Gagasan Islam Transitif dalam Memperlakukan Alam dan Lingkungan_ Alam, Manusia dan Bencana Perspektif Islam Transitif

Breaking News
- Advertisement -

 

Penulis Dr. Hikmatiar Harahap, MA.

Mudanews.com OPINI – Manusia secara menyeluruh diharuskan kembali membaca ulang keberadaan alam sebagai fasilitas utama untuk melanjutkan kehidupan. Di saat manusia salah atau keliru dalam menafsirkan keberlanjutan atau survival, bukan hanya alam yang menanggung akibatnya, justru seluruh penghuni sama-sama menderita. Maka efeknya bagi alam terjadi kerusakan habitat, degradasi lingkungan, bahkan penurunan secara drastis dan otomatis berbagai keanekaragaman hayati. Sementara umat manusia akan diintai setiap saat berbagai ancaman dan bencana dari berbagai arah. Di saat ketidakharmonisan alam terjadi maka keberlanjutan dan kelestarian alam terhenti bahkan bisa punah.

Alam merupakan sebuah anugerah fasilitas yang disiapkan Allah Swt., kepada umat manusia, serta makhluk lainnya, yang didalamnya terdapat potensi yang diarahkan agar dikelola secara bijak, berlandaskan pada nilai keadilan, kebermanfaatan, keutuhan, keberlanjutan sehingga tercapai kesejahteraan. Alam sebagai fasilitas tentu harus dikelola secara bijak, mengambil seperlunya saja dan tidak boleh memperlakukannya secara berlebihan. Kala dikelola secara berlebihan, melebihi batas sewajarnya, tentu keseimbangan tidak tercapai, maka potensi untuk terjadinya kekacauan semakin dekat dan pasti, hal ini yang terjadi terkhusus di Pulau Sumatera.

Alam menyimpan potensi yang semestinya diarahkan untuk terwujudnya secara positif berupa dikelola sebagai kebutuhan yang berlandaskan pada kepentingan bersama. Sebaliknya, jika dikelola berdasarkan potensi negatif, maka alam dipandang sebagai keinginan yang harus dirambah, dieksploitasi, pengrusakan terjadi dimana-mana, pendzaliman untuk makhluk hidup demi untuk memenuhi kepentingan segelintir oknum demi cuan-cuan tanpa memandang secara nurani akibatnya masa mendatang. Ketidaktepatan atau kekeliruan dalam memandang alam dalam porsi negatif-keinginan merupakan landasan berfikir yang sesat, terjerumus pada kenistaan, martabat yang diabaikan sehingga berdampak pada menularkan penderitaan, kemudharatan bahkan menyusahkan umat manusia dalam jangka waktu yang relatif lama dan tidak berkesudahan. Kesalahan ini merupakan satu hukuman dosa sosial yang akan diwariskan pada generasi-generasi selanjutnya. Mewariskan kesalahan tak ubahnya mendikte pada generasi bahwa apapun yang sudah terjadi, seolah-olah tindakan itu benar, boleh, legal, tentu pandangan atau doktrin semacam ini sangat berbahaya, penuh cacat dan kotor dari segi manapun. Jadi, manusia harus mengedepankan cara berfikir yang normal, bijaksana agar sama-sama meraihkan kebermanfaatan dari semua hal.

Manusia dan Alam Saling Memerlukan

Manusia satu-satunya makhluk yang diberikan amanah untuk melestarikan alam, dengan segala potensi serta cara berfikir manusia, melalui keterampilan, kecakapan bahkan kapasitasnya memungkinkan alam yang dikelola akan tetap utuh dan dapat berdampingan setiap saat untuk saling memerlukan satu dengan lainnya. Hubungan simbiosis mutualisme bukan hanya sekedar hubungan yang dibangun atas dasar kemesraan belaka, justru manusia sendiri yang sangat butuh terhadap keberadaan alam pada hakikatnya. Jadi, kenyataannya manusia (insan) dipandang secara ekologis tidak bisa hidup dengan baik dan normal kalau alam ini rusak.

Sikap yang semestinya terus diupayakan manusia adalah mengembangkan kesadaran kolektif untuk menumbuhkan sikap dan kemanusiaan yang adil beradab. Pada poin ini menarik sebuah pernyataan Nurcholis Madjid bahwa manusia bukanlah makhluk kebaikan saja seperti malaikat, bukan juga makhluk kejahatan seperti setan. Melainkan manusia berada diantara keduanya dan tarik-menarik antara keduanya justru itulah yang membuat manusia menjadi makhluk moral. [Nurcholish Madjid: 2008: 32].

