Aren : Pohon yang Terlupakan Harapan Baru Restorasi Hutan Sumatera dan Energi Hijau Indonesia 

Breaking News
- Advertisement -

 

Oleh : Drs. Muhammad Bardansyah. Ch.Cht.

Mudanews.com OPINI – Banjir bandang dan longsor yang melanda Sumatera Barat, Sumatera Utara, dan Aceh beberapa hari terakhir bukan sekadar musibah—ia adalah peringatan keras. Peringatan dari alam bahwa kerusakan Bukit Barisan telah melewati batas wajar.

Ribuan hektar tutupan hutan hilang, baik akibat pembalakan liar maupun pembalakan resmi yang tidak terkendali. Di lereng-lereng yang dulu hijau, kini tanah dibiarkan telanjang. Dan ketika hujan turun, bencana datang seperti yang kita saksikan hari ini.

Indonesia tidak kekurangan jenis pohon asli untuk merehabilitasi kawasan kritis. Yang kita kekurangan adalah keberanian memilih jenis yang tepat, bukan sekadar jenis yang “populer”.

Dalam konteks pemulihan hutan di Sumatera, aren (Arenga pinnata) bukan hanya layak dipertimbangkan—ia justru seharusnya menjadi salah satu tulang punggung restorasi ekologis dan ekonomi masyarakat.

Anehnya, pohon yang begitu kaya manfaat ini selama puluhan tahun hanya ditempatkan sebagai komoditas tradisional desa. Padahal data ilmiah menunjukkan potensinya jauh lebih besar.

𝟭. 𝗔𝗿𝗲𝗻 𝗰𝗼𝗰𝗼𝗸 𝘂𝗻𝘁𝘂𝗸 𝗹𝗲𝗿𝗲𝗻𝗴 𝗕𝘂𝗸𝗶𝘁 𝗕𝗮𝗿𝗶𝘀𝗮𝗻

Berbeda dengan banyak tanaman komersial yang memerlukan dataran terbuka dan tanah stabil, aren adalah spesies asli hutan tropis, tumbuh kuat di lereng, tanah liat berbatu, dan dataran tinggi—tepat seperti kondisi Bukit Barisan. Penelitian menunjukkan bahwa akar aren membantu mengikat tanah, mengurangi erosi, dan memulihkan struktur tanah pada area yang gundul (Rahayu, 2025).

Di banyak desa di Sumatera, aren tumbuh tanpa pupuk, tanpa pestisida, dan tanpa perawatan intensif. Artinya, ia sangat cocok untuk hutan lindung yang tidak boleh diintervensi secara berlebihan.

Lebih dari itu, aren adalah pohon yang tidak perlu ditebang untuk dipanen. Ini penting. Restorasi hutan sejati adalah menjaga pohon tetap berdiri, bukan menebangnya setelah produktif.

𝟐. 𝐏𝐨𝐭𝐞𝐧𝐬𝐢 𝐞𝐤𝐨𝐧𝐨𝐦𝐢: 𝐠𝐮𝐥𝐚 𝐦𝐞𝐫𝐚𝐡, 𝐤𝐨𝐥𝐚𝐧𝐠-𝐤𝐚𝐥𝐢𝐧𝐠, 𝐬𝐞𝐫𝐚𝐭—𝐝𝐚𝐧 𝐞𝐧𝐞𝐫𝐠𝐢 𝐡𝐢𝐣𝐚𝐮

Bila restorasi dilakukan dengan jenis pohon yang benar, masyarakat sekitar hutan tidak hanya mendapat manfaat ekologis, tetapi juga keuntungan ekonomi jangka panjang. Aren memberikan keduanya.

Dari satu pohon, nira dapat disadap setiap hari. Studi lapangan menunjukkan angka produksi rata-rata sekitar 7 liter per pohon per hari pada praktik konservatif (CIFOR, 2023).

Nira ini bisa diolah menjadi gula aren—komoditas yang sejak pandemi melonjak permintaannya. Model ini dapat menjadi sumber pendapatan bagi masyarakat adat, petani hutan, dan koperasi lokal.

