Okeh : Anton Christanto Pengurus PP Perhati-KL 2022-2025
Mudamews.com OPINI – Pertanyaan ini sering muncul di kalangan tenaga kesehatan: Mengapa tarif operasi pasien BPJS begitu rendah, jauh di bawah standar biaya medis yang sebenarnya?
Untuk memahami akar masalahnya, kita perlu melihat sistem penetapan tarif dan posisi organisasi profesi dokter di dalamnya.
Asal-Usul Penetapan Tarif BPJS
Tarif pelayanan kesehatan BPJS diatur dalam Peraturan Menteri Kesehatan (Permenkes) tentang Indonesian Case Based Groups (INA-CBGs) — sistem pembayaran berbasis paket untuk setiap jenis diagnosis dan tindakan medis.
Angka tarif ini ditetapkan oleh pemerintah, melalui Kementerian Kesehatan, dengan mempertimbangkan data biaya satuan (unit cost) rumah sakit dan kemampuan keuangan negara.
Namun, dalam praktiknya, penetapan tarif seringkali lebih menekankan pada aspek “kemampuan fiskal” daripada “kebutuhan medis dan beban kerja dokter”. Akibatnya, tarif operasi BPJS di banyak bidang—termasuk bedah THT, mata, ortopedi, dan lain-lain—sering kali tidak sebanding dengan kompleksitas kasus, durasi operasi, maupun tanggung jawab profesional yang diemban dokter.
Banyak dokter merasa bahwa tarif tindakan operasi pasien BPJS jauh lebih rendah dibandingkan dengan biaya sebenarnya (real cost) di rumah sakit swasta maupun praktik mandiri.
Namun untuk memahami akar masalahnya, kita perlu tahu bagaimana sistem tarif BPJS (JKN) ditetapkan dan siapa yang menentukannya.
1. Sistem Pembayaran di BPJS Kesehatan: INA-CBGs
BPJS Kesehatan menggunakan sistem INA-CBGs (Indonesian Case Based Groups) untuk membayar rumah sakit.
Artinya:
Setiap diagnosis dan jenis tindakan medis sudah dikategorikan dalam suatu “paket” tarif tertentu.
Tarif ini tidak dihitung per tindakan, tapi per kasus penyakit (case based).
Tarif sudah mencakup seluruh biaya: obat, alat medis, jasa dokter, ruang rawat, dan administrasi.
➡️ Akibatnya, rumah sakit menerima satu nilai pembayaran tetap dari BPJS, tanpa melihat seberapa rumit atau lamanya operasi.
Misalnya:
Operasi sinusitis ringan dan kompleks bisa saja masuk dalam satu kelompok INA-CBGs dengan tarif yang sama.
Operasi berjam-jam dengan risiko tinggi pun dihargai sama dengan kasus yang lebih sederhana.
Inilah salah satu penyebab utama mengapa “nilai jasa dokter” terlihat kecil — karena sistemnya tidak memperhitungkan kompleksitas individual kasus atau skill operator.
2. Siapa yang Menentukan Tarif BPJS?
Tarif BPJS tidak ditentukan oleh BPJS Kesehatan sendiri, melainkan oleh Kementerian Kesehatan (Kemenkes RI) melalui regulasi resmi.
Dasar hukumnya:
Permenkes Nomor 64 Tahun 2016 (dan revisi-revisinya, terakhir 2021–2022) tentang Standar Tarif Pelayanan Kesehatan dalam Penyelenggaraan Program JKN.
Dalam penetapan tarif, Kemenkes bekerja sama dengan:
* BPJS Kesehatan (sebagai penyelenggara program),
* Dewan Jaminan Sosial Nasional (DJSN),
* Asosiasi Rumah Sakit Indonesia (PERSI),
* dan profesi medis tertentu (kadang lewat organisasi profesi, tapi tidak semua dilibatkan aktif).
Namun, peran organisasi profesi seperti IDI, kolegium, dan perhimpunan dokter spesialis sering kali minimal.
Akibatnya, perhitungan nilai jasa medis kurang merepresentasikan beban kerja dan tanggung jawab dokter sebenarnya.
Posisi dan Peran Organisasi Profesi Dokter Spesialis
Di sinilah peran organisasi profesi (Perhati-KL, PERDAMI, PABI, PERKI, dan lain-lain) menjadi sangat penting.
Organisasi profesi bukan sekadar wadah sosial, melainkan lembaga ilmiah dan etika yang berkewajiban melindungi mutu pelayanan sekaligus kesejahteraan anggotanya.
Secara ideal, organisasi profesi harus dilibatkan secara resmi dalam:
* Menyusun standar pelayanan dan biaya medis realistis (berdasarkan evidence dan tingkat kesulitan tindakan),
* Memberikan masukan ke Kemenkes dan BPJS Kesehatan dalam revisi tarif INA-CBGs,
* Mengusulkan klasifikasi tingkat kesulitan operasi agar tarif lebih proporsional antara tindakan minor, sedang, dan mayor,
* Menjaga agar kebijakan tarif tidak menurunkan mutu layanan dan tidak menekan dokter secara ekonomi maupun moral.
