Retorika Subsidi: Antara Panggung Politik dan Realitas Fiskal

Breaking News
- Advertisement -

 

Oleh : Anton Christanto
Pemerhati dan Pengamat Sosial Politik di Boyolali

Mudanews.com OPINI -Istilah subsidi dalam politik anggaran selalu diposisikan sebagai bentuk kemurahan hati pemerintah. Kata itu membawa nuansa positif: negara rela mengorbankan anggarannya demi meringankan beban rakyat. Dalam konteks BPJS Kesehatan, subsidi PBI memang diarahkan untuk menanggung premi masyarakat miskin dan rentan.

Namun, persoalannya muncul ketika angka subsidi itu diproyeksikan ke publik seakan-akan negara sedang “menafkahi” rakyat dengan tulus. Padahal, secara bersamaan, negara menikmati arus dana ratusan triliun rupiah setiap tahun melalui kewajiban investasi dana kelolaan BPJS ke dalam SBN.

Secara retoris, pemerintah mengumumkan subsidi Rp 69 triliun. Tetapi realitas fiskalnya menunjukkan bahwa negara memperoleh dana jauh lebih besar—dan dalam jangka panjang, likuiditas yang didapatkan bahkan tak ternilai harganya. Maka, istilah subsidi sebetulnya hanyalah kosmetik politik yang berfungsi memperindah citra pemerintah, bukan cermin dari keseluruhan arus keuangan antara rakyat dan negara.

BPJS Sebagai “ATM” Pemerintah

BPJS Kesehatan bukan sekadar lembaga penyelenggara jaminan sosial. Dengan total peserta lebih dari 250 juta jiwa (hampir seluruh rakyat Indonesia), badan ini menjadi pengelola dana raksasa yang mengalir dari iuran bulanan.

Berdasarkan laporan publik, dana kelolaan BPJS Kesehatan dan BPJS Ketenagakerjaan mencapai kisaran Rp 500–800 triliun. Sesuai regulasi OJK dan aturan internal, sebagian besar dana itu wajib ditempatkan pada instrumen yang dianggap aman, yaitu SBN (Surat Berharga Negara). Alasan resminya jelas: demi menjaga likuiditas dan menghindari risiko investasi spekulatif.

Tetapi di balik alasan keamanan itu, terdapat fakta yang jauh lebih penting: BPJS menjadi captive buyer (pembeli wajib) bagi obligasi pemerintah. Ratusan triliun rupiah dana rakyat otomatis mengalir ke kas negara dalam bentuk pembelian obligasi. Pemerintah mendapatkan dana segar untuk menutup defisit APBN, membayar cicilan utang, maupun membiayai belanja rutin—tanpa perlu khawatir kekurangan investor.

Dengan mekanisme ini, BPJS praktis menjadi ATM abadi bagi pemerintah. Dana iuran rakyat, yang semestinya digunakan penuh untuk membiayai layanan kesehatan, terlebih dahulu diputar untuk menopang likuiditas negara. Klaim subsidi Rp 69 triliun pun tampak mengecil bila dibandingkan dengan arus dana ratusan triliun yang mengalir ke APBN setiap tahun.

Industri Asuransi: Mesin Likuiditas Paksa untuk Negara

BPJS bukan satu-satunya pihak yang “dipaksa” menjadi pembeli SBN. Regulasi OJK juga mewajibkan industri asuransi di Indonesia untuk menempatkan minimal 30% dari dana kelolaannya ke dalam instrumen SBN.

Industri asuransi di Indonesia, baik asuransi jiwa, kesehatan swasta, maupun asuransi umum, memiliki dana kelolaan yang mencapai ribuan triliun rupiah. Bayangkan skala kekuatan finansial itu. Dengan aturan wajib 30%, otomatis ratusan hingga ribuan triliun dana masyarakat diparkir di obligasi pemerintah.

Alasannya sama: SBN dianggap instrumen paling aman, likuid, dan bebas dari risiko gagal bayar. Namun, dalam praktiknya, aturan ini sekaligus memastikan bahwa negara memiliki captive market tambahan di luar BPJS. Tidak peduli bagaimana kondisi pasar modal atau minat investor asing, pemerintah bisa tetap tenang: selalu ada dana besar dari BPJS dan perusahaan asuransi untuk diserap.

Dengan demikian, retorika subsidi Rp 69 triliun tampak semakin kecil nilainya. Sebab, bila ditotal, dana yang mengalir ke pemerintah dari BPJS dan industri asuransi jauh melampaui angka subsidi tersebut.

Analisis Perbandingan Angka: Siapa Mensubsidi Siapa?

Mari kita lakukan hitung-hitungan sederhana:
1. Subsidi BPJS Kesehatan: Rp 69 triliun (2024).
2. Dana BPJS di SBN: Rp 500–800 triliun.
3. Dana industri asuransi di SBN: Ratusan triliun hingga ribuan triliun.
Dengan perbandingan kasar ini, terlihat jelas bahwa klaim subsidi Rp 69 triliun hanyalah uang kembalian dari dana rakyat yang jauh lebih besar. Pemerintah menikmati rente fiskal dengan bunga relatif rendah karena pasarnya captive.