Namun potensi terbesar aren justru terletak pada bioetanol. Dengan teknologi fermentasi yang kini berkembang cepat, nira aren dapat diubah menjadi etanol berkualitas tinggi. Penelitian menunjukkan bahwa 10 liter nira dapat menghasilkan sekitar 3–4 liter etanol (Azis et al., 2021). Ini berarti satu hektar aren berpotensi menjadi sumber energi hijau yang signifikan.

Jika negara serius menargetkan bauran energi hijau, aren bisa menjadi salah satu bahan baku yang tidak perlu membuka lahan baru—karena aren tumbuh sangat baik justru di lahan terdegradasi yang ingin kita pulihkan.

𝟑. 𝐌𝐞𝐧𝐠𝐚𝐩𝐚 𝐚𝐫𝐞𝐧 𝐮𝐧𝐠𝐠𝐮𝐥 𝐝𝐢𝐛𝐚𝐧𝐝𝐢𝐧𝐠 𝐭𝐚𝐧𝐚𝐦𝐚𝐧 𝐤𝐨𝐦𝐞𝐫𝐬𝐢𝐚𝐥 𝐥𝐚𝐢𝐧𝐧𝐲𝐚

Banyak program rehabilitasi hutan gagal karena memilih tanaman yang salah. Tanaman cepat tumbuh, seperti akasia atau sengon, memang memperbaiki tutupan lahan secara visual, tetapi tidak membangun ekosistem yang stabil. Selain itu, mereka tidak selalu memberi ekonomi jangka panjang kepada masyarakat lokal.
Aren berbeda.
– Ia tahan naungan dan bisa hidup berdampingan dengan regenerasi alami jenis hutan lain.
– Ia multiguna, bernilai ekonomi tinggi tanpa perlu ditebang.
– Ia adaptif, tidak membutuhkan pupuk kimia.
– Ia lokal, tidak invasif, dan secara ekologis kompatibel dengan struktur hutan Sumatera.

Dengan kata lain, aren bukan sekadar pohon—ia adalah sistem ekonomi ekologis.

𝟒. 𝐌𝐨𝐝𝐞𝐥 𝐢𝐦𝐩𝐥𝐞𝐦𝐞𝐧𝐭𝐚𝐬𝐢: 𝐧𝐞𝐠𝐚𝐫𝐚 𝐬𝐞𝐛𝐚𝐠𝐚𝐢 𝐩𝐞𝐥𝐢𝐧𝐝𝐮𝐧𝐠, 𝐦𝐚𝐬𝐲𝐚𝐫𝐚𝐤𝐚𝐭 𝐬𝐞𝐛𝐚𝐠𝐚𝐢 𝐩𝐞𝐧𝐠𝐞𝐥𝐨𝐥𝐚

Restorasi berbasis aren tidak akan berhasil jika hanya berhenti pada wacana teknis. Yang dibutuhkan adalah model implementasi yang jelas: negara hadir sebagai pelindung kawasan, sementara masyarakat diberi ruang sebagai pengelola langsung. Pemerintah harus menetapkan zona-zona kritis di sepanjang Bukit Barisan sebagai “kawasan rehabilitasi permanen” berbasis tanaman hutan bernilai ekonomi, termasuk aren. Artinya, tidak boleh ada izin baru untuk tambang, HPH, atau perkebunan komersial yang berpotensi mengulang siklus kerusakan.

Di sisi lain, masyarakat lokal—mulai dari petani hutan, kelompok adat, hingga koperasi desa—harus menjadi aktor utama pengelolaan aren. Mekanisme perhutanan sosial dapat diperkuat, tetapi bukan sekadar formalitas seperti yang sering terjadi selama ini. Negara wajib menyediakan bibit unggul, akses pasar, teknologi pengolahan nira, hingga pendampingan untuk produksi bioetanol berskala kecil. Dengan begitu, aren tidak hanya ditanam, tetapi benar-benar menjadi sumber penghidupan.

