Degradasi Profesi Kedokteran Dan Akuisisi Bidang Kesehatan Adalah Konsekuensi Logis UU Kesehatan No 17 Tahun 2023 

Breaking News
- Advertisement -

 

 

Penulis : Anton Christanto  Wakil Ketua III Pengurus Perhati-KL Pusat 2022-2025

Prolog
Dokter, Kelapa, dan Sistem yang Memeras

Mudanews.com OPINI – Indonesia tidak kekurangan dokter-dokter baik. Seperti pohon kelapa yang tumbuh menjulang, profesi ini lahir dari benih ketekunan, dipupuk oleh pengorbanan, dan dibesarkan oleh ujian yang panjang. Di balik setiap jas putih, ada cerita tentang malam tanpa tidur, perjuangan menghadapi sakit dan kematian, hingga janji suci untuk menyelamatkan kehidupan.

Namun hari ini, profesi itu menghadapi ancaman baru: diperlakukan sebagai bahan perasan dalam mesin industrialisasi kesehatan. Dokter bukan lagi subjek mulia dalam pelayanan kesehatan. Mereka dijadikan objek. Mereka direduksi menjadi angka. Mereka disulap menjadi pelayan sistem yang menjadikan kesehatan sebagai komoditas.

Di balik program populis yang dipoles rapi oleh Menteri Kesehatan Budi Gunadi Sadikin (BGS), tersembunyi sebuah misi besar: mendegradasi profesi dokter menjadi sekadar alat produksi dalam pabrik kesehatan raksasa. Semua dibungkus dalam retorika “modernisasi” dan “keadilan akses”, tapi hakikatnya adalah akuisisi total atas tubuh, jiwa, dan makna profesi dokter.

1. Ilusi Teknologi dan Propaganda High-Tech

BGS memahami satu hal penting: kepercayaan publik terhadap sistem kesehatan telah lama retak. Masyarakat mengeluh mahal, lambat, dan tidak manusiawi. Maka, seperti pedagang ulung, ia menjual ilusi: seolah-olah teknologi canggih adalah jawaban atas semua problem kesehatan.

Narasi pun dibangun:
* Negara harus memiliki MRI, CT-Scan, robot bedah.
* Rumah sakit harus modern agar rakyat tidak berobat ke luar negeri.
* Teknologi setara modernitas.

Tapi ada yang luput: Teknologi tanpa manusia yang beretika adalah kehampaan. Dokter bukan hanya operator mesin. Mereka adalah jembatan antara ilmu dan kemanusiaan. Ketika dokter direduksi menjadi sekadar tukang pencet tombol atau pencatat angka produksi, maka pelayanan kesehatan kehilangan ruhnya.

2. Akuisisi Sistem Kesehatan: Hulu-Hilirisasi Versi BGS

Di balik narasi populis itu, berjalan misi yang lebih dalam: menguasai sistem dari hulu hingga hilir. Ini bukan sekadar soal membeli alat, tapi mengendalikan sistem pendidikan, distribusi tenaga kesehatan, hingga layanan.
* Pendidikan Kedokteran diintervensi dengan pembentukan Kolegium Kesehatan Indonesia baru yang dikendalikan negara, bukan lagi otonom di tangan profesi.
* Standar kompetensi tidak lagi dijaga oleh para ilmuwan dan praktisi, tapi ditentukan oleh kalkulasi politik dan ekonomi.
* Distribusi dokter menjadi instrumen proyek: dokter sebagai angka statistik, bukan penjaga etika profesi.

Tujuan utamanya jelas: menghapus kontrol profesi, agar seluruh ekosistem kesehatan tunduk pada logika pasar dan kekuasaan pusat.

3. MRI, CT-Scan, robot bedah.: Politik Kambing Hitam

Tak cukup dengan mengubah sistem, BGS juga menggiring opini publik:
* Dokter dianggap sumber mahalnya biaya kesehatan.
* Dokter dipersepsi sebagai penghalang perubahan.
* Dokter dicitrakan sebagai elit yang menolak distribusi adil.

Ini adalah politik kambing hitam. Padahal:
* Pelayanan buruk seringkali akibat kebijakan yang keliru, bukan semata-mata karena dokter.
* Dokter terpaksa bekerja dalam sistem yang rusak: birokrasi lambat, fasilitas kurang, logistik amburadul.

Dalam logika ini, pemerintah selalu tampil sebagai penyelamat. Dokter?
Cukup jadi peras santan, dipuji di bibir, diinjak dalam sistem.

4. Dokter dalam Era Industrialisasi Kesehatan

Kita tengah menyaksikan lahirnya Medical-Industrial Complex di Indonesia:
* Negara berperan sebagai regulator sekaligus provider.
* Dokter tidak lebih dari pekerja lini produksi.
* Pelayanan diukur dengan target, bukan empati.

Ketika pelayanan lambat → salahkan dokter.
Ketika obat tidak tersedia → salahkan dokter.
Ketika pasien kecewa → salahkan dokter.

Sementara logika sistemik yang cacat, disembunyikan di balik layar propaganda.

5. Memahami Misi Tersembunyi: Sebuah Kajian Teoretis

Fenomena ini bisa dianalisis melalui berbagai teori kritis:
1. Biopolitik (Michel Foucault):
Negara mengontrol populasi melalui regulasi atas tubuh-tubuh dokter. Profesi medis dijadikan instrumen pengelolaan masyarakat.
2. Medical-Industrial Complex (Freidson, Navarro):
Dunia medis tidak lagi otonom, tapi menjadi bagian dari logika kapitalisme yang memprioritaskan profit.
3. Neo-Imperialisme Kesehatan (David Harvey):
Sistem kesehatan negara-negara berkembang diserap ke dalam jaringan kapitalisme global, di mana pelayanan kesehatan menjadi komoditas dan alat ekspansi.

BGS bukan sekadar reformis. Ia adalah agen dari logika pasar global yang menyaru sebagai pembaharu.

6. Mengapa Ini Penting?

Karena ketika dokter kehilangan otonomi:
* Etika kedokteran terancam.
* Standar ilmiah bisa dikompromikan.
* Pelayanan kesehatan kehilangan jiwa.
Ini bukan hanya soal profesi dokter. Ini soal hak setiap warga negara untuk mendapatkan layanan kesehatan yang adil, bermartabat, dan manusiawi.

Ketika profesi didegradasi, rakyatlah yang akan menanggung akibat terburuknya.

7. Epilog: Menolak Menjadi Ampas

Dokter Indonesia ibarat kelapa: bertumbuh lambat, kuat, bermanfaat.
Tapi saat ini, ketika UU Kes no 17 tahun 2023 diberlakukan, mereka diperlakukan seperti kelapa peras: diambil santannya, dibuang ampasnya.

Ketika ada Pertarungan di meja PTUN menggugat isi UU Kesehatan no 17/2023 tentang KOLEGIUM adalah simbol:
* Bukan sekadar soal kolegium. Tapi soal mempertahankan makna profesi.
* Soal menolak menjadi alat kapitalisasi kesehatan.

Bisa jadi, Jika DOKTER dan Perhimpunan/Organisasi Profesinya DIAM, maka DOKTER akan menjadi ampas: profesi, rakyat, dan kemanusiaan.

Berita Terkini