Namun kenyataannya, selama ini peran organisasi profesi sering hanya bersifat konsultatif, bukan pengambil keputusan. Masukan yang diberikan tidak selalu diakomodasi dalam regulasi akhir. Akibatnya, kesenjangan antara realitas klinis dan tarif yang ditetapkan masih sangat lebar.
3. Mengapa Tarifnya “Murah”?
Ada tiga faktor utama:
a. Fokus pada efisiensi biaya negara
BPJS Kesehatan adalah sistem jaminan sosial yang tujuannya membantu sebanyak mungkin rakyat Indonesia dengan anggaran terbatas.
Karena itu, Kemenkes dan DJSN menekan tarif agar dana JKN cukup untuk seluruh peserta.
b. Basis perhitungan lama
Sebagian(Perhati-KL, PERDAMI, PABI, PERKI,masih didasarkan pada data biaya rumah sakit tahun 2013–2015, yang kini sudah tidak relevan dengan biaya aktual. Harga obat, alat medis, dan inflasi tenaga kesehatan meningkat tajam, tapi tarif belum banyak disesuaikan.
c. Distribusi tarif yang tidak proporsional
Dari satu paket INA-CBGs, porsi jasa dokter sering hanya sebagian kecil (kadang <20%) dari total biaya.
Padahal dokter memikul risiko medis, hukum, dan etika paling besar.
4. Dampaknya terhadap Dokter dan Rumah Sakit
Dokter spesialis merasa tidak dihargai secara layak, terutama untuk tindakan bedah besar.
Rumah sakit swasta sering kali rugi bila terlalu banyak pasien BPJS, karena tarif INA-CBGs tidak menutup real cost.
Beberapa RS akhirnya membatasi kuota pasien BPJS untuk menjaga keseimbangan keuangan.
Tarif operasi yang terlalu rendah menimbulkan dampak sistemik:
* Rumah sakit kesulitan menutupi biaya alat, bahan medis habis pakai, dan tenaga profesional.
* Dokter spesialis sering tidak mendapatkan kompensasi yang layak sesuai beban tanggung jawabnya.
* Mutu pelayanan terancam menurun karena pembatasan biaya dan waktu.
* Terjadi burnout dan ketidakpuasan di kalangan tenaga medis, yang pada akhirnya juga berdampak pada pasien.
Padahal, dalam pelayanan medis, kualitas dan keselamatan pasien sangat tergantung pada dukungan sistem yang adil bagi tenaga kesehatannya.
5. Apakah Bisa Diperbaiki?
Ya, sangat bisa — jika ada kemauan politik dan advokasi yang kuat dari profesi.
Beberapa langkah yang diusulkan:
1. Melibatkan organisasi profesi dan kolegium dalam penentuan tarif tindakan medis.
2. Merevisi formula INA-CBGs dengan data biaya aktual per rumah sakit dan kompleksitas tindakan.
3. Memisahkan jasa tenaga medis dari tarif rumah sakit (seperti sistem fee for service hybrid).
4. Memberi insentif khusus untuk tindakan berisiko tinggi atau operasi kompleks.
5. Meningkatkan transparansi penyaluran dana BPJS di tiap RS agar jasa dokter tidak dipangkas di tingkat manajemen.
Jalan Keluar: Advokasi Kolektif dan Kebijakan Berbasis Data
Solusi jangka panjang tidak bisa dicapai hanya melalui keluhan individu.
Organisasi profesi dokter perlu bersatu, menyusun kajian ekonomi medis berbasis bukti (evidence-based costing), dan melakukan advokasi kolektif ke pemerintah agar tarif BPJS benar-benar mencerminkan: Beban kerja dokter dan tim medis, Risiko medikolegal, Kebutuhan fasilitas dan peralatan, Standar pelayanan profesional.
Dengan data ilmiah dan argumentasi moral yang kuat, organisasi profesi dapat memperjuangkan revisi tarif yang adil, rasional, dan berorientasi mutu pelayanan.
✳️ Kesimpulan
Tarif operasi BPJS yang rendah bukan karena dokter tidak dihargai, tapi karena sistem pembayarannya memang tidak disusun berdasarkan realitas klinis dan kompleksitas tindakan.
Sistem ini dibuat oleh pemerintah (Kemenkes dan DJSN) dengan orientasi makro — pemerataan akses — bukan penghargaan profesi.
Namun ke depan, profesi medis perlu bersatu dan bersuara kuat, agar perhitungan tarif kesehatan tidak hanya adil bagi negara dan pasien, tetapi juga adil bagi tenaga medis yang bekerja dengan ilmu, tenaga, dan tanggung jawab hukum yang berat.
Tarif murah BPJS bukan hanya soal angka, tapi soal penghargaan terhadap profesi dan kualitas layanan kesehatan bangsa.
Sudah saatnya organisasi profesi dokter spesialis (Perhati-KL) mengambil posisi strategis dan aktif dalam setiap proses penetapan kebijakan tarif kesehatan nasional — bukan hanya sebagai penonton, tetapi sebagai penjaga martabat profesi dan mutu pelayanan medis di Indonesia.