Great Disruption: Kita Mesti Bagaimana?

Breaking News

- Advertisement -
- Advertisement -
- Advertisement -
- Advertisement -

MUDANEWS.COM – Hingga hari ini World Health Organization (WHO) belum mampu mengambil kesimpulan yang memuaskan tentang penyebab awal merebaknya Covid-19. Alih-alih pemerintah Komunis Tiongkok mau kooperatif dengan tim dari WHO, rezim komunis itu justru menghalangi, dan menghilangkan banyak hal yang seharusnya dapat membantu mengungkap misteri dibalik penyebaran pandemi yang telah menyebabkan jutaan orang meninggal dan ratusan juta lainnya terinfeksi diberbagai negara.

Kini, ribuan jenis mutasi Covid-19 menyerang dengan kecenderungan tingkat “keganasan” yang makin menambah kecemasan global.

Tidak ada yang menyangkal bahwa Great Disruption adalah istilah yang paling tepat untuk menyimpulkan situasi global yang sedang melanda peradaban manusia. Namun apakah Covid-19 merupakan sebab utama dari apa yang sedang melanda?

Ataukah Covid-19 hanya salah satu sekuel yang muncul sebagai akibat, dan bukan sebab dari bencana ekonomi dan kemanusiaan akibat pandemi yang melanda dunia saat ini?

Francis Fukuyama pernah menerbitkan buku dengan judul The Great Distruption: The End History and Last Man”, yang nampaknya masih memiliki relevansi untuk dijadikan pisau analisis dalam memahami situasi apa yang sedang terjadi.

Kendati buku Francis Fukuyama itu lebih banyak mengamati tentang fenomena kegagalan dari sistem negara kesejahteraan yang berdampak luas sebagai penyebab dari Great Distruption.

Sayang sekali di dalamnya tidak membahas fenomena pandemi global sebagai salah satu faktor, namun argumen tentang kegagalan negara kesejahteraan, dalam mengatasi tantangan modernitas, menurut hemat kami, merupakan tesis yang paling baik digunakan untuk memotret situasi yang sedang berlangsung.

Berikutnya, jika Francis Fukuyama menjadikan Amerika sebagai negara kesejahteraan “yang gagal” sehingga menyebabkan Great Distruption pada waktu-waktu yang lalu, nampaknya Great Distruption yang melanda dewasa ini, merupakan akibat dari kegagalan negara kesejahteraan Tiongkok-lah yang menjadi penyebabnya.

Jika tesis yang kami sampaikan ini ada benarnya dan menemukan relevansi di dalam realitas faktualnya, maka kita akan menemukan sejumlah pertanyaan besar untuk dijawab yang formulanya belum disediakan oleh buku Francis Fukuyama itu.

Francis Fukuyama barangkali tidak pernah berpikir bahwa sistem sosialisme komunisme seperti yang dianut oleh Negara Komunis Tiongkok dalam beberapa dekade terakhir mengalami kemajuan spektakuler dalam pertumbuhan ekonomi, disertai pengaruh yang demikian ekspansional di berbagai belahan dunia.

Sebab itu, jika buku Francis Fukuyama menyediakan formula dalam konteks kegagalan negara kesejahteraan seperti Amerika yang liberal-kapitalistik, bagaimana dengan China yang sosialist-komunis di satu sisi namun dengan akumulasi kapital yang signifikan pada sisi yang lain?

Hal lain bahwa Tiongkok tentu saja memiliki cadangan social kapital yang berbeda dengan social kapital yang mampu diproduksi oleh lingkungan Amerika yang lebih terbuka, bebas dalam budaya politik demokratis. Social kapital di Tiongkok dalam bentuk tersedianya organisasi-organisasi sosial yang swa-mandiri, pers yang bebas, kegotong-royongan yang spontanitas, hampir mustahil dapat ditemukan dalam rezim komunis Tiongkok yang serba “terkendali dan terkontrol” secara ketat.

Tiongkok tidak memiliki tradisi pers bebas, otonomi masyarakat dikekang, bahkan dalam kasus yang paling disayangkan oleh komunitas internasional, adalah dengan hilangnya kebebasan dan demokrasi di Hongkong.