Model ini juga membuka ruang untuk keterlibatan universitas, lembaga riset, dan organisasi lingkungan sebagai mitra ilmiah. Mereka dapat mengembangkan teknik budidaya adaptif, peningkatan kualitas nira, hingga inovasi energi terbarukan dari aren. Bila dijalankan secara terstruktur, kolaborasi negara–ilmuwan–masyarakat dapat menciptakan ekosistem restorasi yang melampaui sekadar reboisasi: ia menjadi gerakan ekonomi hijau yang berbasis rakyat.

𝟓. 𝐒𝐚𝐚𝐭𝐧𝐲𝐚 𝐩𝐞𝐦𝐞𝐫𝐢𝐧𝐭𝐚𝐡 𝐛𝐞𝐫𝐚𝐧𝐢 𝐦𝐞𝐦𝐮𝐭𝐮𝐬𝐤𝐚𝐧

Mengapa kita harus mempertimbangkan aren sekarang?
Karena Sumatera sedang berada dalam titik kritis. Hujan ekstrem akan semakin sering akibat perubahan iklim. Lereng-lengang yang gundul tidak lagi mampu menahan air. Kita tidak bisa menunggu bencana berikutnya untuk bertindak.

Aren menawarkan kombinasi yang jarang dimiliki satu jenis tanaman:
memulihkan ekosistem, menguatkan fondasi tanah, menyediakan sumber pangan, dan menghasilkan energi terbarukan.

Tidak banyak tanaman di dunia yang mampu melakukan empat hal itu sekaligus.
Di tengah upaya pemerintah mempercepat bauran energi hijau dan rehabilitasi hutan, aren berpotensi menjadi “pohon strategis nasional” yang selama ini tidak pernah mendapatkan panggung.

Sumatera telah membayar terlalu mahal untuk kerusakan hutannya. Kini waktunya memilih jalan pemulihan yang berbasis ilmu pengetahuan, kearifan lokal, dan keberlanjutan ekonomi masyarakat. Negara harus hadir—bukan sekadar sebagai regulator, tetapi sebagai penggerak utama.

Aren bukan sekadar tanaman. Ia adalah kesempatan kedua bagi hutan Sumatera. Kesempatan yang tidak boleh lagi kita sia-siakan.

𝐏𝐞𝐧𝐮𝐭𝐮𝐩
Tulisan ini saya susun semata-mata sebagai sebuah studi kepustakaan dari berbagai referensi ilmiah yang kredibel. Saya bukan ahli kehutanan, pertanian, atau energi terbarukan. Namun sebagai warga yang menyaksikan kerusakan ekologis semakin dalam dari tahun ke tahun, saya merasa perlu mengetuk perhatian publik dan para pemangku kepentingan.

Apa yang saya sampaikan di sini bukanlah kesimpulan final, melainkan rangkaian kemungkinan—sebuah gagasan awal yang lahir dari membaca, mengamati, dan mencoba memahami potensi besar pohon aren dalam merestorasi lereng Bukit Barisan dan menyediakan alternatif energi hijau yang berkelanjutan.

Saya sangat berharap para akademisi, peneliti, ahli kehutanan, lembaga riset energi, serta institusi pendidikan dapat menindaklanjuti ide ini dengan pendekatan yang lebih komprehensif dan metodologis.

Indonesia membutuhkan solusi yang tidak hanya mengoreksi masa lalu, tetapi juga merancang masa depan yang lebih aman bagi masyarakat di sekitar hutan.

Saya tidak ingin sekadar mengkritik kerusakan yang terjadi—kita sudah terlalu sering berhenti pada keluhan dan kecaman. Yang saya inginkan adalah lahirnya pemikiran baru, sudut pandang baru, dan keberanian untuk mempertimbangkan pilihan-pilihan yang selama ini terabaikan.

