Walikota Binjai, Tidak Tegas dan Tidak Konsisten dengan Menggelar Bazar Murah Ditengah Covid-19

Breaking News

- Advertisement -
- Advertisement -
- Advertisement -
- Advertisement -

MUDANEWS.COM, Binjai – Wabah pendemi covid-19 membawa dampak yang cukup serius bagi kehidupan masyarakat yang menyasar pada terganggunya ekonomi, pendidikan dan kegiatan keagamaan.

Berbagai kebijakan telah dikeluarkan dalam rangka mengurangi dampak penyebaran virus mematikan ini. Sebagian daerah di Indonesia telah memberlakukan Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB).

Kebijakan ini sepenuhnya tidak berarti sama dengan kebijakan ketika suatu daerah memberlakukan lockdown. Jika kebijakan men-lockdown suatu negara atau daerah berimbas pada terkuncinya seluruh rutinitas masyarakat baik ekonomi, pariwisata, transportasi, pendidikan dan perdagangan maka kebijakan Pembatasan Sosial Berskala Besar hanya menyasar pada sektor-sektor tertentu seperti transportasi yang masih bisa beroperasi sesuai dengan protokol kesehatan.

Beberapa daerah yang belum memberlakukan PSBB terutama Provinsi Sumatera Utara. Kebijakan pemerintah provinsi menilai bahwa belum perlu diberlakukannya suatu pembatasan yang bisa berdampak bagi keberlangsungan hubungan sosial.

Pemerintah Provinsi Sumatera Utara concern untuk mengurangi dampak ekonomi yang ditimbulkan covid-19 dengan mengadakan Bazar Murah. Kebijakan ini tentu sangat membantu bagi masyarakat yang terkena imbas dari sulitnya ekonomi.

Jika melihat realitas keberadaan bazar murah sejatinya menimbulkan suatu kebijakan yang kontradiktif. Pemerintah Provinsi Sumatera Utara ingin memberikan kemudahan akses bagi masyarakat untuk memenuhi kebutuhan pokoknya namun disisi lain pemerintah juga mengundang keramaian yang berpotensi penyebaran covid-19.

Kebijakan Pemerintah Provinsi Sumatera Utara untuk membuat bazar murah juga diadopsi Pemerintah Kota Binjai. Pemerintah melalui SKPD-nya mengadakan bazar murah sedangkan diwaktu yang berlainan Pemerintah Kota Binjai mengeluarkan kebijakan untuk meniadakan kegiatan ibadah Shalat Idul Fitri.

Meskipun gubernur memiliki peran ganda sebagai wakil Pemerintah Pusat dan masyarakat
di daerah, posisi ini tampak ambigu ketika bupati/walikota juga diberi kekuasaan yang relatif otonom untuk mengatur wilayahnya. Terlebih lagi, klausul mengenai “hierarki” antar tingkat pemerintahan tidak lagi ditemui, baik di dalam UU No. 22/1999 maupun UU No. 32/2004.

Kedua UU tersebut juga tidak mengatur dengan jelas fungsi dekonsentrasi dan tugas pembantuan dalam hubungan provinsi-kabupaten/kota. Pemberian otonomi kewenangan yang luas dan sekaligus pemilihan langsung kepala daerah di saat yang sama di tingkat provinsi dan kabupaten/kota menyebabkan persoalan yang rumit dan akut dalam hubungan kekuasaan antara gubernur dan bupati/walikota.

Gubernur memiliki kewenangan hanya sebagai kepanjangan tangan dari Pemerintah Pusat. Otoritas gubernur dalam hal ini hanya melaksanakan koordinasi program pusat, pengawasan, dan pembinaan administrasi pemerintahan.

Provinsi memiliki tugas utama untuk memastikan kebijakan yang diambil di tingkat kabupaten/kota tidak menyimpang dari pengembangan kebijakan dan standar pelayanan yang telah ditentukan oleh pemerintah di level nasional.

Dengan demikian, otonomi yang dimiliki kabupaten/kota selalu dalam “pemantauan” provinsi. Dalam konteks ini, bupati/walikota dapat dipilih langsung. Sementara itu, sangat
aneh jika gubernur dipilih dari pemilihan umum langsung. Konsekuensinya, SKPD otonom di tingkat provinsi tidak diperlukan. (Sumber : Jurnal Penelitian Politik I Volume 10 No. 1 Juni 2013 – LIPI).

Artinya melalui UU 23 tahun 2014 tentang pemerintah daerah provinsi dan kabupaten memiliki otonom sendiri oleh karena itu kabupaten bisa tidak sepakat dalam program gubernur yang tidak sejalan dengan proses kebijakan di kabupaten kota khususnya di Kota Binjai, karena 2 hari lalu terbit kebijakan sebuah pelarangan Shalat Idul Fitri dilapangan merdeka dalam rangka memutus mata rantai penyebaran covid-19.

Seharusnya pasar murah harus di tiadakan karena berpotensi mempercepat penyebaran, agar kebijakan baru dengan kebijakan sebelumnya sejalan. Apalagi informasi yang tersebar didaerah kabupaten lain tidak semua kabupaten/kota di Sumut merealisasikan bazar murah tersebut, artinya ada kesepakatan relative antara Pemerintah Kabupaten/Kota dengan Pemerintah Provinsi Sumatera Utara.

Kondisi ini memang cukup dilematis namun Pemerintah Kabupaten/Kota sejatinya harus mampu menunjukkan sebuah konsistensi dalam membuat kebijakan apalagi dalam kondisi darurat saat ini.

Penulis : Randi Permana, S.A.P (Kader Himpunan Mahasiswa Islam)

- Advertisement -

Berita Terkini