𝗞𝗲𝗰𝗲𝗻𝗱𝗲𝗿𝘂𝗻𝗴𝗮𝗻 𝗪𝗮𝗿𝗴𝗮 𝗡𝗲𝗴𝗮𝗿𝗮 𝗗𝘂𝗻𝗶𝗮 𝗞𝗲𝘁𝗶𝗴𝗮 𝗱𝗮𝗹𝗮𝗺 𝗠𝗲𝗻𝘆𝗲𝗯𝗮𝗿𝗸𝗮𝗻 𝗛𝗼𝗮𝘅 𝗱𝗮𝗻 𝗡𝗮𝗿𝗮𝘀𝗶 𝗙𝗶𝗸𝘁𝗶𝗳

Breaking News

- Advertisement -

Oleh : Drs. Muhammad Bardansyah. Ch.Cht

Mudanews.com-OPINI | Di era digital, penyebaran hoax dan narasi fiktif menjadi fenomena yang mengkhawatirkan, terutama di negara-negara dunia ketiga.

Masyarakat di wilayah ini sering kali menunjukkan kecenderungan kuat untuk mengarang cerita, mempercayai informasi palsu, dan bahkan terlibat aktif dalam memproduksi konten hoax.

Fenomena ini tidak hanya mencerminkan kegagalan literasi digital, tetapi juga menunjukkan adanya kebutuhan psikologis yang tidak terpenuhi.

𝐊𝐞𝐛𝐮𝐭𝐮𝐡𝐚𝐧 𝐏𝐬𝐢𝐤𝐨𝐥𝐨𝐠𝐢𝐬 𝐲𝐚𝐧𝐠 𝐌𝐞𝐧𝐝𝐚𝐬𝐚𝐫𝐢 𝐏𝐞𝐫𝐢𝐥𝐚𝐤𝐮 𝐈𝐧𝐢
Menurut Teori 𝙏𝙚𝙤𝙧𝙞 𝙆𝙚𝙗𝙪𝙩𝙪𝙝𝙖𝙣 𝙋𝙨𝙞𝙠𝙤𝙡𝙤𝙜𝙞𝙨 (𝘿𝙚𝙘𝙞 & 𝙍𝙮𝙖𝙣, 2000), manusia memiliki tiga kebutuhan dasar: kompetensi, otonomi, dan keterhubungan (relatedness).

Di negara-negara dengan ketidakstabilan politik, ekonomi, dan sosial, masyarakat sering kali merasa tidak berdaya ((𝒍𝒂𝒄𝒌 𝒐𝒇 𝒄𝒐𝒎𝒑𝒆𝒕𝒆𝒏𝒄𝒆), tidak memiliki kontrol (𝒍𝒂𝒄𝒌 𝒐𝒇 𝒂𝒖𝒕𝒐𝒏𝒐𝒎𝒚), dan terisolasi secara sosial (𝒍𝒂𝒄𝒌 𝒐𝒇 𝒓𝒆𝒍𝒂𝒕𝒆𝒅𝒏𝒆𝒔𝒔) sehingga :

1. 𝗞𝗲𝗯𝘂𝘁𝘂𝗵𝗮𝗻 𝗮𝗸𝗮𝗻 𝗣𝗲𝗻𝗴𝗮𝗸𝘂𝗮𝗻 (𝗡𝗲𝗲𝗱 𝗳𝗼𝗿 𝗥𝗲𝗰𝗼𝗴𝗻𝗶𝘁𝗶𝗼𝗻) – Dalam situasi di mana suara mereka tidak didengar oleh pemerintah atau media arus utama, menciptakan atau menyebarkan narasi sensasional memberikan mereka rasa penting dan pengaruh.

2. 𝗘𝘀𝗸𝗮𝗽𝗶𝘀𝗺𝗲 (𝗘𝘀𝗰𝗮𝗽𝗶𝘀𝗺)– Hoax dan cerita fiktif menjadi pelarian dari realitas yang sulit, seperti kemiskinan atau ketidakadilan.

