Merawat Alam Tugas Bersama

Breaking News

- Advertisement -
- Advertisement -
- Advertisement -
- Advertisement -

MUDANEWS.COM – Sejak diciptakan alam telah memantulkan sifat kearsian dari dalam dirinya. Alam yang kita maksudkan dalam hal ini adalah benda-benda yang tampak oleh mata dalam sebuah ruang yang kita sebut ruang dunia, sebuah planet yang dihuni oleh beragam makhluk, terkhususnya yang memegang mandat untuk merawat dan menjaganya, yaitu kita makhluk yang bernama manusia.

Benda-benda yang memantulkan keindahan ini, baik laut meliputi apa yang ada di dalam, darat meliputi isinya yang tumbuh ke bawah dan ke atas, serta langit yang menjadi atapnya. Semua ini memancarkan pesona asri yang saling menghidupi dengan hukum keserasian.

Hukum keserasian ini adalah implikasi tetap dari takaran, ukuran, sistem, dan tata aturan yang disebut takdir atau hukum alam (sunnatullah) yang berlaku bagi alam dengan segala isinya. Keserasian ini bertujuan pada keharmonian alam dengan yang mengisinya agar terhindar dari sebuah kekacauan (Chaos).

Dari keserasian dan keasrian alam, kita khususkan tempat tinggalkan kita saat ini, sudah ada sejak penciptaannya sehingga tidak mungkin ia sendiri merusak dirinya. Tidak mungkin ia yang ada untuk memberi kehidupan dan merawat keberlangsungan perubahan secara fisik dan non-fisik membahayakan makhluk lainnya. Jika pun terjadi sebuah yang alami, itu semata bagian dari perubahan untuk keberlangsungan alam itu sendiri yang memberi nilai-nilai kebaikan. Sebab, kembali kepada logika keyakinan dasar, tiada yang kekal atau abadi selama sesuatu tersebut adalah makhluk atau benda.

Dalam kesehari-harian, kita menyebut sebuah peristiwa alam yang merugikan disebut bencana alam. Akan tetapi perlu kita garis bawahi bahwa bencana alam bukanlah sebuah sebab, tapi ia adalah sebuah akibat dari kerusakan bumi. Contoh peristiwa nyatanya adalah longsor, banjir dan polusi udara dan yang kita sebut bencana alam lainnya.

Dalam hal ini kita akan fokuskan pembicaraan kita pada contoh akibat dari kerusakan alam di Sumatera Utara (Sumut) dalam tiga tahun belakangan ini. Tapi kejadian yang sama ini tidak menutup kemungkinan terjadi juga di beberapa daerah yang ada di wilayah Indonesia, seperti banjir yang sering terjadi di Pulau Jawa, dan yang terakhir sangat besar banjir di Kalimantan.

Akibat Kerusakan Alam di Sumut

Salah satu akibat dari kerusakan alam adalah meluapnya air dari arus biasa ia mengalir secara normal atau tidak ada resapan air mengalir sehingga mengakibatkan genangan air yang tinggi, dan ini sering di sebut dengan banjir. Banjir ini tentu berbeda penyebutannya dalam setiap daerah atau tempat kejadiannya. Perbedaan tersebut karena disebabkan perbedaan sebab-sebab kejadiannya. Ingat, di atas tadi kita telah menyebutkan bahwa banjir hanyalah sebuah ‘akibat’ dari sebuah atau berbagai ‘sebab’. Dalam hal ini hukum kausalitasnya perlu diperhatikan.

Jika kita uraikan peristiwa banjir besar dan atau banjir bandang yang terjadi di beberapa wilayah atau daerah Kabupaten/Kota di Provinsi Sumatera Utara (Sumut), kita akan memeliki daftar panjang peristiwa banjir. Kita ambil saja peristiwa terdekat tiga tahun belakangan ini yang merugikan dan memakan korban jiwa.

Pastinya kita belum lupa peristiwa banjir bandang yang menghantam salah satu desa yang ada di Kabupaten Labuhanbatu Utara (Labura) pada akhir tahun 2019. Banjir bandang yang menghantam desa itu tidak hanya merusak rumah, sawah dan jalan. Akan tetapi banjir bandang yang menyeret batu-batu besar dan tak terhitung banyaknya potongan-potongan kayu besar telah menghilangkan nyawa manusia dan hewan ternak. Tingginya curah hujan membuat sungai di desa tersebut tidak mampu mengontrol laju arus sungai dengan debit air yang besar.

Mengapa sungai meluap dan Daerah Aliran Sungai (DAS) tidak mampu lagi mengontrol debit air yang banyak ditambah airnya bercampur lumpur, membawa batu-batu besar dan menyeret potongan-potongan kayu besar dari hutan? Tentunya hal tersebut ada sebabnya lagi.

