Oleh : Rosadi Jamani Ketua Satupena Kalbar
Mudanews.com OPINI | Rupanya mahasiswa di Timor Leste tak mau kalah soal demo. Mungkin terinspirasi Indonesia, mahasiswa negeri tetangga itu sedang mengguyuk (menggoyang) pemerintahnya. Simak narasinya sambil seruput kopi dengan sedikit gula aren, wak!
Sepertinya kita sedang menyaksikan babak baru sejarah dunia. Bukan perang dunia ketiga, bukan pula final Piala Dunia, tapi Perang Global Spanduk dan Megaphone. Demo telah berubah jadi bahasa universal umat manusia. Bahasa cinta terlalu rumit, bahasa ekonomi penuh angka, bahasa politik penuh dusta, maka manusia akhirnya bersepakat, mari kita bicara dengan teriakan di jalanan!
Cerita ini dimulai dari Indonesia, negeri di mana demo sudah seperti ritual mingguan. Di tanah air, segala hal bisa jadi alasan turun ke jalan. Harga BBM naik, gaji belum cair, atau bahkan karena cuaca terlalu panas. Dari Jakarta, virus demo itu menular ke Serbia. Orang Serbia, yang awalnya sibuk menonton bola dan minum kopi kental, tiba-tiba ikut berteriak di jalan. Lalu seperti domino dunia, Nepal pun tak mau kalah, mereka turun ke jalan meski pegunungan Himalaya sudah cukup tinggi untuk tempat berseru.
Gelombang kemudian sampai ke Prancis, negeri yang sudah berabad-abad punya tradisi demo. Bedanya, orang Prancis demo sambil bergaya, baret di kepala, roti baguette di tangan, dan tetap sok artistik meski berhadapan dengan polisi antihuru-hara. Lanjut lagi ke Australia, di mana para demonstran berdebat dengan aksen “mate” sembari kangguru bingung kenapa manusia begitu suka ribut. Tak lama, benua Amerika Latin pun bergetar, Ekuador terbakar oleh tuntutan agar presidennya turun. Jalanan penuh teriakan, asap, dan bumbu salsa revolusi. Inggris? Oh, mereka pun bergabung. Demo di London bukan lagi soal cuaca yang selalu mendung, tapi soal siapa yang harus disalahkan karena ekonomi berantakan.
Kini, tetangga kecil Indonesia ikut terseret, Timor Leste. Dili, ibu kota yang biasanya tenang dengan 1,4 juta penduduk negeri itu, mendadak jadi panggung epik. Lebih dari 1.000 mahasiswa berbaris di depan Parlemen Nasional. Bukan menuntut iPhone baru, bukan minta kuota gratis, tapi protes karena para wakil rakyat ingin membeli 65 mobil mewah baru, SUV gagah seperti Toyota Prado. Harga total? US$ 4,2 juta. Di negeri di mana lebih dari 40% rakyat masih hidup di bawah garis kemiskinan, angka itu terasa seperti menaruh kaviar di meja makan sementara tetangga kelaparan.
Demo awalnya damai, penuh orasi, penuh idealisme. Namun, sebagaimana hukum fisika demo, energi potensial mahasiswa akhirnya berubah jadi energi kinetik. Batu melayang ke gedung parlemen, beberapa mobil rusak, dan polisi pun memuntahkan gas air mata. Empat orang mahasiswa harus dilarikan ke rumah sakit, tapi kisah mereka akan dikenang sebagai pionir demo abad ke-21.
Para pengamat politik di Dili bilang, ini bukan sekadar protes mobil dinas. Ini cermin frustrasi bangsa muda yang merasa dikhianati. Bayangkan, wak! UNICEF mencatat hampir 47% penduduk menghadapi malnutrisi, sementara elite politik sibuk memilih warna cat SUV. Ironi ini bahkan membuat filsuf jalanan berkomentar, “Mungkin demokrasi itu bukan soal kursi, tapi soal siapa yang kebagian jok kulit.”
Apakah demo di Timor Leste dipengaruhi demo Indonesia? Secara langsung tidak, tapi secara metafisik, iya. Indonesia telah lama menjadi eksportir budaya demo. Sama seperti dangdut, sate, dan TKI, ternyata semangat turun ke jalan pun ikut menyeberang batas negara. Demo telah menjadi semacam WhatsApp group global, tanpa admin, tanpa link invite, tapi semua orang bisa join.
Maka dunia hari ini sedang menggelar “Olimpiade Demo Internasional.” Siapa paling kreatif dengan spanduk, siapa paling awet berteriak tanpa suara habis, siapa paling nekat melawan gas air mata, semua berkompetisi. Dari Jakarta sampai Dili, dari Paris sampai Quito, dari Kathmandu sampai London. Semua orang sedang menulis bab baru peradaban, bab tentang manusia yang akhirnya sadar, satu-satunya bahasa universal bukanlah cinta, bukan pula perdamaian, melainkan demo.***

