Oleh : Anton Christanto
Pemerhati dan Pengamat Sosial Politik di Boyolali
Di Balik Janji Besar Produksi Dokter
Mudanews.com OPINI – Indonesia saat ini menghadapi sebuah paradoks besar dalam sistem kesehatannya. Di satu sisi, kebutuhan masyarakat akan layanan kesehatan semakin tinggi: angka harapan hidup naik, beban penyakit menular dan tidak menular bertumpuk, sementara infrastruktur kesehatan kian meluas. Di sisi lain, jumlah dokter – baik dokter umum maupun dokter spesialis – masih jauh dari standar ideal.
Menurut data terakhir Kementerian Kesehatan (2024), Indonesia memiliki rasio dokter sekitar 0,47 per 1.000 penduduk, jauh di bawah standar minimal WHO yaitu 1 dokter per 1.000 penduduk. Artinya, dengan populasi lebih dari 280 juta jiwa, Indonesia masih kekurangan ratusan ribu dokter. Belum lagi soal distribusi: sebagian besar dokter terkonsentrasi di Jawa, Bali, dan kota-kota besar, sementara daerah 3T (tertinggal, terdepan, terluar) mengalami defisit tenaga medis kronis.
Inilah yang mendorong Presiden Prabowo Subianto bersama Menteri Kesehatan dr. Budi Gunadi Sadikin (BGS) meluncurkan kebijakan percepatan produksi dokter. Kebijakan ini dikemas dalam rencana pembukaan 148 program studi baru (125 spesialis, 23 subspesialis, dan 25 fakultas kedokteran baru). Tujuannya jelas: memperbanyak suplai dokter dalam waktu cepat agar rasio mendekati standar global.
Namun di balik janji besar ini, terselip pertanyaan mendasar: apakah Indonesia sedang berlari di jalur yang benar, atau justru berisiko mencetak “dokter setengah matang”? Di sinilah peran Kolegium Kedokteran Indonesia menjadi sangat vital: sebagai penjaga mutu, pengawal standar kompetensi, dan benteng terakhir agar profesi dokter tidak terjebak pada logika kuantitas semata.
Kebutuhan Nyata Dokter: Lebih dari Sekadar Angka
Kekurangan dokter bukan hanya masalah statistik. Ia berwujud nyata dalam kehidupan masyarakat sehari-hari.
Di pedesaan Kalimantan atau Papua, pasien sering menunggu berjam-jam bahkan berhari-hari untuk mendapatkan dokter.
Di rumah sakit kabupaten, pasien dengan penyakit kompleks sering harus dirujuk ke kota besar karena tidak ada spesialis di tempat.
Di ruang gawat darurat, antrian panjang pasien menumpuk karena tenaga dokter yang terbatas.
Kebutuhan ini bukan hanya soal jumlah dokter umum, tetapi juga dokter spesialis. Misalnya, menurut data IDI, Indonesia kekurangan ribuan dokter anestesi, obgyn, THT, bedah, penyakit dalam, hingga psikiatri. Padahal, tanpa dokter spesialis ini, rumah sakit tipe B dan C sulit berfungsi optimal.
Ketimpangan distribusi memperparah masalah. Lebih dari 70% dokter terkonsentrasi di Jawa, padahal lebih dari separuh penduduk Indonesia tinggal di luar Jawa. Akibatnya, kesenjangan layanan kesehatan antarwilayah semakin lebar.
Kebijakan Percepatan: Ambisi Besar, Risiko Besar
Menkes Budi Gunadi Sadikin menawarkan solusi ambisius: membuka 148 program studi baru untuk mempercepat suplai dokter. Kebijakan ini tentu menggembirakan banyak pihak, terutama masyarakat yang haus layanan kesehatan.
Namun, kebijakan ini mengandung risiko besar:
1. Fasilitas pendidikan yang belum merata
Banyak rumah sakit pendidikan di daerah belum memiliki infrastruktur memadai. Membuka program studi baru tanpa basis rumah sakit yang kuat berpotensi melahirkan dokter dengan pengalaman klinis terbatas.
2. Keterbatasan dosen dan pengajar
Dokter spesialis senior yang berperan sebagai pengajar jumlahnya terbatas. Jika jumlah prodi meledak, siapa yang akan membimbing mahasiswa?
3. Biaya pendidikan tinggi
Percepatan tanpa subsidi hanya akan menambah biaya pendidikan, membuat kuliah kedokteran tetap elitis, dan memperbesar kesenjangan sosial.
4. Standar akreditasi dan kualitas lulusan
Membuka prodi baru itu mudah di atas kertas, tetapi memastikan kualitas lulusan jauh lebih sulit. Tanpa pengawasan ketat, kita berisiko mencetak lulusan dengan standar kompetensi rendah.
Problem Struktural Pendidikan Kedokteran
Pendidikan kedokteran di Indonesia menghadapi sejumlah masalah mendasar:
* Biaya mahal: Kuliah kedokteran bisa menelan ratusan juta rupiah, membuatnya sulit dijangkau oleh masyarakat kelas bawah.
