Catatan Redaksi Mudanews.com
Mudanews.com Jakarta — Gelombang pengungkapan siapa sebenarnya biang keladi kehancuran ekologis Sumatra kini semakin tidak terbendung. Setelah banjir bandang dan longsor meluluhlantakkan Aceh, Sumut, dan Sumbar, Greenpeace Indonesia lewat juru kampanyenya Iqbal Damanik menyebut langsung tiga nama menteri dalam podcast “SPEAK UP Abraham Samad”, memicu kehebohan nasional. Di saat yang sama, WALHI mengeluarkan serangan terkeras mereka, menyebut para perusak hutan sebagai “preman lingkungan yang harus ditindak negara.”
Dalam podcast yang viral itu, Iqbal Damanik menegaskan bahwa bencana banjir Sumatra bukan sekadar musibah, melainkan “hasil dari bertahun-tahun perusakan hutan yang dilegalkan lewat izin.” Ia menyebut bahwa ada tiga pejabat negara yang memegang peran besar atas kerusakan tersebut. “Kami tidak sedang menebak. Data kami jelas. Izin-izin ini dikeluarkan, diawasi, bahkan dilindungi. Dan rakyat sekarang yang mati,” kata Iqbal.
Tiga nama yang disorot Greenpeace adalah Raja Juli Antoni (Menteri Kehutanan), Bahlil Lahadalia (Menteri ESDM), dan Hanif Faisol (Menteri Lingkungan Hidup). Menurut mereka, ketiga kementerian itu adalah pengendali utama izin kehutanan, pertambangan, dan lingkungan yang selama bertahun-tahun menjadi akar berbagai kerusakan ekologis. “Kalau daya dukung hutan hancur, banjir seperti di Sumatra bukan kejutan—itu konsekuensi logis,” lanjut Iqbal.
Di sisi lain, WALHI langsung menyambut momentum ini. Mereka menyatakan bahwa langkah pencabutan izin yang dilakukan pemerintah merupakan kemenangan publik. “Ini kemenangan rakyat atas preman-preman hutan yang selama ini merampas ruang hidup warga,” tegas juru bicara WALHI. Mereka menambahkan bahwa banjir Sumatra adalah bukti nyata bahwa sistem izin selama ini hanya menyejahterakan korporasi, bukan masyarakat yang tinggal di sekitar hutan.
Setelah kritik bertubi-tubi dari Greenpeace dan WALHI, Presiden Prabowo merespons dengan langkah paling agresif selama masa kepemimpinannya: mencabut 18 izin perusahaan seluas 526.144 hektare. Menteri Kehutanan Raja Juli Antoni, yang turut disorot Greenpeace, justru tampil sebagai eksekutor tegas. “Tidak ada lagi toleransi. Jika rakyat menjadi korban karena hutan rusak, maka negara harus mengambil alih,” tegas Raja Juli.
Audit lapangan Kemenhut menemukan sejumlah perusahaan hanya aktif di atas kertas, sementara hutan dibiarkan gundul, DAS rusak, dan reboisasi tidak pernah dilakukan. Banyak area perusahaan yang izinnya dicabut ternyata merupakan pusat banjir bandang paling mematikan di Aceh dan Sumut. Fakta itu membuat publik kian percaya bahwa akar bencana memang berkelindan dengan korporasi yang lalai dan sistem izin yang lemah.
Mantan Ketua KPK Abraham Samad, pembawa podcast itu, memperkuat gambaran tersebut. Ia menyebut bahwa peringatan terhadap kerusakan hutan sudah disampaikan sejak satu dekade lalu, namun negara lambat merespons. “Kita panen bencana karena kita menanam kelalaian,” ujarnya.
Keputusan negara mencabut izin ini membuat pasar terguncang: saham kehutanan dan pertambangan melemah, sementara sektor ekonomi hijau justru meroket. Masyarakat Aceh, Papua, dan Sumatra mendesak agar pemerintah tidak berhenti pada pencabutan izin, tetapi mempercepat reboisasi, audit total konsesi, dan penertiban DAS sebelum musim hujan berikutnya tiba.
WALHI menutup pernyataan mereka dengan peringatan keras: “Negara sudah bergerak. Tapi jangan berhenti di sini. Perusahaan yang izinnya dicabut jangan dibiarkan hidup kembali dengan ‘wajah baru’. Mafia hutan harus diputus dari akarnya.”
Dengan kritik Greenpeace, desakan WALHI, dan gerakan cepat pemerintah, perang terhadap perusak hutan akhirnya benar-benar pecah. Banjir Sumatra 2025 kini menjadi garis pemisah: apakah Indonesia memasuki era baru tata kelola lingkungan yang tegas, atau kembali tenggelam dalam lingkaran korporasi yang rakus.**(Red)
