Pemeriksaan DNA, Etika Pejabat Publik, dan Refleksi Moralitas Bangsa

Breaking News
- Advertisement -

 

Oleh : Anton Christanto
Pemerhati dan Pengamat Sosial Politik di Boyolali

Mudanews.com OPINI – Innaalillahi wa innaa ilaihi raaji’un. Kalimat ini biasa kita ucapkan ketika mendengar berita duka, tetapi dalam konteks sosial-politik kita, rasa duka itu kadang muncul bukan hanya karena kehilangan orang tercinta, melainkan juga karena kehilangan teladan dari sosok-sosok yang seharusnya menjadi panutan bangsa. Kasus pemeriksaan DNA yang menyeret nama Ridwan Kamil, seorang pejabat publik yang selama ini dipersepsikan sebagai figur intelektual, modern, dan religius, telah menghadirkan kegaduhan di ruang publik. Bukan sekadar karena hasil pemeriksaan yang dinyatakan tidak cocok, melainkan karena fakta bahwa beliau bersedia menjalani tes DNA—sebuah keputusan yang di mata masyarakat luas mengandung tanda tanya besar: mengapa seorang pejabat, dengan segala status, kedudukan, dan kehormatan, sampai perlu menundukkan diri pada pemeriksaan yang berkaitan dengan isu asusila?

Tulisan ini tidak bermaksud menghakimi individu, tetapi mencoba membedah fenomena ini secara ilmiah, sosial, dan filosofis. Karena yang dipertaruhkan bukan hanya nama pribadi, tetapi juga integritas pejabat publik, kepercayaan rakyat terhadap institusi negara, dan standar moralitas bangsa.

DNA sebagai Bukti Ilmiah dan Sosial

Pemeriksaan DNA (Deoxyribonucleic Acid) adalah salah satu instrumen paling akurat dalam dunia ilmu forensik. Ia digunakan untuk identifikasi jenazah, pembuktian kasus kriminal, hingga penetapan status biologis dalam sengketa keluarga. Akurasinya mendekati 99,99%, sehingga hasil tes DNA kerap dianggap sebagai “bukti ilmiah tertinggi”.

Namun, di balik keakuratan ilmiah itu, terdapat dimensi sosial yang jauh lebih rumit. Persoalan DNA tidak hanya menyangkut sains, tetapi juga martabat, privasi, dan kehormatan. Ketika seseorang bersedia menjalani pemeriksaan DNA dalam konteks dugaan zina atau hubungan gelap, publik segera menghubungkan tindakan itu dengan pengakuan implisit: bahwa ada alasan kuat sehingga ia tidak bisa menolak.

Dalam kasus RK, publik mungkin tidak akan mempermasalahkan hasil yang akhirnya “tidak ada kecocokan”. Tetapi pertanyaan yang jauh lebih mendasar adalah: mengapa sampai perlu diuji? Mengapa seorang pejabat dengan jabatan tinggi harus menundukkan diri pada mekanisme yang sejatinya hanya wajar dilakukan oleh pihak yang memang memiliki keterkaitan? Bukankah penolakan untuk tes bisa menjadi bentuk ketegasan menjaga martabat? Ataukah justru dengan menolak, ia akan dianggap “menyembunyikan sesuatu”?

Inilah dilema moral yang membelit: bukan soal positif atau negatif, tetapi soal kerelaan dites. Kerelaan itu, bagi sebagian orang, sudah cukup dianggap sebagai pengakuan terselubung bahwa terdapat keterlibatan personal.

Jejak Moral Pejabat Publik

Pejabat publik, dalam tradisi politik modern, tidak hanya berfungsi sebagai pengelola birokrasi, melainkan juga sebagai simbol moral bangsa. Seorang pejabat tinggi harus sadar bahwa setiap tindak-tanduknya—bahkan yang paling privat—akan dipantau, dikomentari, dan ditafsirkan publik.

Dalam kasus ini, yang disorot bukan sekadar dugaan zina, tetapi ketidakpantasan moral seorang pemimpin. Pertanyaannya: segitukah perilaku pejabat di negeri ini, sehingga kesediaan menjalani tes DNA atas tuduhan zina seolah dianggap hal biasa?

Padahal, gaji seorang pejabat jelas berada di atas Upah Minimum Regional (UMR). Mereka memiliki fasilitas rumah, kendaraan, perjalanan dinas, hingga protokoler yang menjamin kenyamanan hidup. Jika dibandingkan dengan rakyat biasa—terutama kaum intelektual yang pintar, berintegritas, tetapi sering tidak memperoleh upah layak—jurang keadilan ini semakin nyata.

Betapa menyakitkan bagi rakyat ketika melihat pejabat dengan gaji ratusan juta, justru terseret isu moral yang remeh tetapi memalukan, sementara banyak orang baik justru tidak memperoleh kesempatan hidup layak.

