Orang Miskin Dilarang Sakit

Breaking News

- Advertisement -
- Advertisement -
- Advertisement -
- Advertisement -

MUDANEWS.COM – Kata teman saya suatu kali, “Kalau Anda sakit dan mau mengakhiri hidup tanpa Anda disalahkan, maka berobatlah ke RSUD Panyabungan.” Tentu saja ungkapan itu sangat sarkartis.

Tapi beberapa hari yang lalu, teman saya berobat ke RSUD Panyabungan. Keluhannya penyakit dalam yang saya yakini serius, karena beberapa kali ia mengeluh tak tahan. Pukul 8.30 WIB ia mengambil nomor antrian di “Poli Dalam”. Tapi baru pukul 10 dokter masuk. Buat yang sakit panu, kudis, kurap, mungkin tak masalah. Tapi namanya pasien Poli Dalam, saya kira itu penyakit yang segera butuh pertolongan. Hitungan menit, bukan hitungan jam.

Anda mungkin akan bilang, “Salah sendiri, mengapa baru parah baru ke RSUD.” Tentu saja. Orang miskin, jangankan ke Puskesmas, kalau bisa ditahan, dia tidak akan ke mantri kampung sekalipun. Kalau Anda bukan orang miskin atau pernah miskin, Anda tidak akan paham tentang itu.

Singkatnya, baru jam 12.10 WIB ia dapat giliran, sambil setiap detik mengeluh tidak tahan menanggung penyakitnya. Lalu ia diberi resep dan harus ditebus ke ruang obat, apotik di dekat IGD. Harganya, 300 ribu lebih. Karena ia tidak punya uang, ia terpaksa meminta bantuan. Ia akhirnya menebus resep itu sambil terus mengeluh betapa harga obat sangat mahal dan bagaimana ia akan membayarnya.

Tadi pagi, karena obatnya hampir habis, ia mengambil obat perpanjangan. Tentu saja obat yang sama dan dia beli di luar rumah sakit. Tahu berapa harganya? Hanya 19 ribu saja. Artinya, ternyata setiap menebus obat dari resep yang diberikan dokter, Anda mesti membayar mahal.

Tentu saja itu sudah rahasia umum. Pertama, karena dokter juga butuh biaya mahal untuk kuliahnya. Jadi ibarat mengelola perusahaan, ia butuh segera “break event point”, impas. Kedua, dokter juga dapat imbalan dari apotik setiap kali dia menuliskan resep. Ketiga, bahkan (jangan-jangan benar) dokter juga dapat royalti setiap kali dia merekomendasikan merek obat tertentu. (Semoga ini salah, karena profesi dokter bukan entrepreneur).

Lumrah dan sudah jamaknya, orang berobat ke dokter memang lebih mahal tarip “konsultasinya” dibanding berobat ke Manteri Kampung atau Puskesmas. Karena itu, orang miskin sedapat mungkin tidak memilih berobat ke dokter.

Tapi ini! Yang berobat ke RSUD kan saya kira justru kalangan umum yang rata-rata miskin. Karena, kalau orang kaya, mereka pasti memilih RS Swasta dengan standar pelayanan maksimal dan analisa obat dan penyakit yang dijamin tidak salah. Bahkan bisa ke luar negeri segala.

Tapi orang miskin? Berobat ke Puskesmas dijamin alat kesehatan dan stok obatnya tidak akan memadai. Pilihan terakhir mesti RSUD yang jorok dan pelayanannya “nauzubillahi min zalik”. Eh, malah diperburuk lagi dengan dokter-dokter yang “menyandera” pasiennya dengan tarif tebusan obat yang luar biasa mahal.

Ah, Anda mungkin akan bilang, “Salah sendiri kenapa tidak masuk BPJS.” Emang orang miskin masih terpikir urusan begituan, kecuali ia sudah benar-benar menjadi pelanggan RS. Pertama, bagi orang miskin, berurusan dengan kantoran sama sulitnya dengan berurusan dengan Malaikat Pencabut Nyawa. Kedua, bagaimana ia akan melunasi cicilan BPJS setiap bulan jika untuk makan saja ia susah? Apalagi semakin kecil kelas akreditasi RSU akan semakin banyak juga jenis obat dan layanan yang bisa ditanggung BPJS.

Beberapa jenis obat misalnya tidak termasuk yang ditanggung BPJS dan Anda harus menebus dengan uang sendiri, dengan kemiskinan yang Tuan punya. Belum lagi surat rujukan yang mesti ada dari puskesmas terendah. Istilah di warung kopi, kalau Tuan mendadak serangan jantung, Tuan akan keburu mati sebelum surat rujukan Anda keluar.

Ini mungkin terlalu membesar-besarkan. Tapi saya pernah punya pengalaman yang patut dicontoh dari RSUD M. Jamil Padang. Dua anak saya yang boncengan motor, kecelakaan di Padang. Dua-duanya dibawa orang yang tidak saya kenal ke RSUD M. Jamil Padang. Dua-duanya masuk ICU. Langsung ditanggapi secara darurat tanpa tanya siapa keluarganya, siapa yang bertanggung jawab, apa pakai kartu ASKES, dll. (Waktu itu memang zaman masih ASKES).

Pagi esok hari saya sampai ke sana, baru saya ditanya masalah kelengkapan data. Dan sama sekali tak ditanya surat rujukan. Bahkan untuk memfotokopi Kartu Askes saja mereka sendiri. Karena di ruangan itu sudah tersedia mesin Fotokopi. Saya hanya membayar 21 ribu saja, itu juga karena saya minta pulang cepat. Saya tidak tahu kalau hal yang sama terjadi di RSUD Panyabungan.

Saya hanya mau bilang? Sampai kapan orang miskin mendapat perlakuan yang semestinya di negeri yang mereka perjuangkan sendiri. Masa setiap kali orang miskin sakit, mereka harus mendapat perlakuaan yang tidak manusiawi, apalagi harus menjual sawah mereka satu-satunya.

Dan para dokter, mengapa orang miskin pun dijadikan sanderaan finansial mereka. Jangan bertemu dokter kesannya seperti bertemu penyamun di tengah jalan. Saya takut, nanti kalau orang miskin ditanya siapa yang paling mereka benci, lalu dijawab “DOKTER”.

Setiap orang mestinya tersinggung, karena orang miskin juga saudara-saudara kita. Mereka juga yang setiap kali pemilu kita minta coblosannya. Saya kira banyak yang harus diluruskan. Karena saya yakin, kita semua rasa keadilan kita sebagai bangsa yang “senasib sepenanggungan” diobok-obok.

Penulis : Askolani

Budayawan Mandailing Natal

- Advertisement -

Berita Terkini