Jika Taiwan Jadi Target, Apakah Indonesia Siap?

Breaking News
- Advertisement -

Mudanews.com-Opini | Dunia sedang berubah. Perang tak lagi selalu berbunyi ledakan atau dentuman meriam. Di era digital, satu klik bisa melumpuhkan sistem, satu email palsu bisa mencuri rahasia industri bernilai miliaran dolar. Dan dalam diam, Taiwan kini menjadi medan tempur paling berbahaya di dunia siber.

Baru-baru ini, perusahaan keamanan siber Proofpoint merilis laporan yang menyebut adanya serangkaian serangan peretasan dari aktor yang diduga terafiliasi dengan negara China. Targetnya jelas: industri semikonduktor Taiwan, analis keuangan global, dan institusi yang menjadi bagian dari ekosistem teknologi tingkat tinggi. Serangan ini bukan sesaat. Dimulai sejak Maret dan masih berlangsung hingga Juni 2025, dan diyakini terus berlanjut hingga hari ini.

Yang lebih mengkhawatirkan, pelaku tak hanya menggunakan malware atau alat teknis canggih. Mereka menyamar sebagai pencari kerja, mengirim email dari akun universitas Taiwan yang telah diretas. Serangan sosial semacam ini – dikenal sebagai social engineering – sangat sulit dideteksi. Bahkan bagi institusi besar sekalipun.

Taiwan memang bukan target sembarangan. Negara ini menjadi pusat industri semikonduktor dunia, rumah bagi TSMC (Taiwan Semiconductor Manufacturing Company) yang memproduksi chip untuk hampir semua perangkat elektronik masa kini: dari ponsel, kendaraan, hingga kecerdasan buatan. Di tengah pembatasan ekspor chip rancangan AS ke China, Taiwan menjadi aset sekaligus sasaran paling strategis.

Namun yang menarik, konflik ini bukan semata pertarungan dua negara. Dunia pun ikut terguncang. Pasar global resah, kebijakan perdagangan berubah-ubah, dan arsitektur teknologi dunia mulai bergeser ke arah baru: penguatan pertahanan digital.

Lalu, di mana posisi Indonesia dalam pusaran ini?

Indonesia bukan Taiwan, tapi bukan berarti aman. Justru kita semakin bergantung pada sistem digital: pelayanan publik, e-government, fintech, e-commerce, hingga sistem pertahanan. Kelemahan satu saja bisa membuka celah besar. Dan sayangnya, kita belum benar-benar siap.

Serangan siber di Indonesia meningkat tiap tahun. Dari peretasan data pemilih, serangan ransomware ke RS, hingga insiden bocornya data dari instansi pemerintahan dan swasta. Namun responsnya masih cenderung reaktif, bukan preventif. Sementara di sisi lain, sumber daya pertahanan siber kita belum sebanding dengan luasnya permukaan serangan yang mungkin terjadi.

Pertanyaannya: apakah kita belajar dari yang terjadi di Taiwan?

Pemerintah memang sudah membentuk BSSN (Badan Siber dan Sandi Negara), tapi sejauh ini masih lebih banyak bergerak sebagai regulator dan reaktif pasca kejadian. Dunia usaha juga masih banyak yang menganggap keamanan siber hanya sebagai biaya, bukan investasi jangka panjang.

Padahal, jika satu ekosistem digital roboh – misalnya perbankan digital, sistem transportasi, atau server pemilu – maka kerugiannya bisa jauh lebih besar dibanding gempuran fisik.

Apa yang terjadi di Taiwan seharusnya menjadi panggilan keras. Negara itu sudah sangat maju secara teknologi, memiliki sistem pertahanan siber berlapis, namun tetap bisa ditembus. Maka, Indonesia yang masih dalam proses membangun sistem digital seharusnya tak menunggu jadi korban.

Ketika dunia siber jadi ladang pertempuran baru, maka kekuatan bukan hanya soal siapa punya rudal paling besar. Tapi siapa yang bisa menjaga sistem, mendeteksi ancaman sejak dini, dan membangun kesadaran digital dari hulu ke hilir.

Dan pertanyaannya masih berlaku:
Jika Taiwan yang begitu kuat saja bisa ditembus, apakah Indonesia siap?.

🖊️ Editor: [tz] – Mudanews.com
📄 sumber CNBC Indonesia, Reuters,   dan Proofpoint.

Berita Terkini