𝐀𝐧𝐜𝐚𝐦𝐚𝐧 𝐍𝐲𝐚𝐭𝐚 𝐊𝐞𝐫𝐞𝐭𝐚𝐤𝐚𝐧 𝐀𝐒𝐄𝐀𝐍: 𝐃𝐢𝐧𝐚𝐦𝐢𝐤𝐚 𝐊𝐨𝐧𝐟𝐥𝐢𝐤, 𝐒𝐞𝐧𝐠𝐤𝐞𝐭𝐚, 𝐝𝐚𝐧 𝐏𝐞𝐫𝐞𝐛𝐮𝐭𝐚𝐧 𝐏𝐞𝐧𝐠𝐚𝐫𝐮𝐡

Breaking News
- Advertisement -

Oleh: Drs. Muhammad Bardansyah Ch.Cht

Mudanews.com-OPINI | Perhimpunan Bangsa-Bangsa Asia Tenggara (ASEAN) selama lebih dari lima dekade telah menjadi model regionalisme yang relatif stabil di tengah pergolakan geopolitik global.

Namun, di balik fasad integrasi dan kerja sama, terdapat dinamika konflik internal dan tekanan eksternal yang berpotensi meretakkan kohesi kawasan ini.

Sengketa perbatasan, kepentingan nasional yang bersaing, serta campur tangan kekuatan besar seperti Amerika Serikat, Tiongkok, dan Rusia menjadi tantangan nyata.

Tulisan ini membedah sejarah konflik negara-negara ASEAN, ancaman sengketa perbatasan, pengaruh geopolitik kekuatan besar, dan percikan permusuhan spesifik seperti Thailand-Kamboja yang memperjelas potensi keretakan ASEAN, termasuk perkembangan terbaru pada Juli 2025.

𝟏. 𝐒𝐞𝐣𝐚𝐫𝐚𝐡 𝐊𝐨𝐧𝐟𝐥𝐢𝐤 𝐍𝐞𝐠𝐚𝐫𝐚-𝐍𝐞𝐠𝐚𝐫𝐚 𝐀𝐒𝐄𝐀𝐍

Walau ASEAN terkenal sebagai kawasan dengan konflik bersenjata antarnegara yang minim, sejarahnya tidak sepenuhnya damai.

Beberapa konflik besar dan ketegangan historis mencerminkan rapuhnya relasi antaranggota:

– Konflik Malaysia-Filipina atas klaim Sabah masih menjadi isu sensitif. Filipina menegaskan klaim historisnya sejak zaman Kesultanan Sulu (Sales, 2017).

– Konflik perbatasan darat dan laut Thailand-Kamboja, terutama di sekitar kompleks Candi Preah Vihear, telah beberapa kali memicu bentrokan militer, terutama pada 2008–2011.

– Ketegangan Indonesia-Malaysia dalam isu Ambalat (perairan kaya minyak) serta sentimen nasionalisme akibat perbedaan klaim budaya seperti tari, batik, dan lagu rakyat.

Sebagaimana dijelaskan oleh Emmers (2003), ASEAN berhasil menciptakan “modifikasi dari 𝘣𝘢𝘭𝘢𝘯𝘤𝘦 𝘰𝘧 𝘱𝘰𝘸𝘦𝘳” yang lebih mengandalkan diplomasi dan konsensus, namun ini justru membuat konflik-konflik laten tidak benar-benar terselesaikan.

𝟐. 𝐀𝐧𝐜𝐚𝐦𝐚𝐧 𝐒𝐞𝐧𝐠𝐤𝐞𝐭𝐚 𝐏𝐞𝐫𝐛𝐚𝐭𝐚𝐬𝐚𝐧

ASEAN memiliki lebih dari 30 sengketa perbatasan aktif maupun dorman, termasuk perairan, darat, dan udara.

Menurut penelitian Thao (2012), sebagian besar perbatasan negara ASEAN tidak pernah dipetakan secara formal oleh penjajah kolonial, sehingga menimbulkan interpretasi yang berbeda.

Beberapa kasus mencolok:

– Vietnam-Kamboja: Perbatasan darat masih diperdebatkan, dengan tuduhan “pencaplokan diam-diam”.

