Oleh : Suratmin Wartawan Mudanews.com
Mudanews.com OPINI – Pertumbuhan rumah sakit di Indonesia terus menunjukkan tren meningkat. Di berbagai daerah, fasilitas layanan kesehatan baru bermunculan, baik milik pemerintah maupun swasta. Secara kasat mata, kondisi ini mencerminkan kemajuan sektor kesehatan nasional.
Namun di balik pertumbuhan tersebut, tersimpan persoalan yang jarang mendapat perhatian publik. Bertambahnya jumlah rumah sakit tidak selalu diiringi dengan kesiapan sistem hukum kesehatan, khususnya dalam menghadapi sengketa medis atau kasus medikolegal.
Padahal, semakin kompleks layanan kesehatan, semakin besar pula potensi konflik antara pasien, tenaga medis, dan rumah sakit.
Regulasi Bertambah, Pemahaman Hukum Tertinggal
Hukum kesehatan mengatur berbagai aspek penting dalam pelayanan kesehatan. Mulai dari hak dan kewajiban pasien, tanggung jawab dokter dan tenaga kesehatan, peran rumah sakit, hingga sanksi administratif maupun pidana.
Namun dalam praktiknya, pemahaman terhadap hukum kesehatan masih menjadi persoalan. Banyak tenaga medis baru menyadari pentingnya aspek hukum ketika masalah sudah terjadi.
Ketua Bidang III Pengurus PERHATI-KL Pusat 2022–2028 yang membawahi Badan Hukum dan Pembelaan Anggota (BHP2A), Anton Christanto, menyebut perkembangan regulasi kesehatan di Indonesia berjalan sangat cepat, sementara pendampingan hukum belum merata.
“Regulasi di bidang kesehatan berkembang pesat. Sayangnya, pemahaman dan kesiapan pendampingan hukum belum sejalan dengan kompleksitas persoalan yang dihadapi dokter di lapangan,” ujar Anton.
Risiko Medikolegal Dokter THT-BKL
Dokter spesialis Telinga Hidung Tenggorok Bedah Kepala Leher (THT-BKL) termasuk kelompok tenaga medis dengan risiko medikolegal yang cukup tinggi. Tindakan medis di bidang ini sering melibatkan prosedur invasif dan memiliki potensi komplikasi, meskipun telah dilakukan sesuai standar profesi.
Dalam beberapa tahun terakhir, PERHATI-KL mencatat adanya peningkatan laporan kasus medikolegal yang melibatkan dokter THT-BKL di berbagai daerah. Bentuknya beragam, mulai dari pemanggilan klarifikasi, pengaduan ke rumah sakit, hingga proses hukum perdata dan pidana.
Tidak jarang, persoalan bermula dari perbedaan persepsi antara pasien dan dokter, komunikasi yang kurang efektif, atau ekspektasi pasien yang tidak sesuai dengan realitas medis.
Rumah Sakit Banyak, Pendampingan Medikolegal Terbatas
Saat ini, Indonesia memiliki lebih dari tiga ribu rumah sakit. Namun jumlah praktisi hukum yang memiliki pemahaman mendalam tentang hukum kesehatan masih sangat terbatas.
Kondisi ini berdampak pada pola penyelesaian kasus medis. Sengketa yang seharusnya dapat diselesaikan secara proporsional sering kali langsung dibawa ke ranah hukum. Dalam situasi tersebut, dokter kerap berada pada posisi paling rentan, sementara rumah sakit cenderung mengambil langkah defensif untuk melindungi institusi.
Peran BHP2A PERHATI-KL
Untuk menjawab tantangan tersebut, PERHATI-KL membentuk Badan Hukum dan Pembelaan Anggota (BHP2A). Lembaga ini bertugas memberikan pendampingan hukum kepada dokter spesialis THT-BKL yang menghadapi persoalan medikolegal.
Di tingkat pusat, BHP2A berperan menyusun standar penanganan kasus, mengoordinasikan pendampingan hukum, serta bekerja sama dengan tim hukum yang memahami dunia medis. Sementara di tingkat cabang, BHP2A menjadi pintu pertama pelaporan kasus dan pendamping awal bagi anggota.
“BHP2A dibentuk agar anggota tidak menghadapi masalah hukum sendirian. Pendampingan dilakukan sejak awal agar proses berjalan adil dan proporsional,” kata Anton.
Asuransi Tanggung Gugat Profesi PERHATI-KL
Selain pendampingan hukum, PERHATI-KL juga telah memiliki Asuransi Tanggung Gugat Profesi PERHATI-KL sebagai bentuk perlindungan tambahan bagi anggotanya.
Asuransi ini dirancang untuk membantu anggota menghadapi dampak finansial dari kasus medikolegal. Dalam pelaksanaannya, BHP2A berperan dalam pengelolaan mekanisme, pendampingan proses klaim, serta memastikan hak anggota terpenuhi sesuai ketentuan organisasi.
Anton menegaskan, premi asuransi tersebut relatif terjangkau dan disesuaikan dengan kondisi anggota. “Dengan premi yang ringan, anggota sudah mendapatkan perlindungan finansial dan pendampingan organisasi. Ini penting agar dokter bisa bekerja dengan rasa aman,” ujarnya.
Bukan Membela Kesalahan
PERHATI-KL menegaskan bahwa pendampingan hukum dan asuransi tanggung gugat profesi bukan dimaksudkan untuk membenarkan kesalahan medis. Jika terjadi pelanggaran etik atau disiplin, proses tetap harus dijalankan sesuai ketentuan.
Namun organisasi memastikan agar dokter tidak dikriminalisasi dan setiap persoalan dinilai secara objektif dengan melibatkan keahlian medis yang relevan.
Perlindungan Dokter, Perlindungan Pelayanan Kesehatan
Kasus-kasus medikolegal yang melibatkan dokter spesialis THT-BKL menjadi pengingat bahwa pembangunan sektor kesehatan tidak cukup hanya dengan menambah jumlah rumah sakit dan fasilitas.
Diperlukan sistem hukum kesehatan yang siap, pendampingan medikolegal yang kuat, serta perlindungan profesi yang adil. Dengan demikian, dokter dapat bekerja secara profesional dan masyarakat tetap mendapatkan pelayanan kesehatan yang bermutu.***

