Majelis Disiplin Profesi:  Cacat Hukum Bawaan dan Tak Disiplin 

Breaking News
- Advertisement -

Oleh: Muhammad Joni

Mudanews.Opini | Di dunia hukum dan kedokteran, ada garis halus yang membedakan disiplin dengan dominasi. Tapi dalam kasus dr. Ratna Setia Asih, garis itu kabur. Di tangan Majelis Disiplin Profesi (MDP), otoritas disiplin menjelma menjadi penyidik komisaris atas penyidik polisi.

Ternyata oh ternyata MDP  dirancang absurd karena memiliki cacat bawaan.  Rekomendasinya instan,  namun ironis MDP merambah wilayah pro justisia penyidikan.

Padahal, MDP bukan aktor Penyidik. MDO bukan Polri. MDP bukan lembaga penegak hukum. MDP bukan ekosistem yang halal dalam due process of the law.  MDP itu makhluk asing/alien dan tak legal dalam KUHAP.  MDP tak kenal dan tak bersahabat dengan KUHAP. Bahkan menggangu otentisitas penerapan KUHAP.

Tapi dalam praktik setelah UU Kesehatan yang paling banyak diuji materil ke MK,  kini satu rekomendasi MDP begitu mudah dikeluarkan  untuk menjerat seseorang dokter ke ruang pemeriksaan perkara pidana.

Bukan didahului dengan hati-hati mulai tahap penyelidikan bahkan lansung gaspol ke penyidikan a.k.a pro justisia. Ada apa dengan bahaya tulen kecacatan norma sang MDP itu?

Seorang dokter, yang seharusnya dinilai dari kompetensi dan profesionalitas klinis-medisnya, kini digantung reputasinya oleh selembar rekomendasi MDP.

Rekomendasi yang sok kuasa karena tak bisa dikoreksi. Tak bisa diuji. Tak bisa ditinjau kembali. Tak ada jalan pulang. Tak bisa menarik kelalainnya sendiri.

Lantas apa artinya “peradilan” atawa majelis-majelis-an ala MDP itu yang seakan kebal  salah, obscuur, yang tanpa medium ajukan komplain atwa banding, maka MDP bagai “Tuhan” kecil tanpa  kekeliruan.

MDP pun takkan mumpuni memeriksa berkas perkara, karena hanya surat permintaan rekomendasi saja. Tak ada ruang pemeriksaan bukti dan tak ada validasi fakta menjadi fakta-cum-bukti yang berharga sebagai bukti.

Apalagi tak sempat  memeriksa fakta sanggahan dan bukti lawan (tagen bewijs) denhan tegat waktu 14 hari yang singkat.

Di situ tragedinya. MDP bekerja administratif dengan resiko orang terperosok perkara pidana.

Tersebab itu bukan karena dr. Ratna auto-salah, tapi karena sistem membiarkan satu majelis-majelis-an tanpa disiplin sekan menjadi “Tuhan” kecil di dunia kesehatan.

MDP: Bukan Penegak Hukum, Tapi Bertindak Seolah Jaksa dan Hakim Sekaligus.

Dalam hukum acara pidana modern, penyidikan dimulai dari dugaan, bukan dugaan  dari rekomendasi. Tapi dalam kasus ini, rekomendasi MDP menjadi sebab, bukan akibat.

MDP, yang sejatinya organ pengawasan kepatuhan norma disiplin profesi, tiba-tiba menjelma seperti tangan panjang Penyidik—yang mengantar seseorang dari ruang norma disiplin ke ruang norma kriminal tanpa peradilan pelanggaran disiplin yang utuh dan lebih didahulukan.

Mustinya, keputusan majelis kehormatan disiplin menjadi syarat memasuki penyelidikan maupun penyidikan dugaan pidana terhadap perbuatan dalam aras praktik kedokteran.

Penyebabnya adalah Pasal 307 UU Kesehatan Nomor 17 Tahun 2023 yang memberi mereka kekuasaan eh maaaf wewenang, tapi UU Kesehatan tidak memberi  mekanisme koreksi. Tak ada prosedur menguji kebenaran dan kejujuran MDP.

Orang yang bekerja untuk MDP bukan makhkuk suci di bumi yang bebas alpa dan dosa. MDP tak ada ruang sanggah. Tak ada masa bantah. Tak ada media banding. Analisis saya,  UU Kesehatan dengan sengaja tidak menyediakan mekanisme itu.

Alhasil, rekomendaai MDP sama dengan titah yang otoriterian. UU Kesehatan adalah biang otoriterian  itu. Cetho welo-welo MDP memiliki banyak cacat hukum bawaan. Bahkan konsep legal MDP itu yang dikendalikan Menteri Kesehatan,  tak ada modelnya. Terlebih yang menjadi anggota MDP rangkap jabatan pun proxy Kementerian Kesehatan.

Inilah yang dalam sosiologi hukum Donald Black disebut “law as self-help institution” — hukum yang menegakkan dirinya sendiri, tanpa mekanisme pengendali. Makanya MDP itu majelis yang tak disiplin.

Hasilnya? MDP seperti dewa yang tak bisa diperiksa, padahal bekerja atas nama disiplin profesi.