3. 𝗥𝗮𝘀𝗮 𝗕𝗲𝗿𝗸𝗲𝗹𝗼𝗺𝗽𝗼𝗸 (𝗜𝗻-𝗴𝗿𝗼𝘂𝗽 𝗕𝗲𝗹𝗼𝗻𝗴𝗶𝗻𝗴) – Menyebarkan hoax yang sesuai dengan keyakinan kelompok memperkuat identitas sosial dan solidaritas, meskipun informasi tersebut salah.

𝙏𝙚𝙤𝙧𝙞 𝙐𝙨𝙚𝙨 𝙖𝙣𝙙 𝙂𝙧𝙖𝙩𝙞𝙛𝙞𝙘𝙖𝙩𝙞𝙤𝙣𝙨 (𝙆𝙖𝙩𝙯 𝙚𝙩 𝙖𝙡., 1973) juga menjelaskan bahwa orang mengonsumsi dan menyebarkan hoax karena memberikan kepuasan emosional, seperti sensasi, hiburan, atau bahkan pembenaran atas prasangka mereka.

𝗕𝗮𝗵𝗮𝘆𝗮 𝘆𝗮𝗻𝗴 𝘁𝗶𝗱𝗮𝗸 𝗱𝗶 𝘀𝗮𝗱𝗮𝗿𝗶
Kecenderungan ini sangat berbahaya karena:
1. 𝐏𝐨𝐥𝐚𝐫𝐢𝐬𝐚𝐬𝐢 𝐒𝐨𝐬𝐢𝐚𝐥– Misalnya, ketika ada berita palsu tentang konflik India-Pakistan, alih-alih fokus pada bahaya perang nuklir, masyarakat justru terpecah menjadi kubu pro-India vs pro-Pakistan, memperdalam permusuhan tanpa dasar fakta.
2. 𝐌𝐞𝐦𝐢𝐜𝐮 𝐊𝐞𝐤𝐞𝐫𝐚𝐬𝐚𝐧 – Contoh lain adalah hoax tentang penculikan anak atau kelompok tertentu yang memicu lynching massal, seperti kasus di India dan beberapa negara Afrika.

3. 𝐌𝐞𝐥𝐞𝐦𝐚𝐡𝐤𝐚𝐧 𝐃𝐞𝐦𝐨𝐤𝐫𝐚𝐬𝐢 Hoax politik digunakan untuk memanipulasi opini publik, seperti narasi palsu tentang calon pemimpin yang dianggap antek asing.

𝗖𝗼𝗻𝘁𝗼𝗵 𝗞𝗮𝘀𝘂𝘀
𝗛𝗼𝗮𝘅 𝗣𝗲𝗿𝗮𝗻𝗴 𝗜𝗻𝗱𝗶𝗮-𝗣𝗮𝗸𝗶𝘀𝘁𝗮𝗻 – Banyak netizen di Indonesia dan Bangladesh membuat meme, narasi palsu tentang “kemenangan” salah satu negara, tanpa memahami risiko konflik nuklir yang mengancam regional Asia Selatan.

𝗞𝗼𝗻𝘀𝗽𝗶𝗿𝗮𝘀𝗶 𝗖𝗢𝗩𝗜𝗗-𝟭𝟵 Di Filipina dan Brasil, hoax tentang vaksin mengandung microchip menyebar luas, menghambat program vaksinasi.

𝗡𝗮𝗿𝗮𝘀𝗶 𝗔𝗴𝗮𝗺𝗮 & 𝗘𝘁𝗻𝗶𝘀– Di Myanmar, hoax tentang minoritas Rohingya memicu kekerasan massal.