– Laos-Thailand: Sengketa Sungai Mekong berkaitan dengan batas wilayah dan penggunaan sumber daya air.

– Indonesia-Timor Leste: Walau Timor Leste bukan anggota ASEAN, konflik batas darat dan maritim berdampak pada stabilitas regional.

Sengketa ini tidak hanya memunculkan ketegangan bilateral, tetapi juga membuka peluang intervensi pihak luar yang berkepentingan pada kontrol strategis wilayah Asia Tenggara.

𝟑. 𝐏𝐞𝐧𝐠𝐚𝐫𝐮𝐡 𝐆𝐞𝐨𝐩𝐨𝐥𝐢𝐭𝐢𝐤 𝐑𝐞𝐠𝐢𝐨𝐧𝐚𝐥: 𝐀𝐦𝐞𝐫𝐢𝐤𝐚 𝐒𝐞𝐫𝐢𝐤𝐚𝐭, 𝐓𝐢𝐨𝐧𝐠𝐤𝐨𝐤, 𝐝𝐚𝐧 𝐑𝐮𝐬𝐢𝐚

Asia Tenggara telah menjadi ajang kontestasi geopolitik tiga kekuatan besar:

𝐀. 𝐀𝐦𝐞𝐫𝐢𝐤𝐚 𝐒𝐞𝐫𝐢𝐤𝐚𝐭

Washington mengedepankan strategi Indo-Pasifik sebagai bagian dari upaya pembendungan terhadap ekspansi Tiongkok.

Melalui kemitraan seperti AUKUS dan Quad (meskipun ASEAN bukan anggota resmi), AS menekankan “𝘧𝘳𝘦𝘦𝘥𝘰𝘮 𝘰𝘧 𝘯𝘢𝘷𝘪𝘨𝘢𝘵𝘪𝘰𝘯” terutama di Laut China Selatan.

Hal ini memperkeruh situasi di antara negara-negara ASEAN yang memiliki klaim saling tumpang tindih.

𝐁. 𝐓𝐢𝐨𝐧𝐠𝐤𝐨𝐤

Tiongkok, sebagai mitra dagang utama sebagian besar negara ASEAN, menerapkan strategi “𝘥𝘪𝘷𝘪𝘥𝘦 𝘢𝘯𝘥 𝘳𝘶𝘭𝘦” (Leifer, 1996).

Melalui 𝘉𝘦𝘭𝘵 𝘢𝘯𝘥 𝘙𝘰𝘢𝘥 𝘐𝘯𝘪𝘵𝘪𝘢𝘵𝘪𝘷𝘦 (BRI), Tiongkok memperkuat pengaruhnya di Laos, Kamboja, dan Myanmar—negara yang cenderung mendukung Beijing dalam forum regional.

𝐂. 𝐑𝐮𝐬𝐢𝐚

Rusia lebih berperan sebagai aktor militer dan diplomatik sekunder. Namun, sejak invasi ke Ukraina dan memburuknya hubungan dengan Barat, Rusia berupaya memperluas pengaruhnya di ASEAN melalui penjualan senjata dan kerja sama energi—terutama kepada Vietnam dan Myanmar.

Ketegangan ini menciptakan “𝘦𝘹𝘵𝘦𝘳𝘯𝘢𝘭 𝘣𝘢𝘭𝘢𝘯𝘤𝘪𝘯𝘨” di antara anggota ASEAN, seperti dijelaskan dalam teori realisme struktural (Waltz, 1979), di mana negara kecil mencoba mempertahankan otonomi dengan beraliansi kepada kekuatan luar, meski dengan risiko memperlemah solidaritas regional.

4. 𝐏𝐞𝐫𝐜𝐢𝐤𝐚𝐧 𝐏𝐞𝐫𝐦𝐮𝐬𝐮𝐡𝐚𝐧: 𝐓𝐡𝐚𝐢𝐥𝐚𝐧𝐝 𝐯𝐬 𝐊𝐚𝐦𝐛𝐨𝐣𝐚

Konflik antara Thailand dan Kamboja atas kawasan Candi Preah Vihear merupakan simbol rapuhnya ASEAN dalam mencegah bentrokan bersenjata sesama anggotanya.

