Mudanews.com OPINI – Republik Nauru, sebuah negara berpopulasi 12 ribu orang di Oseania, dekat Australia, dulu dikenal sebagai negara pulau yang sangat kaya dan pernah menjadi salah satu negara bagian per kapita terkaya di dunia dari hasil tambang fosfat, komponen kunci pada industri pupuk.
Permintaan fosfat dunia naik drastis setelah Perang Dunia ke-2 untuk mengatasi krisis pangan karena bertambahnya populasi, akhirnya Nauru melakukan eksplotasi fosfat.
Pada tahun 1975, Nauru berhasil mendapatkan penghasilan sebesar $2,5 miliar (+/-Rp.41 triliun) dan Nauru meraih pendapatan per kapita tertinggi di dunia pada awal 1980an. Dan hal ini membuat Nauru tidak memungut pajak dari warganya, serta banyak membangun fasilitas gratis – transportasi, pendidikan, kesehatan, dan perumahan – bagi warganya.
Di sisi lain, dampak penambangan fosfat besar-besaran mulai dirasakan Nauru. Lahan yang sangat subur beralih menjadi lahan yang sangat kering, tidak produktif, dan menjadi lahan gersang dengan dikelilingi oleh lubang menganga besar.
Pada akhirnya, Nauru hanya dapat memiliki pemasukan dari pinjaman pemerintah Australia. Sampai 2002, Nauru tidak dapat membayar utang sebesar $239 juta (+/-Rp.4 triliun). Dan sebagai gantinya, aset Nauru digadaikan dan disita oleh Australia, yang mencakup pesawat dan bandara, sehingga Bank Sentral Nauru mengalami likuidasi.
Kini Nauru menjadi salah satu negara termiskin di dunia, dan tergantung pada bantuan Australia yang setiap tahunnya mencapai sekitar $176 jta (+/-Rp.2,86 triliun).
“Seseorang yang tidak belajar dari sejarah, akan dikutuk untuk mengulanginya” – George Santayana, filsuf Spanyol (1863-1952).
Penulis : Yuliarti, aktifis tinggal di Jerman