Dimensi Hukum: Zina, Pengakuan, dan Konsekuensi

Dalam kerangka hukum, khususnya hukum Islam yang diadopsi sebagian oleh KUHP Indonesia (walau terbatas), zina adalah tindak pidana yang berat. Namun, pembuktiannya tidak sederhana: diperlukan empat orang saksi laki-laki yang adil, atau pengakuan dari pelaku sendiri. Tes DNA tidak pernah disebut dalam nash sebagai bukti zina, tetapi dalam konteks kontemporer, ia sering dipakai dalam kasus perdata (misalnya sengketa anak).

Kesediaan RK menjalani tes DNA sesungguhnya bukan bukti sah menurut syariat, tetapi secara sosial ia menjadi pengakuan terselubung. Apalagi ketika hasilnya diumumkan “tidak cocok”, publik justru bertanya: kalau memang tidak cocok, mengapa sejak awal harus diuji?

Dari perspektif hukum positif, kesediaan itu tidak menimbulkan konsekuensi pidana, tetapi dari perspektif etika pejabat publik, ini bisa dianggap pelanggaran moral yang serius. Karena pejabat tidak boleh menempatkan dirinya dalam posisi abu-abu yang merugikan citra negara.

Refleksi Sosiologis: Krisis Keteladanan

Kasus ini adalah cerminan krisis keteladanan di negeri ini. Kita hidup di negara dengan mayoritas Muslim, tetapi kasus pejabat terjerat isu zina, poligami terselubung, atau perselingkuhan bukan hal asing.

Fenomena ini menunjukkan adanya gap antara moralitas simbolik dan moralitas substantif. Di depan publik, pejabat sering menampilkan citra religius: memakai bahasa agama, memimpin doa, bahkan menjadi tokoh inspiratif. Tetapi dalam praktik, ada perilaku privat yang kontradiktif.

Rakyat kecil, yang hidup pas-pasan, justru sering menunjukkan moralitas yang lebih lurus. Banyak buruh, petani, dan pekerja sederhana yang tetap setia pada pasangan, tetap menjaga kehormatan keluarga, meski hidup serba sulit. Ironisnya, pejabat yang bergelimang fasilitas justru gagal menjaga kesetiaan.

Inilah yang membuat masyarakat merasa dikhianati: keadilan moral lebih menyakitkan daripada keadilan ekonomi.

Perspektif Filosofis: Kekuasaan, Nafsu, dan Tanggung Jawab

Sejak zaman Yunani Kuno, filsuf seperti Plato dan Aristoteles sudah mengingatkan bahwa kekuasaan adalah ujian terbesar bagi moralitas manusia. Kekuasaan bukan hanya soal mengatur negara, tetapi juga soal mengendalikan diri.

Filsuf Muslim seperti Al-Ghazali menekankan bahwa pemimpin adalah bayangan Tuhan di bumi (zillullah fil-ardh). Jika pemimpin rusak moralnya, maka rusak pula rakyat yang dipimpinnya.

Dalam kerangka itu, kasus RK memperlihatkan rapuhnya pengendalian diri seorang pejabat. Ujian kekuasaan bukan hanya datang dari korupsi, melainkan juga dari nafsu pribadi. Seorang pemimpin yang gagal menjaga diri dari godaan seksual sesungguhnya gagal pada ujian paling elementer: menguasai diri sendiri.

Dampak Psikologis dan Politik

Kasus ini tidak hanya berdampak pada pribadi RK, tetapi juga pada psikologi publik. Rakyat kehilangan teladan, media sosial penuh dengan cemoohan, dan lawan politik mendapat amunisi baru. Dalam jangka panjang, kasus seperti ini bisa menurunkan trust publik terhadap lembaga negara, karena pejabat dianggap sama sekali tidak berbeda dari manusia biasa yang penuh kelemahan.

Lebih jauh, jika kasus ini tidak ditangani dengan jernih, ia bisa menjadi preseden buruk: bahwa pejabat boleh saja terlibat isu moral, selama ada “klarifikasi ilmiah” berupa tes DNA. Padahal, dalam standar etika global, seorang pejabat seharusnya mundur jika citranya tercemar, meskipun belum tentu terbukti secara hukum.

Krisis Moral Lebih Berat daripada Krisis Ekonomi

Pada akhirnya, kasus ini menyadarkan kita bahwa krisis terbesar bangsa bukan hanya krisis ekonomi atau politik, melainkan krisis moralitas pejabat publik. Seorang pejabat yang gajinya jauh di atas UMR, memiliki segala fasilitas negara, seharusnya mampu menjadi teladan. Tetapi ketika ia justru terjebak dalam isu zina, maka luka bangsa semakin dalam.

Kita mungkin bisa memaafkan kesalahan teknis birokrasi, keterlambatan pembangunan, atau kekeliruan kebijakan. Tetapi sulit memaafkan pengkhianatan moral, karena ia menyangkut teladan.

Dalam konteks ini, kasus RK bukan lagi soal “DNA cocok atau tidak cocok”, melainkan soal kesediaan dites—yang oleh publik dipersepsikan sebagai pengakuan. Dan itulah tragedi moral kita hari ini: pejabat yang seharusnya menjaga kehormatan justru membuka ruang bagi keruntuhan martabatnya sendiri.

Berita Terkini