Sudah menjadi pengetahuan umum bahwa banjir dari sungai disebabkan oleh sebuah tingkah laku buruk dari seseorang atau sekelompok orang yang melakukan penebangan hutan yang berlebihan. Kadang orang akan membuat sebabnya adalah curah hujan yang tinggi, dugaan ini tidak benar. Jika curah hujan pun tinggi, asal hutan masih terawat maka air akan diserap oleh hutan sehingga air hujan tidak langsung mengalir deras ke sungai dan sungai tidak cepat meluap. Ini logika dasarnya.

Dugaan banjir yang disebabkan oleh penebangan hutan yang berlebihan dapat dibuktikan dengan apa-apa saja yang bawa oleh air tersebut ke hadapan kita. Di sana kita melihat adanya potongan kayu-kayu besar. Kayu-kayu di hutan seharusnya dapat menahan deras air hujan, tapi karena hutan telah gundul, semua apa yang di sana pun terseret arus air. Benda lainnya adanya lumpur dan batu.

Kembali lagi, akibat hutan telah mati, erosi tanah terjadi sehinga menjadi lumpur, sebab bercampur dengan air. Dan batu-batu yang ada di atas tanah maupun berada dalam tanah terkikis dan bergeser cepat menghantam apa yang menghalanginya, termasuk penduduk desa yang waktu itu sedang tertidur pulas, atau sedang menunaikan ibadah kewajiban suami-istri.

Masih dari Kabupaten Labura, pekan terakhir bulan April 2020 lalu, banjir bandang kembali menghantam sebuah desa yang ada di Kecamatan Aek Nafas. Kali ini tidak memakan korban jiwa, tapi setidaknya ini merugikan secara materil dan merepotkan warga.

Selanjutnya dari kabupaten yang sama, selang beberapa bulan kemudian, tepatnya minggu kedua bulan September 2020, lima desa terendam banjir karena sungai Merbau meluap. Kejadian banjir ini merusak banyak rumah dan tempat ibadah dan sekolah. Tidak menutup kemungkinan ada juga kucing atau ayam yang mati. Akibat terburuk lainnya, banjir mendatang wabah penyakit kulit.

Kita berpindah ke Ibukota Provinsi Sumut, Kota Medan. Akhir tahun lalu, di awal Desember 2020, Medan kembali di hantam banjir. Banjir kali ini lebih kejam dibandingkan banjir beberapa tahun belakangan, sebab memakan banyak korban dan kerugian masyarakat Kota Medan. Sebagaimana dirilis cnnindonesia.com (04/12/2020), bahwa di Kota Medan, Banjir dilaporkan merendam 2.773 unit rumah, 1.983 KK dan 5.965 jiwa yang tersebar di 7 kecamatan dan 13 kelurahan.

Kejadian banjir ini tidak hanya terjadi di Kota Medan, Kabupaten/Kota tentang ga, seperti Kabupaten Deliserdang dan Kota Binjai juga dihantam oleh banjir. Sebagaimana yang dilaporkan dalam media online, CNN Indonesia, di Kabupaten Deliserdang, banjir menimpa Desa Tanjungselamat dengan jumlah 500 rumah yang terendam banjir.

Selain itu, banjir juga merendam 400 rumah di Desa Sejarahbaru, Kecamatan Delitua, dengan ketinggian air mencapai 4-6 meter. Sedangkan di Kota Binjai, sebanyak 3.374 KK di 5 kecamatan terdampak banjir. Hujan dengan intensitas tinggi mengakibatkan meluapnya DAS Bingai dan DAS Mencirim di Kota Binjai.

Dan yang terbaru pada kasus banjir bandang yang terjadi di Sumut yaitu peristiwa banjir bandang menghantam kawasan Kota Wisata Parapat Danau Toba, Simalungun. Banjir ini merusak puluhan rumah dan merepotkan masyarakat karena jalan umum terputus. Banjir bandang ini juga membawa material lumpur dan batu dari perbukitan. Artinya, ini kembali menjadi bukti bahwa adanya kerusakan alam. Sebagaimana yang sudah kita uraikan tadi banjir bandang terparah di Labura tahun 2019 lalu. Kita kembali tegaskan bahwa sebab utama banjir adalah bukan tingginya intensitas hujan, tapi rusaknya hutan.

Merawat Alam Tugas Bersama

Dari penelitian Centre For Research the Epidemologi of Disaster (CRED) menyebutkan bahwa wilayah Indonesia beresiko terjadi bencana alam dan telah menjadi bagian dari sejarah serta isu aktual. Salah satu penyebab karena wilayah Indonesia dilalui oleh dua jalur gunung berapi dunia, sirkum pasifik dan sirkum mediterania yang melintas wilayah Pulau Sumatera, Jawa, Nusa tenggara, hingga Sulawesi Utara.

Dari laporan Balai Besar Penelitian dan Pengembangan Pelayanan Kesejahteraan Sosial (B2PK3KS) mengungkapkan bencana banjir merupakan bencana yang sudah sering terjadi. Merujuk pada pengalaman negara-negara di Eropa, menyikapi keselamatan sipil merupakan hak individu yang penting dan harus dijamin.