Ironinya, dana yang semestinya digunakan penuh untuk meningkatkan layanan kesehatan rakyat justru menjadi instrumen penopang utang negara. Tidak mengherankan bila kualitas pelayanan BPJS kerap menuai kritik: rumah sakit menjerit karena klaim tersendat, peserta mengeluh karena antrean panjang, tetapi dana besar tetap terserap oleh obligasi pemerintah.

Implikasi Fiskal dan Politik

Dari sudut pandang fiskal, skema ini memang menguntungkan negara. Pemerintah bisa memperoleh likuiditas stabil tanpa perlu bersaing ketat di pasar obligasi global. Risiko fluktuasi pasar juga berkurang karena ada pembeli pasti di dalam negeri.

Namun, dari sudut pandang politik, praktik ini menimbulkan persoalan serius. Pertama, ia menciptakan ilusi subsidi yang membius rakyat. Publik disuguhi narasi bahwa negara “berkorban”, padahal kenyataannya rakyatlah yang menjadi donatur utama negara. Kedua, ia menimbulkan ketidakadilan: rakyat kecil yang diwajibkan membayar iuran BPJS, buruh yang dipotong gajinya, maupun nasabah asuransi yang membayar premi—semua terlibat dalam menopang fiskal negara tanpa pernah diberi kesempatan memilih.

Skema ini juga menimbulkan risiko moral hazard. Karena selalu ada pembeli captive, pemerintah bisa lebih mudah menambah utang tanpa khawatir gagal mencari investor. Utang negara terus menanjak, sementara rakyat tidak pernah benar-benar memahami bahwa sebagian besar likuiditas itu berasal dari kantong mereka sendiri.

Perspektif Teori Ekonomi & Kebijakan Publik

Secara teori, kebijakan ini bisa dipahami sebagai bentuk financial repression—situasi ketika pemerintah menggunakan instrumen regulasi untuk memaksa sektor keuangan domestik menyalurkan dana ke dalam instrumen negara. Praktik ini memang lazim di banyak negara berkembang, tetapi selalu menimbulkan dilema antara efisiensi ekonomi dan kontrol fiskal.

Dalam literatur ekonomi, financial repression sering dikritik karena mengurangi pilihan investasi sektor swasta dan merugikan pemilik dana. Dana yang semestinya bisa disalurkan ke sektor produktif (misalnya pembiayaan UMKM atau infrastruktur kesehatan) justru tersedot ke obligasi negara. Akibatnya, potensi pertumbuhan ekonomi jangka panjang bisa terhambat.

Dalam konteks Indonesia, praktik ini diperparah oleh retorika subsidi. Alih-alih menjelaskan kepada publik bahwa dana BPJS dan asuransi digunakan untuk menopang APBN, pemerintah justru membangun narasi seolah-olah ia sedang “memberi hadiah” kepada rakyat.

Kritik terhadap Narasi Pemerintah

Ada beberapa kritik fundamental terhadap narasi “subsidi Rp 69 triliun”:
1. Tidak proporsional: Angka subsidi sangat kecil dibandingkan dengan dana yang disedot negara melalui SBN.
2. Menyesatkan publik: Narasi subsidi menutupi fakta bahwa rakyatlah yang menjadi sumber likuiditas negara.
3. Mengorbankan layanan publik: Dana besar yang semestinya bisa dipakai langsung untuk meningkatkan kualitas pelayanan kesehatan justru digunakan menutup defisit fiskal.
4. Menciptakan ketergantungan politik: Pemerintah cenderung mengandalkan captive market domestik, sehingga mengurangi dorongan untuk melakukan reformasi fiskal yang sesungguhnya.

KESIMPULAN

Dari uraian panjang di atas, dapat ditarik kesimpulan bahwa klaim subsidi BPJS Kesehatan sebesar Rp 69 triliun hanyalah ilusi retoris. Dalam realitasnya, negara justru menikmati arus dana jauh lebih besar dari rakyat melalui mekanisme wajib pembelian SBN oleh BPJS dan industri asuransi.

Dengan kata lain, rakyat tidak sedang menerima subsidi, melainkan justru mensubsidi negara. Klaim Rp 69 triliun itu hanyalah “uang kembalian” dari ratusan triliun yang sudah lebih dahulu disedot negara.

Oleh karena itu, perlu ada koreksi serius terhadap narasi kebijakan publik di Indonesia. Pemerintah seharusnya lebih jujur kepada rakyat tentang bagaimana mekanisme keuangan ini bekerja. Transparansi, akuntabilitas, serta perbaikan kualitas layanan publik harus menjadi prioritas.

Rakyat berhak tahu: BPJS dan asuransi bukan hanya lembaga perlindungan sosial, tetapi juga instrumen fiskal tersembunyi yang menopang APBN. Dan selama narasi subsidi terus dipelihara, selama itu pula ilusi politik akan menutupi fakta bahwa rakyatlah yang sebenarnya menjadi bank murah permanen bagi negara.

Berita Terkini