Mudanews.com-Mandalay, Myanmar | Kota Mandalay yang dahulu dikenal sebagai “Kota Emas” kini berubah menjadi lautan duka. Bau menyengat dari mayat yang membusuk menyelimuti Mandalay, bekas ibu kota kerajaan Myanmar, setelah gempa berkekuatan 7,7 magnitudo mengguncang pada Jumat lalu. Ratusan jenazah harus dikremasi massal karena jumlah korban terus bertambah dan fasilitas pemakaman kewalahan.
Menurut laporan BBC, korban tewas akibat gempa ini telah melebihi 2.700 jiwa, sementara lebih dari 4.500 lainnya mengalami luka-luka. Ratusan orang masih dinyatakan hilang, dan angka ini diperkirakan terus meningkat seiring proses evakuasi yang masih berlangsung. Seorang warga, yang hanya ingin dikenal sebagai J, mengisahkan bagaimana jenazah bibinya baru berhasil ditemukan dua hari setelah gempa mengguncang.
“Banyak jenazah yang tidak bisa segera dievakuasi. Mereka dibiarkan tertimbun reruntuhan selama berhari-hari, hingga bau kematian menyelimuti udara,” ungkap J kepada BBC, seorang mahasiswa berusia 23 tahun di Mandalay.
Situasi semakin buruk dengan terhambatnya bantuan. Infrastruktur yang buruk serta konflik bersenjata yang masih berkecamuk membuat distribusi bantuan menjadi tantangan besar. BBC melaporkan bahwa meskipun berbagai negara telah mengirimkan tim penyelamat dan bantuan, banyak korban masih belum tersentuh pertolongan. Para penyintas terpaksa tidur di jalanan tanpa makanan dan air bersih yang cukup.
“Saya melihat banyak orang menangis putus asa di jalanan, termasuk diri saya sendiri,” kata J kepada BBC. Banyak warga takut untuk kembali ke rumah mereka yang telah rusak, khawatir gempa susulan akan meruntuhkan bangunan yang tersisa.
Tim penyelamat terus bekerja keras, namun jumlah korban yang tertimbun reruntuhan membuat mereka kewalahan. Pemadam kebakaran setempat melaporkan telah menyelamatkan 403 orang dalam empat hari terakhir, tetapi mereka juga menemukan 259 mayat. Pihak militer Myanmar memperkirakan jumlah korban tewas bisa melampaui 3.000 jiwa, sementara Badan Geologi AS (USGS) bahkan memperkirakan angka bisa mencapai lebih dari 10.000 jiwa berdasarkan lokasi dan skala bencana.
Seorang pendeta di Mandalay, Ruate, mengungkapkan kepada BBC betapa traumatisnya bencana ini bagi anak-anak. Putranya yang berusia delapan tahun kerap menangis ketakutan setelah melihat lingkungannya runtuh dalam sekejap. “Kemarin kami melihat sendiri jenazah diangkat dari puing-puing bangunan yang runtuh di dekat rumah kami,” ujarnya.
Sementara itu, seorang biksu yang tinggal dekat Sky Villa, gedung apartemen yang runtuh dari 12 lantai menjadi hanya enam lantai, mengatakan kepada BBC bahwa selama 24 jam terakhir hanya jenazah yang berhasil dievakuasi. “Saya harap ini segera berakhir. Masih banyak jenazah di dalam reruntuhan, mungkin lebih dari seratus,” katanya.
Bantuan yang masuk pun masih terbatas. Beberapa rumah kremasi di sekitar Mandalay telah kewalahan, bahkan stok kantong jenazah mulai habis. Sumber daya seperti makanan dan air bersih juga semakin menipis. Sementara itu, BBC melaporkan bahwa militer Myanmar yang masih berkuasa pasca kudeta 2021 menghadapi tekanan internasional untuk tidak menghalangi distribusi bantuan. Beberapa laporan menyebut adanya hambatan bagi organisasi kemanusiaan yang ingin mengakses daerah terdampak gempa.
Organisasi hak asasi manusia seperti Human Rights Watch dan Amnesty International telah mendesak junta militer untuk segera membuka akses bagi bantuan kemanusiaan. “Militer Myanmar harus memastikan bahwa bantuan segera mencapai korban gempa, bukan malah memperlambatnya dengan birokrasi yang tidak perlu,” kata Bryony Lau, Wakil Direktur Human Rights Watch untuk Asia, dikutip oleh BBC.
Di tengah kehancuran ini, ketegangan politik masih membara. BBC melaporkan bahwa militer Myanmar bahkan dituduh masih melakukan serangan terhadap desa-desa yang dikuasai kelompok pemberontak, meskipun negara sedang dalam kondisi darurat akibat bencana. Komandan Pasukan Pertahanan Rakyat (PDF), Min Naing, menyatakan pasukannya memilih tidak melawan untuk menghormati gencatan senjata yang diumumkan oleh pemerintahan oposisi.
Mandalay yang dahulu menjadi pusat wisata dan industri emas kini berubah menjadi kota yang penuh duka. Dengan ribuan nyawa melayang dan harapan yang kian menipis, warga hanya bisa berharap agar jeritan dari reruntuhan ini segera mendapat jawaban dalam bentuk bantuan yang lebih cepat dan efektif.**(RED)