Ketika BMKG Ingatkan Lagi Potensi Megathrust: Energi Besar Itu, Tinggal Menunggu Waktu

Breaking News
- Advertisement -

Di sepanjang pesisir selatan Jawa, ombak terus memukul karang. Di bawah laut yang tampak tenang, bumi menyimpan tekanan besar yang suatu hari akan dilepaskan—dan pertanyaannya, sudahkah kita benar-benar siap?

MUDANEWS.COM – Jakarta | Di sepanjang pesisir selatan Jawa, ombak tak pernah berhenti memukul karang. Di bawah laut yang tampak tenang itu, “nun di bawah sana” energi besar tersimpan—dan menurut BMKG, tinggal menunggu waktu untuk dilepaskan.

Peringatan itu kembali datang dari Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG). Lembaga ini menegaskan, Indonesia memiliki sejumlah zona megathrust aktif yang sudah lama tidak melepaskan energi besar, mulai dari Aceh-Andaman hingga Papua.

“Sebetulnya isu megathrust itu bukan hal baru,” ujar Kepala BMKG, Dwikorita Karnawati, dalam kegiatan Sekolah Lapang Gempa Bumi dan Tsunami (SLG) di Kulon Progo, Yogyakarta. “Tapi kenapa BMKG dan para pakar terus mengingatkan? Karena kita tidak boleh hanya bicara, tapi juga harus segera mitigasi.”

Tinggal Menunggu Waktu

Dalam penjelasan ilmiahnya, BMKG menyebut megathrust sebagai zona pertemuan dua lempeng tektonik—satu lempeng menyusup ke bawah lainnya. Proses ini menimbulkan penumpukan energi yang, jika dilepaskan, bisa memicu gempa kuat bahkan tsunami.

Beberapa segmen, kata BMKG, sudah lama tidak aktif. Segmen Selat Sunda terakhir kali melepaskan energi besar pada 1757, sementara segmen Mentawai-Siberut tidak aktif sejak 1797. Kondisi ini disebut seismic gap, wilayah yang lama tidak mengalami gempa besar, tetapi justru menyimpan potensi energi tinggi.

Peta resmi BMKG memperlihatkan 13 zona megathrust di sepanjang kepulauan Indonesia. Di antaranya, Megathrust Aceh-Andaman (potensi magnitudo hingga 9,2), Nias-Simeulue (8,7), Mentawai-Siberut (8,9), Enggano (8,4), Selat Sunda (8,7), dan Papua (8,7).

Ancaman dari Selatan Jawa

Selain Sumatra, kawasan selatan Jawa menjadi fokus peringatan baru. Dalam riset Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN), peneliti Pusat Riset Kebencanaan Geologi Nuraini Rahma Hanifa menyebut pelepasan energi di zona subduksi selatan Jawa Barat hingga Selat Sunda berpotensi menimbulkan gempa hingga M8,7 dan memicu tsunami besar.

“Semua pesisir Banten akan terdampak, hanya saja tinggi tsunaminya berbeda-beda,” kata Rahma.
Menurutnya, gelombang di Banten bisa mencapai 4–8 meter, sementara di Lampung bisa lebih tinggi. Bahkan, jika terjadi di sekitar Pangandaran, gelombang bisa menjalar hingga pesisir Jakarta dengan ketinggian 1–1,8 meter dan tiba sekitar 2,5 jam setelah gempa.

Kondisi itu membuat masyarakat selatan Jawa hingga Banten diminta memahami jalur evakuasi dan membangun budaya siaga bencana sejak dini.

Kesiapsiagaan dan Teknologi Peringatan Dini

BMKG menegaskan bahwa hingga kini belum ada teknologi yang bisa memprediksi kapan dan di mana gempa akan terjadi. Istilah “tinggal menunggu waktu” bukanlah ramalan, melainkan pernyataan ilmiah bahwa energi besar telah lama tersimpan dan berpotensi dilepaskan.

Sebagai langkah mitigasi, BMKG mengembangkan Indonesia Earthquake Early Warning System (INA-EEWS) yang terdiri dari 222 sensor di seluruh Indonesia. Sistem ini dapat memberikan peringatan 20 detik sebelum guncangan besar terjadi.

“Kalau terlalu dekat dengan pusat gempa, waktu itu tidak cukup untuk menghindari guncangan,” jelas BMKG. “Karena itu, jangan tunggu peringatan. Saat bumi mulai berguncang kuat, lindungi diri segera.”

Dari Yogyakarta, Pesan Kesiapsiagaan

Daerah Istimewa Yogyakarta disebut sebagai wilayah dengan aktivitas seismik tinggi. Dalam sepuluh tahun terakhir, tercatat 114 kejadian gempa di atas magnitudo 5, dua di antaranya merusak, dan 44 kali guncangan dirasakan masyarakat.

Dwikorita menyebut, pembangunan Yogyakarta International Airport (YIA) di Kulon Progo dirancang khusus untuk tahan terhadap ancaman megathrust dan tsunami. “Keberadaan YIA adalah simbol kesiapsiagaan bencana,” ujarnya.

Selain itu, BMKG terus memperluas program edukasi seperti Masyarakat Siaga Tsunami dan BMKG Goes To School. Hingga kini, program ini telah menjangkau 166 sekolah dan lebih dari 20 ribu peserta, serta enam desa di Yogyakarta yang telah diakui UNESCO sebagai masyarakat tangguh tsunami.

Penutup: Bukan Sekadar Peringatan

“Bencana memang tidak bisa dicegah,” kata Dwikorita, “tetapi dampaknya bisa dikurangi.”
Pesan itu sederhana namun tegas—karena di negeri yang berdiri di atas pertemuan lempeng dunia ini, kesiapsiagaan bukan pilihan, tapi keharusan.

BMKG hanya mengingatkan; sisanya, tergantung bagaimana kita membaca tanda-tanda alam, dan mau belajar dari sejarah sebelum bumi kembali bicara.

[Red] –sumber resmi BMKG dan CNBC Indonesia

Berita Terkini