Berpuas Diri dan Lengah, Kini Taiwan Panik dan Alami Dilema

Breaking News

- Advertisement -
- Advertisement -
- Advertisement -
- Advertisement -

MUDANEWS.COM – Taiwan adalah salah satu negara pertama yang melarang kunjungan orang asing tidak lama setelah China melaporkan munculnya virus – dan pembatasan ketat di perbatasan masih berlaku di negara itu. Namun di tingkat lokal, masyaralat mulai berpuas diri – seperti yang dilakukan oleh pemerintah Taiwan. Berbagai rumah sakit telah menghentikan tes agresif bagi warga terkait Covid, bahkan bagi mereka yang mengalami demam – gejala umum virus, menurut Associate Professor Lin Hsien-ho dari National Taiwan University.

Menurut publikasi online Our World in Data, Taiwan hanya melakukan 0,57 tes virus per 1.000 orang pada pertengahan Februari – bandingkan dengan Singapura yang melakukan 6,21 tes dan Inggris 8,68 pada sekitar periode yang sama. “Ada asumsi umum, bahkan bagi orang yang menunjukkan gejala, tidak mungkin terpapar Covid-19,” kata Dr Lin kepada BBC, seraya menambahkan bahwa hal itu berasal dari keyakinan virus tak bakal dapat menembus perbatasan Taiwan yang kuat.

“Dokter-dokter tidak menganggapnya serius, rumah sakit tidak waspada, mereka tidak melakukan banyak pelacakan kontak. Jelas ada rasa puas diri. “Sorotan utama ketika Taiwan melonggarkan persyaratan karantina bagi para pilot maskapai penerbangan yang belum divaksinasi yang semula 14 hari menjadi lima hari – dan kemudian, hanya tiga hari. Tak lama kemudian, muncul ledakan klaster baru terkait kehadiran pilot-pilot China Airlines yang pernah menginap di Novotel di dekat Bandara Taoyuan.

Banyak dari mereka yang terkait dengan klaster ini kemudian ditemukan terpapar varian Inggris, yang dikenal sebagai B117. Virus tersebut kemudian menyebar ke seluruh komunitas, dan akhirnya menyebar ke “tea houses” Taiwan – tempat hiburan orang-orang dewasa. “Masyarakat bernyanyi, minum, acap melakukan kontak dalam ruangan tanpa pengaturan ventilasi. Ini bukan hanya di satu kedai teh, tetapi juga banyak di kedai lainnya di jalan yang sama – ini adalah acara penyebaran super besar,” kata Dr Lin.

Profesor Chen Chien-jen, epidemiologi dan mantan Wakil Presiden Taiwan, mengatakan fakta bahwa banyak orang yang dites positif tidak mau menyatakan mereka telah mengunjungi tempat hiburan dewasa seperti itu membuat pelacakan kontak menjadi lebih sulit. “Ini hanya mengingatkan kita bahwa bahkan ketika sebagian kecil populasi melanggar aturan, itu akan menyebabkan kebocoran,” kata Dr Chen.

Dia juga menambahkan bahwa Taiwan gagal belajar dari kasus industri hiburan bagi orang-orang dewasa di Jepang – yang pada satu titik juga merupakan sarang infeksi – sebelum diperintahkan untuk ditutup. “Kami tidak belajar dari Jepang dan merefleksikan bahwa Taiwan mungkin memiliki masalah yang sama,” katanya. Menurut Associate Professor Alex Cook dari National University of Singapore (NUS), situasi Taiwan merupakan “cerminan dari risiko konstan dari strategi yang terlalu menekankan pada kontrol perbatasan dan tidak cukup melakukan tindakan untuk mencegah penyebaran di dalam negara”.

Kini, negara kecil itu menghadapi dilema. Antara mendahulukan persoalan nyawa rakyat atau soal politik? Dilema itu baru muncul pada pertengahan bulan ini, saat Taiwan sudah mencatat kasus penularan sebanyak 1.500 dan 12 penderita meninggal. Sejak itu, kasusnya mulai meningkat tajam. Hari Kamis kemarin saja (27/05), sebanyak 13 penderita meninggal dunia. Masalahnya, baru sedikit warga Taiwan yang terlindung dari Covid.

Hingga pekan ini, Taiwan baru menerima 700.000 dosis vaksin. Artinya, baru 1% dari total populasi sebanyak 23 juta yang sudah disuntik. Dalam memerangi lonjakan kasus, pihak berwenang di Taiwan memutuskan perlu lebih banyak vaksin, dan harus ada secepatnya. Pada Selasa (25/05), Menteri Kesehatan Chen Shih-chung mengatakan bahwa dua juta dosis akan tiba pada Juni, dan 10 juta lagi di akhir Agustus.

“Taiwan tengah memperluas vaksinasi, dosis-dosis vaksin impor terus didatangkan,” cuit Presiden Taiwan, Tsai Ing-wen, di Twitter. Sebenarnya pulau itu tidak perlu jauh-jauh minta bantuan. Sejumlah juru bicara pemerintah di Beijing sudah menegaskan bahwa China bersedia mengirim vaksin ke Taiwan bila diperlukan. Namun, menerima bantuan tersebut merupakan keputusan yang sulit bagi Taiwan karena China merupakan seteru politik.

Sejak lama para pemimpin Taiwan menyatakan wilayah mereka adalah negara yang berdaulat dan ini selalu ditolak China. Beijing tetap berkukuh bahwa Taiwan merupakan bagian dari wilayahnya dan harus dipersatukan dengan China daratan. Profesor Steve Tsang, pengamat dari School of Oriental and African Studies di London, memaparkan dilema Taiwan itu. Bila Taiwan menerima bantuan vaksin, tampaknya Beijing akan dianggap lebih mampu menyelamatkan rakyat Taiwan ketimbang pemerintah mereka sendiri di tengah pandemi.

Sedangkan bila menolak bantuan, Taipei akan dianggap tidak peduli dengan kesehatan rakyat sendiri. Dengan demikian, “Taiwan pada akhirnya bisa dipandang buruk,” kata Tsang. Apalagi muncul tekanan bagi Presiden Tsai untuk menerima tawaran bantuan dari China. Sementara itu dari sebuah sumber terlihat video rakyat Taiwan harus berkerumun, berdesakan dan berebut untuk mendapatkan vaksin. Terbukti, negara yang awalnya dipuji sangat baik menghadapi pandemi, nyatanya kini Indonesia masih lebih baik ketimbang Taiwan.

Oleh : Agung Wibawanto

- Advertisement -

Berita Terkini