Manusia sebagai makhluk bermoral tentu akan memandang alam sebagai entitas yang harus kembangkan, eksplorasi, dimanfaatkan untuk kemaslahatan bersama. Alam bukan makhluk yang tidak boleh disentuh, justru harus dikelola dengan penuh tanggungjawab tanpa melanggar ketentuan baik yang bersumber dari ajaran agama, hukum negara serta ketentuan-ketentuan lainnya. Untuk itu, manusia selalu diingatkan dan mengambil pelajaran justru dari alam juga, misalkan siklus kehidupan yang dalamnya ada pergantian generasi, keseimbangan ekologis berupa mewujudkan keseimbangan hayati, menghormati lingkungan tentu agar tidak tercipta eksploitasi yang bisa saja akan mengundang bencana alam.

Sekelompok manusia yang menggantungkan hidupnya dengan alam, nyatanya kehidupan yang mereka bangun dapat berjalan normal, kekuatan sosial terbangun dan terjalin dengan penuh keakraban, kehangatan, tanggungjawab sosial dan kehidupan kelompoknya tetap terpenuhi. Tentu, mereka dalam menjaga dan menjamah alam dalam batas yang wajar dan tidak berlebihan. Sekelompok mereka itulah sesungguhnya pahlawan sang penjaga alam. Bukan manusia yang berhati busuk, rakus dan ingin menguasai semuanya, alam di rusak, hutan digunduli, perut bumi dikorek dan dirobek tanpa belas kasihani, justru yang didapati bukan kehidupan semakin mudah, sebaliknya kesedihan dan penderitan yang terjadi dan dialami manusia sebagai korban.

Perspektif Islam Transitif

Alam harus dimanfaatkan untuk kemaslahatan bersama demi untuk terciptanya kehidupan yang harmonis. Alam dijaga dan tidak boleh berhenti untuk generasi saat ini, melainkan satu warisan abadi yang untuk dinikmati anak-anak dan cucu-cucu kedepannya. Kedzaliman abadi, manakala alam dikelola tanpa bertanggungjawab, dalam bentuk eksploitasi, hutan digunduli sehingga mengakibatkan terjadinya banjir bandang dan longsor yang membuat kehidupan semakin berantakan, korban jiwa berjatuhan, kerugian semakin luas, rumah dan harta hilang dalam sekejap. Bencana alam berupa banjir bandang dan longsor bukan sekedar akibat cuaca ekstrim melainkan campur tangan manusia yang tidak bertanggung jawab. Akibat tangan-tangan yang dipenuhi keserakahan, ketamakan, dan keinginan yang tiada batasnya, akhirnya mengundang terjadinya bencana yang menimpa manusia. Maka, membaca keterkaitan bencana yang telah terjadi, itu lebih mengarahkan pada hilangnya moral dan hati dalam diri manusia yang hanya mementingkan diri dan materi. Maka dalam hal ini Perspketif Islam Transitif mencoba menawarkan beberapa konsep sebagai solusi, antara lain sebagi berikut:

Konsep Pertama, alam harus dipandang sebuah anugrah yang dalamnya terdapat fasilitas yang disiapkan Allah kepada manusia. Sebuah pemberian atau karunia yang berdasarkan kasih-sayang, hal ini merupakan satu penegasan bahwa dalam mengelola alam pun harus berlandaskan nilai kasih sayang juga.

Kedua, Tugas manusia memaksimalkan yang positif dan meminimalisir yang menyebabkan muncul yang negatif, seperti banjir bandang, lonsor, spesies punah dan habitat binatang dan tumbuhan semakin menyempit. Maka, alam dikelola harus mengedepankan nilai kebutuhan yang bersifat positif, sebaliknya kalau dilandasi harga dalam bentuk keinginan, maka dipastikan tidak akan mengindahkan ekosistem alam.

Ketiga, Alam juga harus dijaga secara kolektif bukan hanya tugas pemerintah atau sekelompok orang saja. Peristiwa-peristiwa yang telah terjadi menjadi pelajaran penting dan berharga untuk kita sebagai anak bangsa. Oleh karena itu, alam yang masih ada saat ini, menjadi tanggung jawab kolektif, sehingga Pemerintah dan masyarakat (manusia) harus saling berkolaborasi menjaga alam sebagai warisan untuk generasi ke depan.

Keempat: perlu pencegahan kerusakan alam, dan perusak alam perlu ditegakkan hukum yang tegas oleh pemerintah tanpa diskriminatif. Dan perusahan-perusahan yang terlibat terhadap pengrusakan alam, harus bertanggung jawab secara moral dan mengganti rugi seluruh kerusakan material yang dialami masyarakat yang terdampak sebagai korban.

Kelima, Kedepan masyarakat perlu diperkuat pemahaman kelestarikan lingkungan secara terus-menerus serta memberikan pemahaman secara baik tentang mitigasi bencana. Sekian**

Berita Terkini