Andaipun pelanggaran Disiplin namun MDP tak bisa menyetahkan tiket ke Polri untuk menydik, tapi malah langsung menghakimi.

Dalam penegakan hukum pidana, ada tahap penyelidikan, ada pemeriksaan pendahuluan, ada bukti permulaan yang harus lengkap.

Problem terbesar MDP dan ekosistemnya ekstra-kejam karena dalam UU Kesehatan tak ada Bab Penyelidikan. Hanya Bab Penyidikan.  Mungkin itu logika pembuat UU yang langsung memberi wewenang MDP  ekstra cepat menerbitkan rekomendasi 14 hari untuk mengirim orang ke penyidikan pidana.

Wahai MDP, belum tentu laporan pengaduan orang ke polisi sudah nyata punya unsur-unsur pidana. Apalagi hanya sekelas MDP yang apabila orangnya tak mengerti seluk beluk hukum pidana dan gagal paham perbuatan pidana serta tak berpengalaman sebagai penyidik.

Tapi MDP, sebagaimana kritik yang berkembang, sering bekerja dengan berkas yang tidak lengkap, pemeriksaan singkat, dan pemahaman sepotong tentang tindakan medis. Namun nasib orang dipertaruhkan dengan instan dan tanpa hak sanggahan.

Hanya MDP yang tak punya check and balances. Dugaan saya, MDP bakal dihujani gugat perdata  dan atau tata usaha negara, bahkan bisa saja pengaduan pidana.

Kebenaran yang kompleks dalam dunia medis diringkas sebagai norma disiplin, tak bisa dicerna dalam singkat alias instan apalagi diburu-buru waktu 14 hari.

Kalau sidang pemeriksaan pelanggaran disiplin pada faktanya bisa berproses lama dalam skala cepat 5-6 bulan, tak ada logikanya MDP membuat keputusan instan 14 hari bertitel rekomendasi perbuatan pidana. Sungguh tragis, MDP yang dirancang  salah dan cacat hukum bawaan,  maka MDP menjadi ekosistem kelalaian. Dan, kelalaian MDP adalah “maut” bagi karier dokter.

Dan ironisnya, rekomendasi  MDP tanpa pernah bisa diuji itu, hanya pada satu tujuan: penyidikan a.k.a pro justisia, bukan lebih mendahulukan penyelidikan. Oasal ini harus diuji. Rekomendasi MDP itu sekan surat perintah yang  langsung siap pakai menjadi dasar penyidikan perkara pidana.

Bukankah ini bentuk baru dari otoritarianisme institusional? Secarik rekomendasi dari majelis disiplin profesi yang aliens bagi KUHAP,  seolah lebih tinggi dari due process of law versi KUHAP yang memulai prosedur formil dari penyelidikan baru dengan ekstra hati-hati masuk ke penyidikan.

UU Kesehatan yang Kehilangan Kesehatan Akalnya

UU Kesehatan yang baru ini lahir dengan jargon reformasi sistem kesehatan nasional. Tapi di balik semangat itu, terselip logika yang mengiris nurani hukum:

tidak ada mekanisme penyelidikan dalam tahap awal, langsung penyidikan.

Tidak ada ruang koreksi, langsung konsekuensi hukum. Bagi dokter seperti Ratna, itu bukan sekadar pasal — itu peluru hukum yang bisa menembus reputasi dan kariernya.

Pasal 307 semestinya menjamin fair hearing, bukan final judgment sepihak. Tapi justru di sanalah lubang hitamnya: majelis yang bisa merekomendasikan tindakan pidana tanpa ada mekanisme verifikasi kebenaran.

UU Kesehatan, dalam kasus ini, bukan sekadar regulasi — ia berubah menjadi instrumen ketakutan.

Ratna dan Perlawanan dari Ruang Sunyi

dr. Ratna Setia Asih memilih melawan. Bukan hanya untuk dirinya, tapi untuk seluruh dokter Indonesia yang bisa sewaktu-waktu dijatuhkan oleh rekomendasi tanpa rem.

Uji Materil ke Mahkamah Konstitusi itu bukan sekadar soal pasal — itu soal prinsip. Bahwa setiap lembaga, termasuk MDP, harus bisa diuji. Harus ada mekanisme  check and balances.

Bahwa setiap keputusan, apalagi hanya secatik rekomendasi harus bisa diperiksa ulang. Diuji. Disanggah. Dipersoalkan. Bahkan digugat.

Jika tidak MDP bakal kena serangan balik dan panen gugatan hukum. Karena di dunia hukum, kekuasaan tanpa koreksi adalah bencana yang menunggu giliran.

Gurindam Profesi

Bila disiplin berubah jadi vonis, maka profesi kehilangan etis.

Bila rekomendasi tanpa koreksi, maka keadilan tak punya isi.

Bila dokter tak lagi aman dari majelis, maka hukum kesehatan kehilangan nalar manis.

Hukum itu harus waras, bukan keras.

Disiplin profesi itu harus mendidik, bukan menghakimi. Dan MDP, jika ingin dihormati, harus siap diperiksa — karena kebenaran sejati tidak pernah takut diuji. Tabik

*) Adv. Muhammad Joni SH., MH, Ketua Perhimpunan Profesional Hukum dan Kesehatan Indonesia.

[Red]

Berita Terkini