPINI | Tepuk tangan dong buat Walikota Medan, Rico Tri Putra Bayu Waas. Bisa dikatakan, walikota paling patuh pada pusat, inilah orangnya. Sumbangan dari UEA udah diterima, lalu ada instruksi pusat, kembali, saat itu juga ia kembalikan. Luar biasa. Simak narasinya sambil seruput Koptagul, wak!

Medan sore itu panasnya bukan main, seperti durian Ucok yang baru dibelah, menyengat, mengundang kerumunan, tapi meninggalkan rasa berat di kepala. Di kota yang terbiasa dengan suara klakson dan debat warung kopi, sebuah keputusan administratif berubah menjadi drama nasional. Pemerintah Kota Medan, demi satu kata sakral bernama “patuh”, rela mengembalikan bantuan kemanusiaan dari Uni Emirat Arab (UEA) berupa sekitar 30 ton beras, lengkap dengan paket sembako, perlengkapan bayi, dan perlengkapan ibadah, yang sejatinya diperuntukkan bagi warga terdampak banjir.

Bantuan itu sempat diterima dengan ucapan terima kasih. Pak Wali bahkan menyampaikan apresiasi atas solidaritas UEA. Namun, seperti bika ambon yang mengembang lalu kempis, apresiasi itu tak bertahan lama. Setelah koordinasi dengan pemerintah pusat dan lembaga terkait, diputuskanlah bahwa Indonesia belum membuka penerimaan bantuan asing secara langsung dalam penanganan bencana. Maka, beras yang sudah menempuh perjalanan jauh itu harus kembali, seolah Medan berkata, “Maaf, niat baik syech benar, tapi jalurnya salah.”

Adegan ini terasa absurd. Di satu sisi, warga terdampak banjir masih berkutat dengan lumpur dan logistik terbatas. Di sisi lain, negara sibuk memastikan prosedur berdiri tegak seperti Menara Air Tirtanadi. Kokoh, bersejarah, dan dingin. Patuh pada pusat menjadi alasan paling sahih, bahkan ketika konsekuensinya adalah mengantar pulang bantuan yang secara faktual bisa langsung dikonsumsi masyarakat.

Belum selesai publik mencerna soal beras UEA, muncul episode lain yang tak kalah menggelitik dan memalukan. Menteri Dalam Negeri Tito Karnavian menyebut, bantuan dari Malaysia nilainya tidak besar, sekitar Rp1 miliar, jika dibandingkan dengan kemampuan anggaran pemerintah Indonesia. Kalimat ini, yang mungkin dimaksudkan sebagai penegasan kemandirian negara, justru terdengar seperti menakar empati dengan timbangan Pasar Petisah yang sudah tua.

Reaksi pun meledak. Warganet Malaysia tersinggung, warganet Indonesia ikut geleng-geleng kepala, dan media luar negeri, termasuk South China Morning Post, menurunkan berita dengan nada satire tajam. Pesannya sederhana tapi menghantam, dalam urusan kemanusiaan, ukuran bukan soal besar kecil angka, melainkan sikap. “Just say thank you,” begitu kira-kira teriakan dari seberang Selat Malaka, yang gaungnya sampai ke Medan.

Publik di dalam negeri tak kalah gaduh. Ada yang bertanya mengapa bantuan harus dipulangkan sementara korban masih membutuhkan. Ada yang mempertanyakan logika negara yang cepat menolak, tapi lambat mendistribusikan. Namun semua pertanyaan itu mentok di tembok tebal bernama koordinasi. Di kota yang biasa menyelesaikan masalah dengan kopi kental dan bicara blak-blakan, jawaban resmi justru berputar-putar seperti macet di Jalan Gatot Subroto.

Akhirnya, Medan menjadi metafora besar Indonesia hari itu. Kota yang ramah di brosur, patuh di laporan, tapi kikuk saat berhadapan dengan empati. Bantuan UEA pulang, perasaan Malaysia tersinggung, publik kecewa berat, dan negara berdiri tegak sambil berkata, semuanya sudah sesuai aturan. Di tengah banjir dan lumpur, kita belajar satu hal pahit, di negeri ini, prosedur sering kali lebih cepat diselamatkan daripada manusia.

Udah diambil, lalu dikembalikan, kesal ndak. Pastilah, itu manusiawi. Untungnya, Timnas voli putra kita menang lawan Vietnam 3-2 lewat duel sangat menegangkan, dan lolos ke final. Hiburan di tengah semakin merosotnya moral para petinggi negeri ini.***

Berita Terkini