* Akreditasi tidak merata: Tidak semua fakultas kedokteran memiliki akreditasi unggul.
* Ketergantungan pada RS Pendidikan tertentu: Konsentrasi RS pendidikan di kota besar membuat mahasiswa dari daerah sulit mendapat pengalaman klinis yang variatif.
* Regulasi berlapis: Pendidikan kedokteran diatur oleh banyak lembaga: Kemenkes, Kemendikbud, LAM-PTKes, KKI, IDI, dan tentu saja Kolegium. Koordinasi antar lembaga seringkali lemah.
Peranan Kolegium: Benteng Mutu Profesi
Di tengah ambisi percepatan, Kolegium Kedokteran Indonesia memegang peran kunci. Kolegium adalah lembaga profesi yang bertanggung jawab mengembangkan kurikulum, standar kompetensi, serta uji kompetensi. Dengan kata lain, Kolegium adalah penjaga gerbang kualitas.
Tugas utama Kolegium:
1. Menentukan standar kompetensi: Apa yang harus dikuasai seorang dokter atau spesialis sebelum bisa praktik.
2. Merancang kurikulum: Agar pendidikan tidak hanya teoretis, tetapi juga klinis, etis, dan profesional.
3. Mengawasi Uji Kompetensi: Seperti UKDI (Uji Kompetensi Dokter Indonesia) yang menjadi syarat utama kelulusan.
4. Menjamin kesinambungan pendidikan: Termasuk pendidikan berkelanjutan (continuing medical education).
Dalam konteks percepatan produksi dokter, Kolegium harus berperan ganda:
* Mengawal agar percepatan tidak mengorbankan mutu.
* Menyusun kurikulum adaptif yang bisa mempercepat proses pendidikan tanpa menurunkan kualitas.
* Menjaga independensi profesi agar tidak tunduk sepenuhnya pada kepentingan politik jangka pendek.
Kritik dan Kekhawatiran
Banyak akademisi dan praktisi kesehatan menyuarakan kritik:
“Dokter bukan barang pabrikan.” Membuat dokter bukan sekadar membuka kelas baru, tapi butuh waktu, pengalaman, dan pengawasan klinis yang intensif.
Mutu vs kuantitas: Jika terlalu fokus pada jumlah, Indonesia bisa menghasilkan dokter yang tidak siap menghadapi tantangan medis.
Politisasi profesi: Percepatan ini bisa dipandang sebagai proyek politik, bukan murni kebijakan kesehatan berbasis bukti.
Risiko hukum: Dokter yang kurang kompeten lebih rentan menghadapi kasus medikolegal, yang justru akan membebani sistem kesehatan.
Rekomendasi Solusi
Agar kebijakan percepatan tidak menjadi bumerang, beberapa langkah strategis perlu dilakukan:
1. Kolaborasi lintas lembaga
Menkes, Kemendikbud, Kolegium, KKI, IDI, FK, dan RS pendidikan harus duduk satu meja menyusun peta jalan.
2. Pemetaan kebutuhan berbasis daerah
Jangan sekadar membuka prodi baru, tetapi lakukan human resources planning per provinsi. Misalnya, berapa kebutuhan anestesi di NTT, berapa kebutuhan obgyn di Papua, dan seterusnya.
3. Insentif distribusi dokter
Berikan insentif finansial dan karier bagi dokter yang mau bertugas di daerah 3T.
4. Reformasi biaya pendidikan
Perlu program beasiswa, subsidi silang, atau skema asuransi pendidikan agar kuliah kedokteran tidak hanya jadi milik orang kaya.
5. Penguatan peran Kolegium
Kolegium harus diberi mandat lebih besar untuk mengawasi prodi baru, memastikan kurikulum terstandar, serta menegakkan uji kompetensi nasional.
6. Perlindungan hukum bagi dokter
Dengan percepatan produksi, potensi risiko medikolegal juga naik. Organisasi profesi seperti IDI, Perhati-KL, dan BHP2A harus memperkuat skema perlindungan hukum dan asuransi tanggung gugat profesi.
Pesan yang Ingin Disampaikan :
Percepatan produksi dokter adalah kebutuhan nyata bagi Indonesia. Namun, kebijakan ini harus dilaksanakan dengan penuh kehati-hatian. Jika hanya mengejar angka, kita berisiko mencetak dokter tanpa kualitas yang memadai.
Kolegium Kedokteran Indonesia menjadi benteng terakhir yang memastikan profesi dokter tetap bermartabat, kompeten, dan diakui dunia internasional. Pemerintah boleh ambisius dalam kuantitas, tetapi kualitas harus tetap dijaga. Sebab, dalam dunia kedokteran, kesalahan sekecil apapun bisa berujung pada hilangnya nyawa manusia.
Masyarakat tentu mendukung hadirnya lebih banyak dokter. Tetapi masyarakat juga berhak mendapat dokter yang terlatih, profesional, dan memiliki standar kompetensi tinggi. Di sinilah kolaborasi negara dan profesi harus berjalan seimbang: jumlah boleh dipercepat, kualitas tidak boleh dikompromikan.