Mudanews.com Jakarta -Bencana tidak pernah menjadi sekadar peristiwa air yang meluap, batu yang bergeser, atau tanah yang runtuh. Ia selalu membawa pesan pesan yang hanya dapat dipahami oleh bangsa yang mau menundukkan hatinya, melihat dengan mata yang jernih, dan membaca dengan ilmu yang cukup. Ketika banjir besar melanda Aceh, Sumatera Utara, dan Sumatera Barat, air tidak hanya menyapu pemukiman dan merendam sawah-sawah yang telah ditanami dengan harapan, tetapi juga menyeret gelondongan kayu dalam jumlah besar. Kayu-kayu itu memenuhi muara, mengotori sungai, menumpuk di pesisir pantai, dan menggema di ruang publik sebagai pertanyaan besar: dari mana ia berasal, dan apa yang sedang disampaikan alam?
Bagi Ir. R. Haidar Alwi, MT, Pendiri Haidar Alwi Care dan Haidar Alwi Institute sekaligus Wakil Ketua Dewan Pembina Ikatan Alumni ITB, gelondongan kayu itu bukan sekadar material bencana. Ia adalah teks ekologis yang ditulis oleh ruang, disebarkan oleh arus, dan dibacakan kembali kepada negara. Ia memuat riwayat bertahun-tahun yang selama ini tersembunyi di hulu, lalu terangkat oleh derasnya air sebagai panggilan agar negara tidak lagi menutup mata terhadap apa yang terjadi dalam diam. Dalam situasi ini, Haidar Alwi melihat satu hal yang sangat penting: negara, melalui Polri, tidak menjawab dengan prasangka, tetapi dengan presisi. Tidak dengan kemarahan publik, tetapi dengan data. Tidak dengan asumsi, tetapi dengan ilmu.
Polri, di bawah kepemimpinan Kapolri Jenderal Listyo Sigit Prabowo, bergerak dengan langkah ilmiah yang tenang. Penyidik Dittipidter turun ke titik-titik bencana, mengumpulkan bukti, mencatat setiap pola, dan merangkai setiap petunjuk. Polri memahami bahwa kesalahan dalam membaca tanda alam bukan hanya kesalahan teknis, tetapi juga kesalahan moral. Karena itu, penyidikan ini memerlukan ketelitian yang sama halusnya dengan cara air membaca lorong-lorong sungai. Dan di titik inilah, analisis multidisiplin Haidar Alwi menjadi fondasi penting untuk mendukung langkah Polri membuka tabir kebenaran.
Untuk memahami pesan alam itu, kita perlu membaca bagaimana kayu yang hanyut membawa riwayat hulu ke hadapan kita.
Ketika Alam Membuka Riwayat Hulu Lewat Kayu yang Hanyut.
Arus banjir bekerja seperti pena alam. Ia mengangkat apa yang terlepas di hulu, kemudian menyusunnya di hilir sebagai rangkaian kisah. Dalam perspektif hidrologi, tidak ada sebatang kayu pun yang hanyut tanpa rangkaian sebab. Pohon besar dapat tumbang ketika lereng kehilangan kekuatannya. Tumpukan kayu legal bisa terlepas ketika sungai mencapai debit ekstrem. Bayangan aktivitas manusia yang selama ini tersimpan di balik tutupan vegetasi bisa terbongkar ketika banjir mengangkat tirai ruang. Maka ketika gelondongan kayu ditemukan di Pantai Air Tawar, Pantai Padang, Tapanuli Selatan, Tapanuli Tengah, Sibolga, hingga Meureudu di Aceh, Haidar Alwi melihat bahwa alam sedang memperlihatkan riwayatnya yang terdalam.
Alam tidak sedang marah. Alam sedang jujur. Ia sedang memperlihatkan apa yang selama ini dikerjakan oleh waktu, oleh curah hujan, oleh kontur tanah, dan mungkin juga oleh tangan manusia. “Alam tidak pernah menyampaikan pesannya dengan pelan-pelan. Ia mengirim tanda melalui air, tanah, dan kayu, agar manusia mengingat kembali hubungannya dengan ruang,” ujar Haidar Alwi.
