Akar Konflik Agraria di Sumatera Utara

Breaking News

- Advertisement -
- Advertisement -
- Advertisement -
- Advertisement -

Oleh: Marlan Ifantri Lase

MUDANews.com – Model konflik agraria sekarang bukanlah sengketa yang terjadi antara sesama petani, tetapi antara rakyat (petani) melawan kekuatan modal dan negara. Institusi negara tidak berperan sebagai penengah konflik atau pelaksana UU melainkan pelaku tidakan represif terhadap petani yang sedang berkonflik. Contoh kasus terbaru pada 18 November 2016 adalah Lahan petani anggota Serikat Petani Indonesia (SPI) di Desa Mekar Jaya Kec. Wampu Kab. Langkat digusur pihak Kepolisian Resor Langkat dan TNI dari LINUD Raider dengan mengerahkan 1500 personel.

Sumatera Utara merupakan salah satu provinsi yang tergolong darurat konflik agraria. Menurut catatan Siti Noor Laila salah satu Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) Sumut berada diurutan kedua terbanyak kasus agraria, setelah Jakarta. Kasus agraria tersebut didominasi oleh konflik petani atau kelompok tani dengan perusahaan perkebunan. Dilain pihak, Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA) mencatat pada tahun 2016 konflik agraria di provinsi Sumatera Utara berada pada urutan ke empat dengan 36 konflik. Berdasarkan data dari KontraS Sumut sepanjang tahun 2016 konflik agraria Sumatera Utara terdapat 49 kasus atau meningkat 16 kasus dari tahun 2015.

Sejumlah kasus konflik agraria di Sumatera Utara keseluruhan meninggalkan korban kepihak petani. Resiko tergusur dari lahan garapan, petani mendekam di penjara, intimidasi, penyiksaan mental maupun fisik hingga terbunuh disela-sela sengketa selalu menghantui perjuangan petani. Berdasarkan analisa sederhana akar konflik agraria di Sumatera Utara terdiri dari beberapa hal.

Pertama, terjadinya proses akumulasi modal yang semakin besar pada perusahaan lokal dan perusahaan-perusahaan Trans-nasional Corporation (TNC) di bidang perkebunan atau dikenal dengan paradigma pembangunan kapitalistik. Wilayah provinsi Sumatera Utara hampir dipenuhi perkebunan sawit, sepanjang jalan lintas antar-kota pohon-pohon sawit milik perusahaan berjejer rapi. Setiap tahunnya luas area perkebunan sawit tersebut semakin bertambah dan menariknya lahan yang kuasai oleh perusahaan sebagian besar milik petani setempat.

Menggunakan cara HGU yang dikeluarkan oleh Badan Pertanahan Nasional Sumatera Utara perusahaan-perusahaan bermodal besar bertindak dengan segala cara menggusur petani dari lahan mereka. Sehingga tidak heran konlik agraria di Sumatera Utara bisa dibuktikan hampir semua terjadi antara petani dengan perusahaa-perusahaan perkebunan besar. Misalnya perusahaan Langkat Nusantara Kepong milik Malaysia yang berkonflik dengan petani Mekar Jaya (Langkat), petani desa Pamah yang berkonflik dengan perusahaan PT Cinta Raja (Sergei), Perusahaan perkebunan PT Smart dengan petani Padang Halaban (Labura), konflik dengan PTPN dan beberapa konflik petani dengan pengusaha-pengusaha lokal yang merebut tanah petani.

Kedua, keberpihakan negara kepada pemilik modal dengan dikeluarkan Hak Guna Usaha kepada perusahaan tanpa melihat bukti kepemilikan petani terhadap lahan tersebut. Tindakan pemerintah melalui Institusi Badan Pertanahan Nasional mengeluarkan HGU lahan pertanian masyarakat kepada perusahaan terjadi dihampir semua kasus konflik agraria di Sumatera Utara.

Kekuatan perusahaan dalam setiap penggusuran dan perampasan lahan petani adalah bukti HGU yang dikeluarkan BPN Sumut. Keberadaan HGU tidak mengacuhkan semua bukti-bukti fisik yang dimiliki petani dilapangan. Menariknya, HGU perusahaan yang dapat dibuktikan oleh petani mengalami cacat hukum/ cacat administrasi tidak pernah dicabut oleh pihak BPN Sumut. Sikap saling menyalahkan dan mengulur-ngulur waktu menjadi kebiasaan BPN Sumut dalam menutupi beberapa kesalahan mereka.

Belajar dari arah kebijakan pemerintah Provinsi Sumatera Utara dan tindakan-tindakan mereka dalam penyelesaian konflik agraria dapat dikatakan bahwa konflik agraria di Sumatera Utara dimasa-masa mendatang tidak menunjukkan tanda akan mengalami penurunan. Bencana penggusuran petani, pemiskinan petani hingga kekerasan dan kriminalisasi kepada petani Sumatera Utara pasti akan terjadi lagi.

Solusi satu-satunya adalah melakukan percepatan reforma agraria sejati sebagaimana yang telah dijanjikan oleh Presiden Jokowi. Distribusi lahan kepada petani, bukan kepada perusahaan atau preman tanah harus segera dilaksanakan oleh pihak pemerintah provinsi Sumatera Utara. Secara konstitusi telah dijelaskan dalam Undang-Undang No.5 Tahun 1960 Tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria (UUPA), pasal 9 ayat 2 bahwa “Tiap-tiap warganegara Indonesia, baik laki-laki maupun wanita mempunyai kesempatan yang sama untuk memperoleh sesuatu hak atas tanah serta untuk mendapat manfaat dan hasilnya baik bagi diri sendiri maupun keluarganya.” maka pada dasarnya Negara sebagai intitusi eksekutor setiap UU menjamin hak masyarakat, terutama petani mendapatkan lahan untuk digarap demi kelangsungan hidup.

Penulis adalah Alumnus FISIP USU dan Aktivis Lingkungan

- Advertisement -

Berita Terkini