Aren mungkin bukan jawaban satu-satunya, tetapi dari kajian-kajian yang saya pelajari, ia menawarkan harapan yang rasional: mampu mengikat tanah, menahan erosi, hidup di lahan terdegradasi, memberi manfaat ekonomi tanpa perlu ditebang, sekaligus berkontribusi pada energi hijau.

Di tengah krisis ekologis yang semakin nyata, kita membutuhkan keberanian melihat potensi yang ada di sekitar kita—bahkan pada sesuatu yang selama ini dianggap biasa.

Jika tulisan sederhana ini dapat membuka ruang diskusi, memicu penelitian lebih dalam, atau sekadar membuat kita berhenti sejenak dan berpikir ulang tentang bagaimana merestorasi hutan Sumatera dari sudut yang berbeda, maka tujuan saya telah tercapai.

Hutan yang rusak tidak akan pulih hanya dengan kritik; ia butuh ilmu pengetahuan, kemauan kolektif, dan pilihan-pilihan berani. Semoga gagasan tentang aren dapat menjadi salah satu pijakan menuju pemulihan itu.

DAFTAR PUSTAKA
1. 𝘈𝘻𝘪𝘴, 𝘈. 𝘋., 𝘍𝘢𝘭𝘢𝘢𝘩, 𝘍., & 𝘕𝘶𝘳𝘣𝘢𝘪𝘵𝘪, 𝘜. (2021). 𝘌𝘯𝘩𝘢𝘯𝘤𝘦𝘮𝘦𝘯𝘵 𝘰𝘧 𝘣𝘪𝘰𝘦𝘵𝘩𝘢𝘯𝘰𝘭 𝘱𝘳𝘰𝘥𝘶𝘤𝘵𝘪𝘰𝘯 𝘧𝘳𝘰𝘮 𝘱𝘢𝘭𝘮 𝘴𝘢𝘱 𝘵𝘩𝘳𝘰𝘶𝘨𝘩 𝘪𝘯𝘥𝘪𝘨𝘦𝘯𝘰𝘶𝘴 𝘺𝘦𝘢𝘴𝘵 𝘦𝘯𝘳𝘪𝘤𝘩𝘮𝘦𝘯𝘵. 𝘑𝘰𝘶𝘳𝘯𝘢𝘭 𝘰𝘧 𝘙𝘦𝘯𝘦𝘸𝘢𝘣𝘭𝘦 𝘌𝘯𝘦𝘳𝘨𝘺 𝘚𝘵𝘶𝘥𝘪𝘦𝘴.
2. 𝘊𝘐𝘍𝘖𝘙. (2023). 𝘛𝘩𝘦 𝘗𝘰𝘵𝘦𝘯𝘵𝘪𝘢𝘭 𝘰𝘧 𝘈𝘳𝘦𝘯 (𝘈𝘳𝘦𝘯𝘨𝘢 𝘱𝘪𝘯𝘯𝘢𝘵𝘢) 𝘚𝘵𝘢𝘯𝘥𝘴 𝘪𝘯 𝘊𝘰𝘮𝘮𝘶𝘯𝘪𝘵𝘺 𝘍𝘰𝘳𝘦𝘴𝘵𝘴. 𝘊𝘦𝘯𝘵𝘦𝘳 𝘧𝘰𝘳 𝘐𝘯𝘵𝘦𝘳𝘯𝘢𝘵𝘪𝘰𝘯𝘢𝘭 𝘍𝘰𝘳𝘦𝘴𝘵𝘳𝘺 𝘙𝘦𝘴𝘦𝘢𝘳𝘤𝘩.
3. 𝘏𝘢𝘬𝘪𝘮, 𝘓., 𝘦𝘵 𝘢𝘭. (2024). 𝘊𝘩𝘢𝘳𝘢𝘤𝘵𝘦𝘳𝘪𝘻𝘢𝘵𝘪𝘰𝘯 𝘰𝘧 𝘐𝘯𝘥𝘰𝘯𝘦𝘴𝘪𝘢𝘯 𝘚𝘶𝘨𝘢𝘳 𝘗𝘢𝘭𝘮 𝘉𝘶𝘯𝘤𝘩 (𝘈𝘳𝘦𝘯𝘨𝘢 𝘭𝘰𝘯𝘨𝘪𝘱𝘦𝘴). 𝘍𝘰𝘳𝘦𝘴𝘵𝘴, 15(2), 225–237.
4. 𝘙𝘢𝘩𝘢𝘺𝘶, 𝘈. 𝘈. 𝘋. (2025). 𝘛𝘩𝘦 𝘱𝘰𝘵𝘦𝘯𝘵𝘪𝘢𝘭 𝘰𝘧 𝘈𝘳𝘦𝘯𝘨𝘢 𝘱𝘪𝘯𝘯𝘢𝘵𝘢 (𝘞𝘶𝘳𝘮𝘣) 𝘔𝘦𝘳𝘳. 𝘧𝘰𝘳 𝘧𝘰𝘳𝘦𝘴𝘵 𝘳𝘦𝘩𝘢𝘣𝘪𝘭𝘪𝘵𝘢𝘵𝘪𝘰𝘯 𝘢𝘯𝘥 𝘮𝘶𝘭𝘵𝘪-𝘱𝘶𝘳𝘱𝘰𝘴𝘦 𝘦𝘯𝘦𝘳𝘨𝘺 𝘱𝘳𝘰𝘥𝘶𝘤𝘵𝘪𝘰𝘯. 𝘑𝘰𝘶𝘳𝘯𝘢𝘭 𝘰𝘧 𝘛𝘳𝘰𝘱𝘪𝘤𝘢𝘭 𝘍𝘰𝘳𝘦𝘴𝘵𝘳𝘺 𝘢𝘯𝘥 𝘌𝘯𝘷𝘪𝘳𝘰𝘯𝘮𝘦𝘯𝘵.
5. 𝘚𝘢𝘯𝘨𝘪𝘢𝘯, 𝘏. 𝘍., & 𝘛𝘰𝘯𝘨𝘬𝘶𝘬𝘶𝘵, 𝘚. (2022). 𝘚𝘵𝘶𝘥𝘺 𝘰𝘧 𝘉𝘪𝘰-𝘌𝘵𝘩𝘢𝘯𝘰𝘭 𝘗𝘳𝘦𝘱𝘢𝘳𝘢𝘵𝘪𝘰𝘯 𝘍𝘳𝘰𝘮 𝘈𝘳𝘦𝘯𝘨𝘢 𝘗𝘢𝘭𝘮 𝘚𝘶𝘨𝘢𝘳. 𝘐𝘯𝘥𝘰𝘯𝘦𝘴𝘪𝘢𝘯 𝘑𝘰𝘶𝘳𝘯𝘢𝘭 𝘰𝘧 𝘕𝘦𝘸 𝘢𝘯𝘥 𝘙𝘦𝘯𝘦𝘸𝘢𝘣𝘭𝘦 𝘌𝘯𝘦𝘳𝘨𝘺.
6. 𝘚𝘶𝘺𝘢𝘥𝘪, 𝘚. (2015). 𝘋𝘦𝘧𝘰𝘳𝘦𝘴𝘵𝘢𝘵𝘪𝘰𝘯 𝘪𝘯 𝘉𝘶𝘬𝘪𝘵 𝘉𝘢𝘳𝘪𝘴𝘢𝘯 𝘚𝘦𝘭𝘢𝘵𝘢𝘯 𝘕𝘢𝘵𝘪𝘰𝘯𝘢𝘭 𝘗𝘢𝘳𝘬, 𝘚𝘶𝘮𝘢𝘵𝘳𝘢, 𝘐𝘯𝘥𝘰𝘯𝘦𝘴𝘪𝘢. 𝘐𝘯𝘥𝘰𝘯𝘦𝘴𝘪𝘢𝘯 𝘍𝘰𝘳𝘦𝘴𝘵𝘳𝘺 𝘙𝘦𝘷𝘪𝘦𝘸.

Berita Terkini