Menteri Turki Ditolak Masuk Austria

Breaking News

- Advertisement -
- Advertisement -
- Advertisement -
- Advertisement -

MUDANEWS.COM, Austria – Austria melarang Menteri Perekonomian Turki Nihat Zeybekci memasuki negara tersebut. Alasannya, diplomat tinggi tersebut hendak menghadiri sebuah acara perayaan mengenai kudeta terhadap pemerintahan Recep Tayyip Erdogan pada tahun lalu.

Jurubicara Kementerian Luar Negeri Austria mengatakan acara besar tersebut merupakan bahaya bagi ketertiban umum dan keamanan Austria.

“Saya dapat mengonfirmasi bahwa Menlu Austria Sebastian Kurz telah melarang Menlu Turki untuk memasuki negara ini,” tutur jubir Kemlu Austria tersebut, Senin (10/7).

Langkah serupa juga turut diambil Belanda. Pada Jumat pekan lalu, Belanda melarang masuk Wakil Perdana Menteri Turki Tugrul Turkes untuk mengunjungi upacara peringatan kegagalan kudeta antara kalangan ekspatriat negaranya.

Di Jerman, Presiden Recep Tayyip Erdogan pun mengeluh karena tak diizinkan bertemu dengan warga Turki saat menghadiri rangkaian KTT G-20 di Hamburg, Jerman, pada 7-8 Juli lalu.

Melansir Reuters, Erdogan menganggap perlakukan pemerintah Jerman tersebut sebagai “tindakan bunuh diri.”

Austria menjadi salah satu negara Uni Eropa paling vokal yang kerap mengkritik pemerintahan Turki sejak kudeta gagal oleh militer terjadi pada Juli lalu.

Wina pun berulang kali mendesak perundingan keanggotaan Turki di Uni Eropa untuk dihentikan.

Kudeta gagal itu menewaskan 240 orang. Sejak kejadian itu, lebih dari 50 ribu orang di Turki menjadi incaran lantaran diduga terlibat upaya penggulingan pemerintahan.

Sekitar 150 ribu orang yang terdiri dari ribuan tentara, polisi, jajaran peradilan, praktisi pendidikan, badan intelijen, serta otoritas keagamaan pun dipecat dari pekerjaan mereka.

Langkah Wina dan Den Haag baru-baru ini pun seakan mengembalikan ketegangan hubungan kedua negara dengan Ankara.

Pada Maret lalu, hubungan antar Jerman-Turki dan Belanda-Turki pun sempat memanas lantaran kedua negara Eropa tersebut menolak masuk pejabat tinggi pemerintahan Presiden Erdogan yang ingin menghadiri suatu kampanye, sebelum referendum konstitusi Turki 16 April lalu berlangsung.

Referendum tersebut menyebabkan Erdogan memiliki kewenangan yang lebih besar lagi dan disebut sejumlah pengamat sebagai upaya menjadikan Turki negara otoriter.

 

- Advertisement -

Berita Terkini