Untuk membaca pesan itu, negara harus masuk ke wilayah ilmu. Karena kayu hanyut hanya dapat dipahami oleh bangsa yang memadukan sains, kecermatan, dan kejujuran ekologis.
Jejak Ilmu: Cara Negara Membaca Tanda Dengan Ketelitian.
Fenomena gelondongan kayu lintas-provinsi bukan peristiwa sederhana. Ia adalah simpul ekologis besar yang menghubungkan banyak disiplin. Banjir adalah persoalan hidrologi. Kayu adalah persoalan kehutanan. Lereng yang runtuh adalah persoalan geomorfologi. Perubahan tutupan lahan adalah persoalan satelit dan tata ruang. Aktivitas manusia adalah persoalan intelijen lapangan. Karena itulah Haidar Alwi mengedepankan pendekatan multidisiplin: pendekatan yang menggabungkan banyak ilmu secara simultan, bukan sepotong-sepotong.
Ilmu hidrologi menjelaskan bagaimana arus dapat membawa batang pohon raksasa puluhan kilometer. Arah arus, kecepatan air, dan kehilangan daya topang tebing dapat memindahkan kayu dari titik yang tidak pernah jauh dari hulu. Geomorfologi mengungkap bagaimana lereng runtuh ketika tanah jenuh air, dan bagaimana patahan alami tercipta. Ilmu kehutanan membaca species kayu, diameter batang, sisa akar, pola serat, dan bekas sayatan. Forensik kayu menjadi kunci pengenal; ia mengurai apakah batang itu patah alami atau dipotong oleh manusia.
Penginderaan jauh melalui citra satelit memperlihatkan perubahan tutupan hutan secara lebih jujur daripada laporan apa pun. Dari langit, terlihat apakah ada jalan logging baru, pola pembukaan lahan, atau tumpukan kayu legal yang berdekatan dengan sungai. Meteorologi menjelaskan bagaimana hujan ekstrem mempercepat gejala banjir bandang yang mampu membawa material besar. Sementara itu, intelijen lapangan memberikan perspektif sosial, informasi dari pekerja lokal, sopir truk, warga hulu, atau operator alat berat yang tahu persis apa yang terjadi sebelum banjir datang.
Namun ilmu tidak hanya berbicara dari langit dan laboratorium. Sering kali, petunjuk paling jujur justru muncul dari manusia yang tinggal paling dekat dengan hulu. Dari sinilah negara belajar bahwa analisis ekologis tidak hanya membutuhkan data, tetapi juga kesaksian dan pemahaman sosial. Ketika semua disiplin itu saling menyapa, kita mulai melihat gambaran utuh: kayu hanyut bukan fenomena tunggal, tetapi pertemuan banyak faktor yang bekerja bersama.
Ketika seluruh ilmu saling menerangi, barulah negara dapat menimbang kemungkinan apa saja yang terjadi di hulu.
Hipotesis Asal Kayu: Semua Kemungkinan Harus Dibuka Sebelum Ditutup.
Haidar Alwi mengingatkan bahwa negara harus menguji semua hipotesis sebelum menutup satu pun. Ada empat kemungkinan besar asal kayu gelondongan: kayu tumbang alami, kayu legal dari konsesi, kayu dari APL milik masyarakat, dan kayu dari aktivitas ilegal. Keempat hipotesis ini harus diuji tanpa prasangka, karena bencana besar yang melibatkan banyak DAS hampir selalu merupakan kombinasi dari beberapa faktor sekaligus.
Hipotesis pertama adalah kayu tumbang alami. Lereng yang runtuh, tanah yang jenuh, dan akar yang terlepas adalah ciri paling umum. Hipotesis kedua adalah kayu legal yang terseret banjir. Industri kehutanan sering menumpuk kayu sementara di jalur angkut yang dekat sungai; ketika debit melonjak, kayu itu bisa terlepas. Hipotesis ketiga adalah tumpukan kayu dari APL, kebun rakyat yang dibuka dengan cara menebang pohon besar, lalu menumpuknya di dekat sungai untuk diangkut di kemudian hari. Hipotesis keempat adalah aktivitas pembalakan ilegal, yang ditandai dengan potongan rapi, diameter seragam, dan jalur akses tersembunyi.
