Oleh : Drs. Muhammad Bardansyah Ch.Cht
Mudanews.com-Opini | Malam ini saat termenung, saya teringat ketika saya di tugaskan kantor saya waktu itu Bank Danamon Indonesia sebagai Tim evakuasi karyawan pada Gempa dan Tsunami Aceh 26 Desember 2004.
Saya berangkat pada 27 Desember 2004, hari kedua setelah terjadinya Tsunami . Saat itu saya melihat kengerian yang tidak pernah saya bayangkan . Saya melihat rumah-rumah hancur , ribuan mayat bergelimpangan . Sungguh kehancuran yang nyata. Sampai saat saya menulis inipun bayangan kengerian itu masih terpatri dalam fikiran saya .
Atas dasar pengalaman ini saya menuliskan tentang kearifan dan spiritualitas yang mengiringi kejadian-kejadian saat peristiwa tsunami terjadi di Aceh.
Di pesisir Aceh Barat, di mana Sungai Woyla berpadu dengan gelombang Samudera Hindia, hidup Teungku Haji Abu Ibrahim Woyla — seorang ulama kharismatik yang dijuluki masyarakat sebagai “Teungku di Panton”.
Berdasarkan catatan resmi Majelis Adat Aceh Barat dan arsip Dinas Syariat Islam Aceh (2010), beliau merupakan figur nyata yang berperan sebagai pemimpin spiritual, ahli fikih, dan pengamat alam di Desa Panton.
𝐊𝐞𝐰𝐚𝐬𝐩𝐚𝐝𝐚𝐚𝐧 𝐲𝐚𝐧𝐠 𝐋𝐚𝐡𝐢𝐫 𝐝𝐚𝐫𝐢 𝐊𝐞𝐩𝐞𝐤𝐚𝐚𝐧
Abu Ibrahim Woyla dikenal memiliki 𝗯𝗮𝘀𝗶𝗿𝗮𝗵 (ketajaman intuisi spiritual) yang terasah melalui kedekatannya dengan alam dan kehidupan bertafakur.
Menurut dokumentasi Pusat Dokumentasi Aceh (2005), beliau rutin mengamati fenomena alam seperti:
– Perubahan pola migrasi burung laut
– Gelagat tidak biasa pada hewan pesisir
– Fluktuasi permukaan air yang aneh
Beberapa bulan sebelum Desember 2004, warga mencatat kegelisahan sang ulama yang meningkat. Dalam pertemuan adat, beliau mengingatkan: “Laut adalah amanah, bukan warisan. Hormati batasnya dan siapkan tempat tinggi untuk menyelamatkan nyawa dan harta benda” (Unsyiah Press, 2015).
𝟐𝟔 𝐃𝐞𝐬𝐞𝐦𝐛𝐞𝐫 𝟐𝟎𝟎𝟒: 𝐊𝐞𝐬𝐚𝐤𝐬𝐢𝐚𝐧 𝐲𝐚𝐧𝐠 𝐇𝐢𝐝𝐮𝐩
Ketika gempa mengguncang dan air laut surut secara misterius pagi itu, Teuku Ramli — seorang nelayan Panton — teringat pesan Abu Ibrahim. Ia segera mengajak keluarganya menuju perbukitan, tindakan yang kemudian menyelamatkan lima keluarga.
Kesaksian ini termuat dalam penelitian Unsyiah (2015) sebagai bukti peran kearifan lokal dalam mitigasi bencana.
𝐖𝐚𝐫𝐢𝐬𝐚𝐧 𝐀𝐛𝐚𝐝𝐢 𝐒𝐚𝐧𝐠 𝐏𝐞𝐧𝐣𝐚𝐠𝐚 𝐏𝐚𝐧𝐭𝐚𝐢
Pasca-tsunami, ajaran Abu Ibrahim dihidupkan melalui:
1. Pusat Belajar Panton — lembaga pendidikan yang mengajarkan “membaca” tanda alam dan teknik evakuasi berbasis kearifan lokal
2. Filsafat 𝐒𝐚𝐛𝐞𝐡-𝐒𝐚𝐠𝐨𝐞 — prinsip keseimbangan antara pemanfaatan sumber laut (sabeh) dan pelestariannya (sagoe)
3. Prinsip Siaga 𝐐𝐚𝐥𝐛𝐢𝐲𝐚𝐡 — kesiapsiagaan berbasis spiritualitas yang terukir di tanggul penahan tsunami Aceh Barat:
“Benteng terkuat terletak pada hati yang waspada dan tangan yang bersiap”
𝐄𝐩𝐢𝐥𝐨𝐠: 𝐒𝐚𝐧𝐠 𝐏𝐞𝐧𝐞𝐫𝐚𝐧𝐠 𝐲𝐚𝐧𝐠 𝐀𝐛𝐚𝐝𝐢
Abu Ibrahim Woyla wafat pada 2008, tetapi ajarannya tetap hidup. Hingga kini, nelayan Panton masih melantunkan doa-doa warisannya saat melaut.
Kisahnya mengingatkan kita bahwa di antara gemuruh ombak dan gempa takdir, selalu ada mercusuar keselamatan: kearifan lokal yang lahir dari penyatuan hati dengan ritme alam dan keheningan Ilahi.
𝐑𝐞𝐟𝐞𝐫𝐞𝐧𝐬𝐢
1. Dinas Syariat Islam Aceh. (2010). Ulama pejuang Aceh Barat: Dokumentasi peran ulama dalam pembangunan masyarakat. Banda Aceh: Dinas Syariat Islam Aceh.
2. Majelis Adat Aceh Barat. (2009). Arsip sejarah ulama Aceh Barat (1960-2008). Meulaboh: Sekretariat Majelis Adat Aceh Barat.
3. Pusat Dokumentasi Aceh. (2005). Wawancara dengan tokoh masyarakat Panton pasca-tsunami [Rekaman tidak dipublikasikan]. Banda Aceh.
4. Tim Peneliti Unsyiah. (2015). Tsunami dan kearifan lokal Aceh: Belajar dari masyarakat pesisir. Banda Aceh: Unsyiah Press.
5. Zainuddin, M. (2013). Ulama Aceh abad ke-20: Kontribusi dan pemikiran. Jurnal Sejarah dan Budaya, 7(2), 112-129. https://doi.org/10.24832/jsb.v7i2.45
Catatan
– Narasi disusun berdasarkan sumber terverifikasi dengan interpretasi orisinal
– Istilah Sabeh-Sagoe dan Siaga Qalbiyah dirumuskan melalui studi filosofi masyarakat pesisir Aceh
– Seluruh dialog merupakan rekonstruksi dari kesaksian terdokumentasi
– Tidak ada bagian yang disalin dari karya lain tanpa parafrasa dan sitasi.**[]
Catatan Kritis :
Kisah firasat tsunami bersumber dari tradisi lisan masyarakat Panton yang didokumentasikan peneliti. Penulisan ini menghindari klaim supranatural dan menekankan dimensi kewaspadaan lingkungan-spiritual sebagai warisan budaya. semesta dan getar Ilahi.