Berbagai kasus penghilangan paksa terhadap aktifis pro-demokrasi, pengawasan yang sangat ketat terhadap media sosial, penetapan undang-undang subversi terhadap aktivitas Falun Gong dan hal-hal yang terkait dengan Budha Tibet, kamp-kamp kerja paksa, penindasan terhadap etnis Uighur di provinsi Xinjiang, semua itu menunjukkan bahwa Tiongkok tidak memiliki social kapital yang memadai sebagaimana yang dimiliki oleh negara-negara dengan sistem dan kultur politik yang demokratis.

Keluarga, sebagai basis terkecil dari social kapital, juga tidak dapat diharapkan akan kita temukan dalam struktur masyarakat Tiongkok modern. Kebijakan kependudukan yang ketat, tentang pembatasan kelahiran anak, di satu sisi sukses menekan laju pertumbuhan penduduk Tiongkok yang kian meningkat pada dua dekade yang lalu.

Namun kesuksesan itu, harus diterima konsekuensinya dengan terjadi ketimpangan usia dalam struktur demografi masyarakat Tiongkok. Warga Lansia demikian besar, sebagai akibat dari peningkatan kualitas hidup, namun beban yang mesti ditanggung oleh rezim Komunis Tiongkok menjadi berlipat-lipat.

Pasca merebaknya pandemi Covid-19, unifikasi atas Hongkong, tekanan beban ekonomi dalam negeri yang makin tinggi, kepercayaan rakyat yang terus menurun kepada rezim Komunis Tiongkok, khususnya kepada pemimpin tertinggi mereka Xi Jinping, adalah sedikit di antara banyak faktor lain yang dapat mempercepat keruntuhan ekonomi Tiongkok. Tentu saja Xi Jinping menyadari semua hal itu.

Upaya unifikasi Hongkong, klaim atas Laut Cina Selatan yang kaya sumber daya, upaya paksa mengambil alih Taiwan, progam OBOR semua itu bermuara pada satu kesimpulan bahwa rezim Komunis Tiongkok benar-benar berada dalam situasi yang sulit.

Dan jika ketegangan di Laut Cina selatan, tidak mampu diatasi oleh Xi Jinping dengan membuka ruang dialog dengan komunitas internasional yang terkait dengan LCS, lalu perang tidak terhindarkan, bisa kita pastikan bahwa itulah Great Distruption yang sesungguhnya.

Tidak terbayangkan bagaimana nestapa kemanusiaan akan kita saksikan, jika terjadi perang dunia ketiga, yang diprediksi akan menyertakan hulu ledak nuklir itu. Belum lagi bahwa jika perang itu terjadi di saat wabah pendemi Covid-19 belum juga dapat diatasi.

Dan jika hal itu tidak terhindarkan bagaimana mengatasinya? Bagaimana kita mesti bangkit kembali, dari situasi yang serba tidak menentu, dalam tekanan ketidakpastian, ketidakadilan sistem sosial, dan kesemrautan tata kelola hubungan internasional.

Dalam konteks ini, swa-organisasi yang mandiri atau Civil Society, kegotong-royongan yang spontanitas, adalah modal sosial yang amat diperlukan. Dan kita masih memiliki sisa-sisa modal sosial seperti itu, terutama dengan banyak Ormas, OKP, maupun NGo-NGo yang telah ada di dalam masyarakat kita.

Tinggal bagaimana pemerintah membaca situasi yang sedang terjadi, lalu mengeluarkan kebijakan yang relevan. Polisi dan aparat pemerintah mesti hentikan provokasi dan aksi-aksi teror dalam masyarakat, dan mengurangi hal-hal yang tidak mendukung tumbuhnya budaya gotong royong dalam masyarakat, akibat ketakutan-ketakutan yang tidak semestinya.

Great Distruption ini hampir pasti puncaknya akan kita hadapi, banyak hal detil yang mesti dibahas dalam menghadapinya.

Namun pada saatnya nanti, insya Allah, kita lanjutkan lagi pembahasannya sesuai perkembangan situasi.

Depok, Rabu 7 April 2021

Oleh : Hasanuddin, MSi
Ketua Umum PB HMI 2003-2005

Penulis, Alumni Pascasarjana (S2) Universitas Indonesia (UI)

- Advertisement -

Berita Terkini