Keempatnya hanya dapat dipisahkan melalui ilmu. Pangkal batang harus diperiksa. Species harus dianalisis. Data satelit harus dicocokkan dengan izin perusahaan. Arah arus harus dihitung. Saksi harus diwawancarai. Negara tidak boleh tergelincir dalam kesimpulan yang terburu-buru hanya karena tekanan opini.
Dan di titik inilah, presisi Polri menjadi penting. Karena tugas penyidik adalah mengikat setiap bukti menjadi kesimpulan yang kuat.
Presisi Polri: Ketika Negara Mendengarkan Alam Dengan Kejujuran.
Bagi Haidar Alwi, salah satu kekuatan terbesar dalam kejadian ini adalah bagaimana Polri menjaga jarak dari dua kesalahan besar: menuduh tanpa data atau mengabaikan tanpa bukti. Kapolri Jenderal Listyo Sigit Prabowo memahami bahwa penyidikan ekologis membutuhkan kesabaran dan kecermatan. Dengan mengerahkan Dittipidter Bareskrim secara cepat dan tepat, Polri menjawab kecemasan publik bukan dengan asumsi, melainkan dengan tindakan ilmiah.
Koordinasi Polri dengan KLHK, BRIN, BNPB, BPBD, TNI, dan pemerintah daerah adalah gambaran ideal bagaimana negara seharusnya bekerja: saling menopang, saling mengisi celah, dan bekerja sebagai satu organisme. Dalam penyidikan seperti ini, presisi bukan hanya metode, tetapi etika negara. “Presisi adalah cara negara menunjukkan bahwa ia bekerja dengan kejujuran, bukan sekadar kecepatan,” tutur Haidar Alwi.
Namun penyidikan tidak berhenti pada menemukan apa yang terjadi. Ia harus membuka pelajaran tentang apa yang harus diperbaiki.
Pelajaran Dari Hulu: Menata Ulang Masa Depan Ruang Hidup Bangsa.
Kayu gelondongan yang hanyut adalah indikator bahwa ruang hidup bangsa perlu dibaca ulang. Jika kayu berasal dari tumbang alami, negara harus memperkuat mitigasi dan konservasi hulu. Jika kayu berasal dari tumpukan legal, perusahaan harus menata ulang manajemen risikonya. Jika kayu dari APL, masyarakat harus diedukasi. Jika dari aktivitas ilegal, jaringan pelakunya harus dihentikan. Jika dari kombinasi semua itu, negara harus memperbaiki sistem dari hulunya, bukan hanya dari hilir.
Pelajaran ekologis dari banjir Sumatra bukan hanya tentang apa yang hilang, tetapi apa yang dapat diperbaiki. Banjir membuka cermin untuk menilai apakah tata ruang telah dijaga, apakah hutan telah dirawat, dan apakah sungai telah dipahami sebagai ruang hidup, bukan sekadar jalur air.
Negara yang membaca pelajaran ekologisnya adalah negara yang mampu menata masa depan rakyatnya.
Selama Negara Menjaga Rasa, Alam Tidak Akan Menutup Jalannya.
Fenomena kayu gelondongan di Sumatra mengingatkan kita bahwa alam selalu memberi tanda. Yang menjadi persoalan adalah apakah negara mau membaca tanda itu dengan ilmu atau menutupinya dengan asumsi. Dengan pendekatan multidisiplin ilmu yang matang, Polri telah berada di jalur yang benar untuk mengungkap asal-usul kayu dengan presisi, kejujuran, dan rasa hormat kepada ruang hidup bangsa.
“Alam tidak menuntut kita sempurna. Alam hanya menuntut kita jujur. Dan bangsa yang jujur membaca tanda alamnya sendiri adalah bangsa yang tidak akan tersesat,” pungkas Haidar Alwi**(Red)