Meskipun Mahkamah Internasional (ICJ) memutuskan candi itu milik Kamboja pada 1962, kedua negara menafsirkan batas wilayahnya secara berbeda.

Ketegangan meningkat pada 2008–2011, dengan korban jiwa dari kedua pihak. Persoalan ini meluas karena disusupi narasi nasionalistik dan tekanan politik domestik di kedua negara.

𝐏𝐞𝐫𝐤𝐞𝐦𝐛𝐚𝐧𝐠𝐚𝐧 𝐓𝐞𝐫𝐤𝐢𝐧𝐢 (𝐉𝐮𝐥𝐢 𝟐𝟎𝟐𝟓):

Pada Juli 2025, ketegangan kembali memanas setelah insiden tembak-menembak di perbatasan dekat Preah Vihear.

Kedua pihak saling menuduh pelanggaran wilayah, dengan Kamboja melaporkan korban jiwa di pihaknya.

ASEAN gagal bertindak cepat untuk mediasi, memperlihatkan kelemahan mekanisme penyelesaian konfliknya.

Acharya (2011) menilai bahwa konflik ini memperlihatkan kegagalan norma “ASEAN Way” yang terlalu longgar dan tidak memiliki mekanisme sanksi yang tegas terhadap pelanggaran damai.

5. 𝐊𝐞𝐬𝐢𝐦𝐩𝐮𝐥𝐚𝐧: 𝐀𝐧𝐜𝐚𝐦𝐚𝐧 𝐊𝐞𝐫𝐞𝐭𝐚𝐤𝐚𝐧 𝐀𝐒𝐄𝐀𝐍 𝐍𝐲𝐚𝐭𝐚

Walau ASEAN telah mempertahankan stabilitas relatif selama puluhan tahun, ancaman keretakan kini lebih nyata dibanding sebelumnya.

Sengketa perbatasan yang tak terselesaikan, penetrasi pengaruh kekuatan besar, serta ketidakefektifan mekanisme penyelesaian konflik internal membuat ASEAN berada di persimpangan jalan.

Alih-alih memperkuat integrasi, negara-negara anggota sering kali lebih mementingkan kepentingan nasional dan beraliansi dengan kekuatan luar untuk keuntungan jangka pendek.

Bila tidak ada reformasi signifikan dalam struktur institusional ASEAN, seperti pembentukan mekanisme penyelesaian konflik yang mengikat dan peningkatan transparansi, maka “retakan-retakan kecil” ini bisa menjadi “jurang perpecahan besar”.

𝐃𝐚𝐟𝐭𝐚𝐫 𝐏𝐮𝐬𝐭𝐚𝐤𝐚

1. 𝘈𝘤𝘩𝘢𝘳𝘺𝘢, 𝘈. (2011). 𝘊𝘰𝘯𝘴𝘵𝘳𝘶𝘤𝘵𝘪𝘯𝘨 𝘢 𝘚𝘦𝘤𝘶𝘳𝘪𝘵𝘺 𝘊𝘰𝘮𝘮𝘶𝘯𝘪𝘵𝘺 𝘪𝘯 𝘚𝘰𝘶𝘵𝘩𝘦𝘢𝘴𝘵 𝘈𝘴𝘪𝘢: 𝘈𝘚𝘌𝘈𝘕 𝘢𝘯𝘥 𝘵𝘩𝘦 𝘗𝘳𝘰𝘣𝘭𝘦𝘮 𝘰𝘧 𝘙𝘦𝘨𝘪𝘰𝘯𝘢𝘭 𝘖𝘳𝘥𝘦𝘳. 𝘙𝘰𝘶𝘵𝘭𝘦𝘥𝘨𝘦.

2. 𝘌𝘮𝘮𝘦𝘳𝘴, 𝘙. (2003). 𝘊𝘰𝘰𝘱𝘦𝘳𝘢𝘵𝘪𝘷𝘦 𝘚𝘦𝘤𝘶𝘳𝘪𝘵𝘺 𝘢𝘯𝘥 𝘵𝘩𝘦 𝘉𝘢𝘭𝘢𝘯𝘤𝘦 𝘰𝘧 𝘗𝘰𝘸𝘦𝘳 𝘪𝘯 𝘈𝘚𝘌𝘈𝘕 𝘢𝘯𝘥 𝘵𝘩𝘦 𝘈𝘙𝘍. 𝘙𝘰𝘶𝘵𝘭𝘦𝘥𝘨𝘦.