Keselamatan sipil sama pentingnya dengan pengakuan terhadap kebebasan individu dan kepemilikan pribadi. Masyarakat terutama korban berhak mendapat perlindungan atas jiwa dan hak miliknya. Oleh karena itu, resiko bencana harus diminimalisir dan secara moral jatuhnya korban tidak dapat ditolerir. Berkaitan dengan Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2007 Tentang Penanggulangan Bencana menyebutkan bahwa, kebijakan penanganan resiko bencana ditangani secara komprehensif dan di titik beratkan pada upaya preventif.

Berdasarkan apa yang telah CRED dan B2PK3KS dapat kita tarik bahwa itu adalah benar, sebab bukti kebenaran sesuai dengan kenyataan apa yang kita lihat di Indonesia, terkhususnya di wilayah Pulau Sumatera. Sebagaimana peristiwa-peristiwa yang sudah kita uraikan di atas dalam tiga tahun belakangan ini terjadi di wilayah Sumut. Peristiwa akibat kerusakan alam ini masih sebagian kecil saja, sebelumnya terjadi juga longsor di Padangsidimpuan, beberapa titik rawan longsor dari Kota Medan menuju Berastagi.

Terkait mengenai konsep penanggulangan bencana, menurut penulis masih belum maksimal dan tidak berani bertindak tegas. Sebab dikatakan belum maksimal karena penanggulangan bencana baru terlihat ada setelah peristiwa memakan korban dan merusak-rusak fasilitas masyarakat secara individu dan umum. Seharusnya, penanggulangan bencana mampu memetakan titik-titik rawan bencana dan bekerja mengantisipasi sebuah sebab terjadinya banjir.

Bukan dengan menyalahkan hujan. Penanggulangan bencana baik dari pemerintah pusat maupun daerah harus mampu menjaga alam ini. Selain pemerintah, kita sebagai masyarakat biasa juga harus ikut merawat alam agar tidak terjadi kerusakan alam yang mengakibatkan terjadinya bencana alam, seperti banjir dan longsor. Sebab ini terjadi karena adanya “penggundulan” hutan secara membabi buta oleh seseorang atau sekelompok orang.

Bertindak tegas maksudnya adalah benar-benar menghukum dan membuat regulasi yang ketat agar mafia hutan tidak lagi merusak hutan dengan hawa nafsunya menebangi hutan. Selain dengan regulasi, perlu kiranya masyarakat juga melawan ketika ada sekelompok orang hendak menebangi hutan dengan membabi buta. Sebab, dengan membiarkan hutan menjadi gundul maka sama saja kita membiarkan mafia hutan menggorok leher kita.

Terkait pembangunan dan cita-cita menjadikan Danau Toba sebagai destinasi wisata internasional hanyalah mimpi belaka jika alam atau lingkungan hutan di sekitarnya tidak dirawat dengan baik.

Dari perncanaan tempat tersebut sebagai destinasi wisata dunia sangat kurang memenuhi standar masyarakat internasional. Menurut saya, mereka akan berpikir dua kali untuk pergi jika kondisi seperti ini terus terjadi setiap tahunnya. Aset wisata Parapat tidak sekedar budaya saja, tetapi di ada kehidupan flora dan fauna yang membuat alam Danau Toba menjadi serasi dan asri (Indah). Di sini kembali lagi seharusnya pemerintah “memburu” seseorang atau pun sekelompok orang yang melakukan eksploitasi alam. Sebab eksploitasi alam ini menyebabkan kerusakan pada alam yang mengakibatkan banjir bandang dan longsor.

Ini adalah tanggungjawab kita bersama sebagai makhluk yang diberi mandat oleh Tuhan untuk menjaga dan merawat bumi dari manusia-manusia serakah dan yang berhawa nafsu merusak alam demi kepentingan dirinya dan kelompoknya. Sebab kerusakan alam di laut maupun di darat itu terjadi kerena ulah tangan manusia. Dan sifat manusia yang disebutkan ini adalah manusia yang bersifat serakah untuk mendapatkan keuntungan materi dengan merusak lingkungan.

Salah satu cara menjaga dan merawat lingkungan adalah dengan cara tidak merusak hutan, sebab hutan adalah paru-paru dunia. Tidak merusak Daerah Aliran Sungai (DAS) tidak membuang sampah sembarangan, dan menanami pohon untuk mengganti pohon yang mati.

Kemudian cara lain adalah pemerintahan, baik pusat maupun daerah, harus membuat regulasi yang lebih tegas dan menghukum mati yang menebangi pohon di hutan secara membabi buta. Dan kita semua bertanggungjawab akan hal ini. Merawat dan menjaga bumi ini adalah tanggungjawab kita bersama dan ini untuk keharmonian alam semesta serta kebermanfaatan bagi generasi ke depan.[]

Penulis: Abdul Rahman (Wakil Sekretaris Umum Badko HMI Sumut Periode 2018-2020).

- Advertisement -

Berita Terkini