𝗦𝗼𝗹𝘂𝘀𝗶 𝗱𝗮𝗻 𝗥𝗲𝗸𝗼𝗺𝗲𝗻𝗱𝗮𝘀𝗶
𝗣𝗲𝗻𝗱𝗶𝗱𝗶𝗸𝗮𝗻 𝗟𝗶𝘁𝗲𝗿𝗮𝘀𝗶 𝗠𝗲𝗱𝗶𝗮– Meningkatkan kemampuan kritis dalam menilai informasi.

𝐏𝐞𝐦𝐞𝐧𝐮𝐡𝐚𝐧 𝐊𝐞𝐛𝐮𝐭𝐮𝐡𝐚𝐧 𝐏𝐬𝐢𝐤𝐨𝐥𝐨𝐠𝐢𝐬 – Memberikan ruang partisipasi politik dan ekonomi yang lebih inklusif.

𝗥𝗲𝗴𝘂𝗹𝗮𝘀𝗶 𝗣𝗹𝗮𝘁𝗳𝗼𝗿𝗺 𝗗𝗶𝗴𝗶𝘁𝗮𝗹 Sosialisasi bahaya hoax dan penegakan hukum atas penyebaran disinformasi.

𝗞𝗲𝘀𝗶𝗺𝗽𝘂𝗹𝗮𝗻
Kecenderungan menyebarkan hoax bukan sekadar masalah ketidaktahuan, melainkan gejala dari ketidakpuasan psikologis dan sosial.

Tanpa intervensi yang tepat, hal ini akan terus menggerus kohesi sosial dan stabilitas negara-negara berkembang.

Dalam konteks Indonesia, kita melihat masyarakat sangat rentan akan gejala ini. Hal ini diperparahkan dengan rendahnya tingkat literasi di negeri ini .

Tingginya tekanan kehidupan berupa beratnya tekanan ekonomi juga menyebabkan banyak orang mencari hiburan tanpa menyadari bahwa mereka menjadi terpolarisasi dan dalam jangka Panjang ini buruk bagi persatuan dan kesatuan Bangsa.

Mencermati kondisi ini , kita berharap negara hadir dengan meluncurkan regulasi terhadap konten-konten yang menyesatkan serta merancang system Pendidikan yang bisa mengantisipasi masalah ini.**()

𝗥𝗲𝗳𝗲𝗿𝗲𝗻𝘀𝗶
1. Deci, E. L., & Ryan, R. M. (2000). The “What” and “Why” of Goal Pursuits: Human Needs and the Self-Determination of Behavior. 𝐏𝐬𝐲𝐜𝐡𝐨𝐥𝐨𝐠𝐢𝐜𝐚𝐥 𝐈𝐧𝐪𝐮𝐢𝐫𝐲, 𝟏𝟏(𝟒), 𝟐𝟐𝟕–𝟐𝟔𝟖.
2. Katz, E., Blumler, J. G., & Gurevitch, M. (1973). Uses and Gratifications Research. 𝐏𝐮𝐛𝐥𝐢𝐜 𝐎𝐩𝐢𝐧𝐢𝐨𝐧 𝐐𝐮𝐚𝐫𝐭𝐞𝐫𝐥𝐲, 𝟑𝟕(𝟒), 𝟓𝟎𝟗–𝟓𝟐𝟑.
3. Lewandowsky, S., Ecker, U. K. H., & Cook, J. (2017). Beyond Misinformation: Understanding and Coping with the “Post-Truth” Era. 𝐉𝐨𝐮𝐫𝐧𝐚𝐥 𝐨𝐟 𝐀𝐩𝐩𝐥𝐢𝐞𝐝 𝐑𝐞𝐬𝐞𝐚𝐫𝐜𝐡 𝐢𝐧 𝐌𝐞𝐦𝐨𝐫𝐲 𝐚𝐧𝐝 𝐂𝐨𝐠𝐧𝐢𝐭𝐢𝐨𝐧, 𝟔.(4), 353–369.

Berita Terkini