3. 𝘓𝘦𝘪𝘧𝘦𝘳, 𝘔. (1996). 𝘛𝘩𝘦 𝘈𝘚𝘌𝘈𝘕 𝘙𝘦𝘨𝘪𝘰𝘯𝘢𝘭 𝘍𝘰𝘳𝘶𝘮: 𝘌𝘹𝘵𝘦𝘯𝘥𝘪𝘯𝘨 𝘈𝘚𝘌𝘈𝘕’𝘴 𝘔𝘰𝘥𝘦𝘭 𝘰𝘧 𝘙𝘦𝘨𝘪𝘰𝘯𝘢𝘭 𝘚𝘦𝘤𝘶𝘳𝘪𝘵𝘺. 𝘈𝘥𝘦𝘭𝘱𝘩𝘪 𝘗𝘢𝘱𝘦𝘳𝘴.

4. 𝘚𝘢𝘭𝘦𝘴, 𝘗. (2017). 𝘚𝘢𝘣𝘢𝘩 𝘊𝘭𝘢𝘪𝘮: 𝘉𝘦𝘵𝘸𝘦𝘦𝘯 𝘚𝘰𝘷𝘦𝘳𝘦𝘪𝘨𝘯𝘵𝘺 𝘢𝘯𝘥 𝘐𝘥𝘦𝘯𝘵𝘪𝘵𝘺. 𝘈𝘴𝘪𝘢𝘯 𝘑𝘰𝘶𝘳𝘯𝘢𝘭 𝘰𝘧 𝘗𝘰𝘭𝘪𝘵𝘪𝘤𝘢𝘭 𝘚𝘤𝘪𝘦𝘯𝘤𝘦, 25(2), 142–156.

5. 𝘛𝘩𝘢𝘰, 𝘕. 𝘏. (2012). 𝘛𝘩𝘦 𝘚𝘰𝘶𝘵𝘩 𝘊𝘩𝘪𝘯𝘢 𝘚𝘦𝘢 𝘋𝘪𝘴𝘱𝘶𝘵𝘦𝘴 𝘢𝘯𝘥 𝘵𝘩𝘦 𝘋𝘦𝘤𝘭𝘢𝘳𝘢𝘵𝘪𝘰𝘯 𝘰𝘯 𝘵𝘩𝘦 𝘊𝘰𝘯𝘥𝘶𝘤𝘵 𝘰𝘧 𝘗𝘢𝘳𝘵𝘪𝘦𝘴 (𝘋𝘖𝘊). 𝘖𝘤𝘦𝘢𝘯 𝘋𝘦𝘷𝘦𝘭𝘰𝘱𝘮𝘦𝘯𝘵 & 𝘐𝘯𝘵𝘦𝘳𝘯𝘢𝘵𝘪𝘰𝘯𝘢𝘭 𝘓𝘢𝘸, 43(3), 235–247.

6. 𝘞𝘢𝘭𝘵𝘻, 𝘒. (1979). 𝘛𝘩𝘦𝘰𝘳𝘺 𝘰𝘧 𝘐𝘯𝘵𝘦𝘳𝘯𝘢𝘵𝘪𝘰𝘯𝘢𝘭 𝘗𝘰𝘭𝘪𝘵𝘪𝘤𝘴. 𝘔𝘤𝘎𝘳𝘢𝘸-𝘏𝘪𝘭𝘭.

Penutup

Redaksi Mudanews menyajikan opini ini sebagai kontribusi pemikiran strategis dari Drs. Muhammad Bardansyah Ch, Cht, seorang pemerhati geopolitik Asia Tenggara yang aktif menyoroti isu-isu regional dan dinamika global yang berdampak langsung pada kawasan.

Tulisan ini bertujuan membuka ruang diskusi konstruktif mengenai arah masa depan ASEAN di tengah meningkatnya ketegangan geopolitik. Segala isi tulisan menjadi tanggung jawab penulis

🖊️ Editor: [Tim] – Mudanews

Berita Terkini